Jadi incaran

1195 Words
“Kita dikepung siapa?!” Gita meringkuk sembari memegangi kepala dengan kedua tangannya. “Sudah kubilang meringkuk lah! Menunduk!” Lucas tidak kalah berteriak, sembari mencari sesuatu untuk melindungi mereka dari tembakan membabi buta. “Hei, kenapa kita diserang dan ditembaki begini? Siapa mereka?” Lucas tidak menjawab. Ia mengabaikan pertanyaan yang diajukan oleh Gita. Fokusnya hanya satu bagaimana caranya kabur dari gubuk persembunyiannya yang berada di atas pohon. Rumah pohon kecil ini harusnya tidak mudah diserang. Namun rupanya para pembunuh bayaran yang berada di bawah merupakan penembak jitu. Lucas merunduk sembari melangkah cepat ke arah peti persegi panjang yang berada satu setengah meter di depannya. Diiringi dengan teriakan Gita yang ketakutan, Lucas segera membuka peti tersebut dan mengambil satu pistol laras panjang. Dengan sikap gagah, ia berdiri di sisi pintu dan mengabaikan peluru-peluru yang mengarah padanya. “Hei, hei kamu gila? Kenapa kamu justru bersikap menantang! Peluru-peluru itu bisa menembus daging mu!” seru Gita mengingatkan. Lagi-lagi Lucas tidak mengindahkan teriakan Gita. Ia tetap mendekati pintu sembari menarik pemantik senjata api laras panjang yang dipegangnya kuat-kuat. Dan benar saja seperti yang dikhawatirkan oleh Gita sebelumnya, peluru-peluru yang membabi buta dilesatkan ke arah mereka, akhirnya mengenai tubuh Lucas. Peluru itu menembus daging Lucas dan percikan darah langsung menyembur tepat setelah bidikan tersebut menembak perutnya. “Aaaa!!” Gita semakin berteriak histeris. Memang ia baru semalam mengenal pria bernama Lucas ini, tapi ia begitu senang karena tidak merasa sendirian lagi. Setidaknya memiliki teman lebih baik dari pada berjuang sendiri di masa yang menakutkan ini. Gita pikir, setelah peluru-peluru tersebut menembus perut Lucas, dia akan tumbang. Tapi Lucas tidak menunjukkan rasa sakit atas darah yang mengalir karena peluru tersebut. Ia justru membalas orang-orang yang sudah menembaki mereka. “Dor! Dor! Dor!” Suara pistol menembak menggema ke penjuru hutan. Suara kesakitan justru keluar dari mulut musuh. Sedangkan Lucas sendiri yang sudah tertembak, terlihat masih sangat kuat dan gagah. Tembakan membabi buta yang menuju ke arah mereka, tiba-tiba berhenti. Gita melepaskan kedua tangannya yang menutupi daun telinganya. “Sudah selesai?” gumannya bertanya pada diri sendiri dan mulai mengintip ke arah luar. Dari ambang pintu yang terbuka, netranya melihat ke luar dan ke bawah. Pria-pria yang mengenakan pakaian setelan jas rapi itu tumbang dengan darah yang mengalir. Bibir Gita terbuka dengan sepasang mata mendelik takut. “Mereka semua kalah ...,” gumannya lirih dan kemudian menoleh ke arah Lucas yang berdiri gagah sembari memegangi senjata api laras panjangnya. Tidak terlihat sedikit pun kesakitan di raut mukanya itu. “Hei ...,” panggilnya lirih pada Lucas. “Perutmu berdarah. Tubuhmu tertembak. Apa kamu baik-baik saja?” lanjutnya sembari memasang wajah ngeri. Lucas tidak menjawab. Ia membalik badan setelah memastikan tidak ada lagi musuh yang hidup. “Hei, Lucas ... Tubuhmu tertembak banyak!” seru Gita sembari bergegas mendekat. Lucas mengabaikan Gita. Ia tidak mengindahkan rasa cemas Gita yang tertuju padanya. “Kita harus melakukan sesuatu agar kamu selamat Lucas ...,” kata Gita lirih sambil menatap lubang di tubuh Lucas yang berhasil ditembus oleh timah panas. Darah mengalir dari luka tersebut. “Ya, aku memang harus melakukan sesuatu,” jawab Lucas sembari merentangkan kedua tangannya. Menarik nafas panjang dan kemudian menghembuskannya perlahan. Setelah Lucas menarik nafas panjang dan dalam, lalu dua tangannya mengepal. Ia memejamkan mata, seraya mengumpulkan segenap kekuatan yang tersisa. Dan sekitar lima menit kemudian, peluru-peluru yang menembus tubuhnya itu keluar begitu saja dan jatuh bergelimpangan di atas lantai. Lalu luka-luka di badannya kembali tertutup rapat. Seolah tidak pernah ditembak. Mata Gita seraya tidak berkedip sedikit pun melihat fenomena aneh ini. “Hei, hei ... Kamu kembali sehat?” tanyanya tak percaya. “Hm, ya seperti yang kamu lihat. Aku kembali sehat,” jawab Lucas cepat dan kemudian berjalan mendekati air di galon dan langsung menenggaknya. Meminum air secara langsung dari galonnya tanpa menggunakan gelas, membuat air tersebut berjatuhan banyak melebihi mulut lucas yang terbuka. Wajah dan setengah badannya basah karena kelakuannya itu. Gita masih berdiri mematung, terpaku di belakang Lucas dengan mulut ternganga lebar. “Ya Tuhan ... benar-benar ajaib. Kamu kembali pulih. Bagaimana bisa? Tadi aku melihat banyak peluru yang menembus badanmu. Aku kira kamu tidak akan tertolong ....” “Brak!” Lucas menaruh kembali galon air besar yang tadi ditenggaknya. “Ya, aku sekarang adalah salah satu dari sembilan keajaiban di dunia,” jawabnya sembari tersenyum tipis. “Sepertinya tempat ini sudah diketahui olehnya. Kita harus pergi dari sini.” Gita memandangi Lucas dengan tatapan tanda tanya. “Siapa yang kamu maksud? ‘Olehnya’ yang kamu maksud itu siapa?” “Orang dari pemerintah,” jawab Lucas dengan ekspresi datar. “Hah? Pemerintah? Maksudmu ... kamu dikejar-kejar oleh pemerintah?” Gita bertanya lagi sembari mengerutkan dahinya. “Tapi bukan orang jahat. Justru aku dicari karena ingin menolong manusia di muka bumi ini,” jawab Lucas. “A-aku tidak mengerti dengan apa yang kamu katakan. Pemerintah mencari mu ... tapi kamu bukan orang jahat?” Gita merasa ragu dengan penjelasan yang didengarnya barusan. “Kamu lihat kan jika aku seperti manusia super? Aku ditembaki tapi tidak mati. Aku bisa menyembuhkan luka yang aku alami. Orang-orang pemerintah ingin menyingkirkan aku.” “Kenapa?” tanya Gita sangat ingin tahu. “Kenapa orang-orang pemerintah ingin menyingkirkan kamu? Hal itulah yang menurutku sangat aneh.” “Karena mungkin mereka takut aku bisa membantu profesor Ismunandar untuk menyingkirkan virus ini! Aku adalah ilmuan yang gagal dalam percobaan. Namun ramuan ku yang gagal itu justru membuatku menjadi manusia super. Dengan kekuatan baruku, aku akan membantu dunia melawan virus ini dan mengungkap siapa dalang dibalik penyebaran virus yang sangat cepat.” “Apa?” tanya Gita dengan wajah tidak mengerti. “Aku tidak faham. “Maksudmu bagaimana? Jadi ada dalang dibalik penyebaran virus ini dan ternyata kamu kenal dengan profesor Ismunandar?” “Tentu aku kenal dengan beliau. Ilmuan mana yang tidak mengenalnya. Dan asal kamu tahu, aku juga mengenal ayahmu, Rudi ... Beliau ilmuan hebat. Tapi aku baru tahu jika Profesor Rudi memiliki seorang putri.” “Ternyata kita memiliki tujuan yang sama. Kita bisa mencari profesor Ismunandar bersama-sama,” ungkap Gita senang. “Tapi aku baru tahu jika ternyata virus yang menyebar ada campur tangan orang dari pemerintah. Aku kira orang-orang pemerintah sedang mengupayakan kebangkitan negara kita untuk menang dalam melawan virus itu.” Lucas tersenyum meremehkan. “Kau terlalu polos rupanya ... Vaksin yang beredar itu tidak layak. Karena efek samping pada sebagian orang yang menerima vaksin membuat mereka bermutasi menjadi kanibal. Harusnya pembuatan vaksin tersebut dihentikan dan mulai dengan pembuatan vaksin baru.” Gita fokus menyimak. “Tapi ternyata tidak dihentikan dan justru tetap dibuat jenis vaksin yang sama. Karena ada beberapa organisasi pemerintah yang membuat pandemi virus yang melanda dunia ini sebagai ladang uang. Mengeruk keuntungan yang banyak dengan menjual vaksin tak layak.” Hening. Kini Gita mulai mengerti. Ia menutup mulutnya yang lagi-lagi terbuka lebar. “Astaga ... aku tidak percaya ini.” “Karena aku adalah orang yang bisa membantu negara kita keluar dari masalah ini, maka organisasi yang mengatasnamakan pemerintah itu mencariku dan ingin melenyapkan aku,” kata Lucas sembari menatap pada Gita. “Aku pikir ... sepertinya mereka juga ingin melenyapkan mu. Gita ... nyawa kita berdua, sedang menjadi incaran.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD