Bab 1
Udara dingin menerpa, membelai perlahan pori-pori kulit tubuh seorang wanita yang saat ini bajunya sudah ditanggalkan.
Bibirnya hampir memucat karena dinginnya angin malam, ditambah lagi di luar sana sedang turun hujan.
Dengan perlahan wanita tersebut menarik tubuh laki-laki yang saat ini sedang menindihnya untuk mencari kehangatan lebih. Ternyata tindakannya itu cukup berguna. Sekarang ia merasakan tubuhnya lebih hangat dari sebelumnya. Tapi sialnya malahan pipinya yang terasa memanas, memperlihatkan semburat kemerahan karena merasa malu. Ia terbakar gairah.
“Kau nakal sekali, Sayang,” bisik lelaki di atasnya dengan suara serak menahan gairah. Jujur saja suara itu terdengar sangat seksi di telinga Seina.
“He-Helian...,” ucap Seina dengan pelan. Sayup-sayup sekali hampir tidak terdengar oleh Helian.
Dia malu. Akal mengatakan tidak, namun raga tidak mau bekerja sama, dia juga sangat menginginkannya. Menginginkan kenikmatan yang ditawarkan oleh Helian.
Helian tersenyum. Dengan gemas, Helian mengecupi leher jenjang milik wanitanya membuatnya menggelinjang kegelian.
Apalagi ketika Helian menggigit perlahan kulit lehernya, hal itu benar-benar membuat Seina merasakan gelenyar aneh.
Tangan Seina hanya mampu meremas seprai satin berwarna merah yang menjadi alas bagi mereka bercinta.
Helian menelan ludah. Sialan! Warna merah satin senada dengan warna dari penutup tubuh Seina bagian atas membuat Helian ini semakin terbakar.
“He-Helian.”
“Ya, Sayang. Panggil namaku.”
Dengan sengaja Helian mengisap leher itu dan membuat warna merah pada kulit putih wanitanya sebagai tanda bahwa Seina adalah miliknya seorang.
Setelah itu Helian berganti mencium basah leher Seina, semakin lama ciumannya semakin ke atas, Helian berganti meniup cuping Seina.
“Helian... kita tidak boleh seperti ini. He-hentikan.”
Tangan Seina berusana mendorong tubuh Helian, namun nihil, Helian tak bergeming sedikit pun. Helian sudah mabuk kepalang ingin segera bercinta, mana mungkin dia bisa berhenti begitu saja.
Dengan sengaja tangan Helian bergerak ke arah belakang tubuh Seina, mencari-cari pengait BRA berwarna merah.
Sebelum Seina memprotes. Benda itu sudah terlepas dan menampilkan apa yang sedari tadi hendak Helian nikmati.
Helian agak memundurkan tubuhnya ke belakang untuk menikmati keindahan. Pemandangan itu berhasil membuatnya kesusahan menelan ludah.
Ini… indah sekali.
“Sial! Kau benar-benar memabukkan, Sese.”
Sese adalah nama kesayangan yang diberikan Helian untuk Seina.
Ditatap dengan pandangan seperti itu membuat Seina merasa malu. Pipi Seina benar-benar merah merona. Kini tangannya bergerak untuk menutupi kedua buah dadanya.
“Tidak. Sayang.”
Helian yang merasa tidak senang akan hal itu langsung meraih pergelangan tangan Seina dan menahannya di atas kepala.
“Aku tidak suka kau menghalangi pandanganku.”
Seina menggelengkan kepala. Dia malu sekali. Apalagi ini yang pertama kalinya.
“A-aku... aku malu, Helian.”
Helian terkekeh mendengarnya. Wanitanya ini ternyata benar-benar polos sekali. Tapi dengan begitu Helian bersyukur. Artinya Seina menjaga dirinya dengan baik dan tidak pernah melakukan hal seperti itu sebelumnya dengan lelaki lain.
Dialah yang pertama. Dan satu-satunya.
Helian mencium kembali bibir Sesenya. Mengecupnya perlahan dan menggigit bibir bawah milik wanita tersebut, bahkan sedikit mengisapnya. Seina sendiri sedikit meronta, tangannya masih ditahan di atas kepala.
“Helian... Hentikan.”
Tapi Helian tak peduli.
“Aku malu, Helian,” kata Seina sambil mencoba menahan desahan.
“Kenapa malu? Kau milikku, dan sebentar lagi akan menjadi Ratuku, Sese.”
Seina menatap kedua manik kekasihnya yang berwarna kuning keemasan dengan netra hitam berbentuk silinder—seperti mata reptil pada umumnya.
“Lepaskan dulu tanganku.”
“Tidak,” ucap Helian.
“Lepaskan, Helian.”