Bab 2

1411 Words
Setelah acara pernikahan itu selesai, Zain sudah membawa Alisya ke rumah yang sudah disediakan oleh ibunya. Rumah itu terlihat sangat besar dan megah. Ada beberapa pelayan juga untuk membantu setiap harinya. Alisya tertegun dengan rumah yang akan ia tempati. Sungguh besar dan mewahnya rumah ini. "Alisya, apa kau suka dengan rumah ini? Kau tidak perlu cemas, ada banyak orang di sini terutama para pelayan. Mereka akan membantu mu menyiapkan semuanya dan kamu tak perlu sungkan untuk meminta bantuan mereka," ucap Zain menjelaskan. "Baiklah, emm. Aku harus memanggil Kakak apa?" tanya Alisya menundukkan kepalanya. Zain tersenyum gemas melihat istrinya yang polos itu. Ingin ia mencubit pipinya yang cabi itu, tapi ia harus menahannya terlebih dahulu sebelum Alisya benar-benar menerimanya sebagai suami. "Itu terserah kamu, Alisya. Aku tidak keberatan kau memanggilku dengan sebutan apapun. Asal jangan ayah saja, karena aku bukan ayahmu." Alisya tertawa renyah mendengar perkataan Zain yang membuatnya geli. Masa iya manggil suami dengan sebutan ayah? Terkecuali memang sudah mempunyai ... anak? Zain terkekeh pelan mendengar tawa renyah istrinya itu. Sungguh, ini hari yang sangat bahagia. "Baiklah, aku akan panggil Kakak saja kalau begitu," suara Alisya masih bergetar karena sisa tertawanya. Zain memang paling bisa membuatnya melupakan masalah hatinya. "Syukurlah kalau kau menyukainya." Zain mengusap kepala Alisya dan segera membawanya masuk ke dalam rumah. *** Brian menatap gambar pada layar ponselnya. Senyum itu terbit sangatlah lebar dan bersemangat. Hari ini ialah hari dimana Brian akan kembali ke Negaranya dengan beribu kegembiraan. Gembira sebab selama satu bulan ini ia tengah merindukan seseorang yang ada di dalam layar ponselnya, dan hari ini saatnya ia bertemu gadis itu. Gadis cantik yang selalu ia rindukan. Setiap malam bahkan setiap detik, dia selalu melihat gambar itu, bahkan ia menjadikan wallpaper di layar ponselnya. "Tolong tunggu aku. Maaf jika aku tidak sempat mengabari mu, Alisya. Aku kembali membawa lamaran untukmu." Brian mengecup ponsel itu dengan bibirnya yang tipis. Walaupun terlihat gila, tapi dia sering melakukannya bahkan menyukainya. Hanya dengan cara itu, dirinya menumpahkan kerinduan di hatinya. "Maaf, Pak. Jadwal keberangkatan Anda akan segera tiba. Apakah Anda perlu bantuan saya untuk membawa semua keperluan Anda?" tawar sekretaris yang selama ini bekerja dengannya. "Tidak, aku bisa membawanya sendiri." "Kalau begitu, biarkan saya menemani Anda sepanjang perjalanan kita nanti." Brian berdecak kesal dan hanya mengangguk dengan terpaksa. Sepertinya gadis itu selalu ingin mengganggunya setiap hari. Bukan di waktu jam kerja, bahkan setiap saat dia sering menghubunginya. Itu sangat membosankan. "Setelah aku kembali, kuharap kau tidak selalu menghubungiku dan menggangguku," tegas Brian menatap malas pada gadis itu. "Kau jahat sekali, Pak. Bukankah kau sudah mengenalku sejak dulu?" gadis itu lantas mendekat ke arahnya. "Apa kau lupa? Aku bahkan harus menemani Anda bertugas di Negara asal kita nanti. Apa Bapak juga lupa, kalau Bapak akan berangkat bersamaku juga." "Tolong bicara dengan sopan dan jangan mendekatiku seperti itu," pinta Brian dengan jijik. "Aku tidak mengerti denganmu. Sejak kecil, kau selalu main denganku, kau juga yang selalu melindungi ku, hanya kau satu-satunya pria yang dekat denganku, aku menyukaimu. Tapi, sejak aku pindah ke sini, sikapmu bahkan berubah seperti tidak mengenalku. Ada apa, Bri? Kenapa sikapmu berubah seperti ini?" "Itu masa lalu, Kinan. Jangan kau menyukaiku sebab aku hanya menganggap mu seperti adikku, itu saja." Kinan. Gadis manis dengan rambut yang terurai panjang. Gadis itu terlihat sangat cantik dengan penampilannya yang seksi. Itulah kelebihan Kinan. Mempunyai postur tubuh yang sempurna, membuat para lelaki banyak yang menyukainya. Tapi tidak dengan Brian. Sejak kecil, mereka berdua memang selalu bersama. Namun, saat remaja, Kinan memutuskan untuk tinggal dan ikut dengan kedua orangnya. Setelah bertahun-tahun, Kinan telah menunggu Brian. Entah kebetulan atau memang sudah takdir mereka, Kinan bertemu Brian kembali di perusahaan tempat ia bekerja dan menjadi seorang sekretaris di sana. Baru satu bulan Kinan diterima kerja di perusahaan itu, ia tak menyangka jika Brian lah yang menjadi atasannya. Dan itu membuatnya mengenang masa lalu. Siapa menyangka bahwa Brian akan sedingin ini terhadapnya. Sikapnya memang benar-benar sudah berubah. Brian sekarang bukanlah Brian yang dulu. Kinan meminta agar dirinya bisa ikut Brian untuk terus bekerja dengannya. Awalnya, Brian menyetujuinya sebab Kinan ialah teman masa kecilnya. Siapa tahu jika Kinan mempunyai sifat yang agresif seperti ini. Kedewasaannya telah mengubah sifat pendiam Kinan saat masih kecil. "Baiklah, jika kau menganggap ku seperti itu. Tapi aku mohon agar kamu tetap dengan keputusanmu. Aku janji akan jaga jarak selama di sana dan aku akan cari tempat tinggal yang lain nantinya, asal aku bisa tetap bersamamu, Brian." Brian berpikir sejenak. Apa mungkin perkataannya kali ini bisa dipercaya? "Baiklah, jika kamu melanggarnya, dengan senang hati aku akan kembalikan kamu lagi," ancam Brian. Kinan mengangguk pasrah, ia tersenyum lebar memperlihatkan jika dirinya setuju dengan persyaratan yang diberikan Brian. Mungkin dengan cara seperti ini, Brian akan kembali luluh dan tetap disampingnya. Semoga. Brian kembali sibuk dengan ponselnya. Ia sengaja berpindah tempat untuk menghubungi seseorang di sebrang sana. Nampaknya Brian sudah tak tahan melihat Kinan saat ini, apalagi dengan penampilannya yang terbuka. Ah, itu membuat hasratnya semakin meningkat. Tidak. Ia harus menahannya. Bagaimana mungkin Brian akan tergoda dengan tubuh teman kecilnya. Itu sangat tidak masuk akal. "Kapan kau pulang?" Brian sudah menghubungi kakaknya di sebrang sana. Tanpa menunggu kata darinya, rupanya sang kakak sudah tidak sabar untuk memperkenalkan istrinya yang baru saja dia nikahi. "Sabarlah, sebentar lagi aku terbang ke sana. Apa aku harus tetap tinggal bersamamu dan kakak ipar?" tanya Brian memastikan. "Tentu saja. Aku ingin kau menjaganya untukku. Kau adikku, seharusnya kau bisa menjaga kakak ipar mu juga selama aku mengurus kantor di sana." Brian mendesah pelan. "Baiklah, apa ada imbalannya?" "Imbalan? Kau mengharapkan imbalan dari kakakmu sendiri?" "Oh, tentu saja. Menjaga Kakak Ipar tidak mudah. Bahkan aku harus memastikan Kakak Ipar aman denganku di sana bukan?" "Boy, kau sangat perhitungan sekali denganku." "Haha ... kau tenang saja, aku hanya becanda. Dengan senang hati aku akan menjaga Kakak Ipar dengan baik tapi dengan satu syarat." Brian menahan napasnya sejenak. "Syarat? Jangan main-main denganku, Boy." "Oh, tidak. Syarat ku mudah. Kau hanya harus datang ke acara pernikahanku nanti." "Kau saja tidak datang ke acara pernikahanku, apa aku harus mendatanginya?" Brian tertawa dengan keras, mereka kembali melanjutkan obrolannya dan berakhir setelah mendapat kabar bahwa ia harus segera ke Bandara. Kinan bahkan sudah membawa semua keperluan Brian dan barang miliknya. Sungguh, ini adalah waktu yang sudah dinantikan olehnya. "Kau akan tinggal di Apartemen kantor selama di sana. Dan ingat, jangan sampai keterlaluan dan jaga sikapmu," perintah Brian saat di dalam pesawat. Kinan tersenyum senang mendengar hal itu. Itu artinya, Brian masih mempedulikannya. Brian menempati tempat duduk tepat bersamaan dengan Kinan. Mereka duduk di kursi yang sama. Kinan yang selalu membuka suaranya dan terus mengoceh, menceritakan masa lalunya dengan Brian. Akan tetapi berbeda dengan Brian. Dia lebih memilih bungkam dan menutup wajahnya dengan handuk kecil. Brian mulai terlelap. "Kau harus kembali seperti dulu lagi, Bri. Aku yakin kalau kamu hanya untukku dan kamu masih menyukaiku," batin Kinan ikut terlelap di bahunya. *** Setelah sampai, Brian mengantar Kinan terlebih dahulu ke Apartemen yang sudah ia janjikan. Walaupun Kinan menginginkan Brian untuk tinggal terlebih dahulu, tapi sepertinya Brian akan menolak keinginannya. Brian memang sudah sangat berubah. Seharusnya Kinan bisa bermain cantik jika harus mengembalikan Brian seperti dulu. Itu sudah pasti akan dia lakukan. Brian merasa sangat lelah hari ini. Ia memutuskan untuk segera pulang ke rumah sang Kakak setelah mengantar Kinan tadi. Ia mengeluarkan sebuah kotak berbentuk hati dengan warna merah padam di tangannya. "Kau tunggulah, aku kembali dan akan segera menemui mu dan keluargamu, sayang." Brian menggenggam kotak itu, menciumnya sepanjang perjalanan. Ia sudah tidak sabar untuk memberikan kotak kecil itu dan menempatkan cincin cantik di jari milik wanitanya. Rasa lelah dan penat tiba-tiba saja hilang saat mencium kotak kecil itu. Sungguh, ini adalah hari yang telah dinantikan olehnya selama ini. Karena tak sabar menemui gadis pilihan hatinya, Brian membuka pintu rumah itu dan melangkah seperti sedang buru-buru saja. Ia hanya ingin menyimpan kopernya saja. Setelah itu, Brian akan bergegas ke rumah orang tuanya dan segera mungkin melamar gadis itu. "Kak ..." Brian berteriak menggusur kopernya tak sabar. "Kak Zain ... cepatlah, aku harus ke rumah Ayah dan membawa mereka untuk melamar kekasihku." Karena tidak ada yang menjawab satupun orang di sana, Brian memutuskan untuk terus menggusur kopernya ke arah belakang rumah. Langkah kakinya seakan menyusut. Dia berhenti mendadak saat melihat sang Kakak dengan istrinya di sana. Apa? Bagaimana mungkin? "K-kau ..." Semangatnya menyusut hingga ia tak bisa membawa tas dan koper di tangannya. 'Bagaimana bisa? Wanita yang aku tunggu selama ini, aku impikan menjadi istriku, harapanku, menjadi milik dia ... Kakakku?'
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD