bc

Suami Rasa Musuh

book_age18+
1.4K
FOLLOW
17.2K
READ
contract marriage
love after marriage
pregnant
goodgirl
drama
multiverse
enimies to lovers
friendship
affair
friends
like
intro-logo
Blurb

Keinginan untuk menyelamatkan Uno dari Sesil, membuat Mara bertindak nekat—menjebak pria itu, seolah-olah telah tidur bersama dengannya dalam keadaan tidak memakai sehelai benang pun. Dan karena insiden itu, mereka pun akhirnya dinikahkan. Namun, pernikahan itu membuat hidup Mara sengsara. Uno memperlakukannya dengan buruk, dan puncaknya saat pria itu mengajukan perjanjian yang membuat kepala Mara nyaris pecah.

“Kuberi waktu tiga bulan. Jika kamu tidak hamil, maka pernikahan konyol ini akan berakhir, dan aku akan segera menikahi Sesil,” kata Uno saat itu.

chap-preview
Free preview
Bab 1 Bulan Madu
Prolog             “Hai, aku Mara, sahabatnya Uno,” ujar perempuan itu dengan suara yang dibuat-buat centil. Kemudian, ia mengedipkan sebelah matanya pada pria di sebelahnya.             “Mantan sahabat!” sangkal pria itu. “Jangan hiraukan dia, Sesil. Dia hanya akan mengganggu kita saja.”             Mara cemberut. Namun sedetik kemudian, senyumannya merekah lebar. Sorot matanya berkilat jail dan langsung meraih lengan pria itu erat—bergelayut manja.             “Tapi aku istrimu. Benar begitu, Uno?”             Mengatakannya adalah kepuasan bagi Mara. Siapa suruh lelaki itu menganggap persahabatannya putus setelah apa yang sudah ia lakukan—menyelamatkannya dari perempuan bermuka dua itu, yang kebetulan tengah berdiri di antara mereka. Ya, dia Sesil, mantan pacar suaminya, Uno. Bab 1 Bulan Madu             Mara Putrika mengelus dadanya pelan ketika melihat sosok itu terbaring di atas sofa tempat mereka menginap. Matanya mengerjap pelan. Napasnya terasa sesak dan berat, seolah ada beban berpuluh-puluh kilo tengah menimpa tubuhnya. Mendadak, wajahnya terasa panas seperti tersengat terik matahari. Tidak cukup dengan itu saja, jantungnya berdetak kencang. Menyebabkan ia harus menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, menyembunyikan ekspresi memalukan itu entah dari siapa.             Mara melangkah mundur. Ia benar-benar tidak tahan dengan tubuh setengah telanjang milik Uno. Memang mereka sudah lama bersahabat, tapi tetep saja setelah beranjak dewasa mereka tidak sedakat itu. Mara mencoba mengintip dari sela-sela jemarinya, lalu mengembuskan napasnya perlahan. Uno, pria itu tetap saja terlihat menggiyurkan. Rambut hitamnya yang acak-acakan, matanya yang terpejam rapat tanpa kaca mata, lalu hidungannya yang mancung dan rahannya yang kokoh membuat Mara harus menguatkan hatinya—jangan sampai ia menubruk pria itu. Kemudian, ia menggelengkan kepalanya kencang-kencang sambil memukul-mukul pipinya pelan.             “Cukup! Ayolah, Mara! Dia hanya setengah telanjang, bukan benar-benar telanjang sepenuhnya,” gumam Mara, mencoba menguatkan imannya. Namun, semburat merah yang menjalari kedua pipinya masih bertahan di sana. Bahkan saat ia berbalik dan kembali masuk ke dalam kamarnya, pikirannya masih dipenuhi oleh tubuh setengah telanjang milik Uno.             Kembali ia menghela napas, menutup pintu kamar itu, tapi terhenti karena Uno tiba-tiba menahan pintunya, lalu mendorongnya sampai Mara menyingkir dari tempatnya berdiri. Mereka saling bertatapan. Semetara Mara tak sekali pun mengedipkan matanya, Uno tampak melihat perempuan itu dengan sorot mata kebingungan khas orang bangun tidur, lalu kerutan samar tampak di dahi pria itu.             “Kenapa kamu melihatku seperti itu?” tanya Uno, belum sadar jika tubuh bagian atasnya telah terekspos jelas. “Dan kenapa juga wajahmu macam orang nahan kentut saja?”             Mara menggigit bibir bawahnya. Menangkup kedua pipinya dengan tangan, lalu menggeleng kecang. Ia memilih kabur ke arah kamar mandi daripada membalas perkataan Uno yang sarat dengan nada ejekkan. Melarikan diri untuk saat ini adalah cara yang paling tepat. Apalagi sekarang, di penginapan ini hanya ada mereka berdua. Jauh dari kota tempat tinggal, dan jauh pula dari hiruk-pikuk keramaian membuatnya berpikir untuk tidak membuat masalah dengan Uno, sebab ia tahu betul tabiat pria itu—tidak akan segan-segan meninggalkannya sendiri di tempat asing ini.             Mara menarik napasnya dalam-dalam, bersembunyi di dalam kamar mandi adalah cara yang paling baik, berpura-pura mandi. Padahal ia baru saja mandi, dan yang ia dilakukan sekarang hanyalah berdiri diam menghadap wastefel. Sambil mencoba meredakan debaran jantungnya, pun menghilangkan rona merah dari pipinya.             “Bulan Madu?” gumamnya lirih, sambil mengacak-ngacak rambut sebahunya yang Mara cat dengan warna cokelat gelap. Mara meringis mengatakan dua kata itu. Semburat merah kembali muncul, dan kali ini bisa ia lihat dengan kedua matanya sebab cermin di depannya memantulkan bayangannya sendiri. Rambut sebahunya tampak masih basah, sementara gaun santai bercorak abstrak tampak pas menggantung di tubuh tingginya. Panjangnya tidak sampai selutut. Membuat kakinya yang terbiasa dibalut celana jins menampakkan kejenjangan dan kemulusan tungkai itu. Ia mengerjap. Menggeleng-gelengkan kepalanya pelan.             Mara mendongak saat pintu kamar mandi diketuk pelan. Kemudian, disusul oleh satu kaki memasuki ruangan itu. Tercekat. Ia syok dengan mulut menganga lebar. Mara tidak sadar jika pantulan cermin itu langgsung mengarah ke pintu kamar mandi, membuatnya bisa melihat dengan jelas tubuh setengah telanjang milik Uno yang tengah berjalan mendekati. Tatapan pria itu terlihat berbeda dari sebelumnya, tajam dan mengintimidasi.             “Kamu sedang apa sih? Kamar mandi ini bukan milik kamu saja, masih ada orang lain yang menyewanya di sini!” dengus Uno. Ia berjalan melewati Mara menuju kloset, lalu duduk di sana setelah ia membuka celananya yang perlahan turun di pertengahan pahanya. “Masih berdiri di sana, kamu mau menemaniku di sini? Yakin nggak bakal nyesel?” katanya.             Mara tersentak. Tanpa menoleh ke belakang, ia langsung meninggalkan tempat itu. Menutup pintunya dengan terburu-buru, berlari menuju ranjang lalu mengempaskan tubuhya di sana. Menenggelamkan wajahnya dalam bantal.             “Sangat-sangat memalukan. Kami suami-istri, tapi kayak musuh. Dulu sahabat sekarang mantan sahabat. Dulu saling sayang sekarang dia yang setengah mati benci. Huff ... apakah ini balasan karena nikung sahabat sendiri? Eh, tapi ... siapa yang nikung?” rancau Mara tak jelas sampai ia tidak menyedari jika Uno telah berada di belakangnya, menatapnya penuh tatapan curiga.             “Baru nyadar kalau kamu itu tukang nikung? Bahkan sama sahabatmu sendiri,” sahut Uno dengan nada menyindir. Sementara itu, ia tengah mengambil salah satu kaus dari dalam koper dan memakainya.             Mendadak Mara mengubah posisinya. Ia bangkit dan duduk di tepi ranjang. Menoleh dan tersenyum simpul. “Mohon maaf, siapa yang tukan tikung? Dan siapa sahabat yang aku nikung?” tanyanya dengan nada datar.             “Siapa lagi kalau bukan Mara Putrika, wanita fenomenal yang banyak disukai para pria, tapi merebut sahabatnya sendiri dari tangan kekasihnya.”             Mara terkekeh geli, lalu berdiri mendekati Uno. “Itu, sih bukan tukang nikung namanya,” sangkalnya, sambil mencolek dagu pria itu. “Itu sih, si dianya aja yang kurang cepat, makanya pacarnya bisa diambil orang, terus ... malah dihalalin pula.”             Uno mendengus. Tiba-tiba ia mendorong Mara sampai ia terjengkang ke belakang. Untungnya ada ranjang di belakangnya, kalau tidak, ia mungkin saja sudah gegar otak saat itu juga. Belum cukup dengan rasa keterkejutannya, Uno tiba-tiba sudah berada di atas tubuhnya. Posisi ini membuat wajah Mara kembali merona. Jantungnya berdetak kencang, lalu ia merasakan embusan napas yang membuat lehernya merinding seketika.             “A-apa a-apa yang akan kamu lakukan?” cicit Mara gugup. Sementara tubuhnya tidak bisa ia gerakan. Sebab, tubuh Uno benar-benar mengapitnya.             “Mengulangi sesuatu itu. Sesuatu yang menyebabkan kita berakhir menjadi suami-istri,” bisik Uno pelan.             Mara meringis. Ekspresi wajahnya mendadak memucat, lalu mendorong Uno agar menjauh dari tubuhnya. “J-jangan hari ini. A-aku ... maksudku, tamu bulananku sedang datang hari ini,” ucapnya gugup.             Sementara itu, Uno tengah memincingkan mata, lalu beranjak dari atas tubuh Mara. “Kira-kira kapan kamu tidak berdarah lagi?”             Astaga pertanyaan macam apa itu, pikir Mara. Namun kemudian, ia buru-buru bangkit berdiri dan menjaga jarak aman dari pria itu. “Dua minggu sampai satu bulan,” jawabnya asal-asalan. “Dan kamu tetap harus tidur di sofa, atau darahku bisa mengenai pakaianmu saat kita tidur bersama.”             “Ya, tanpa kamu suruh juga mana mau aku tidur satu ranjang dengan wanita yang sedang berdarah-darah. Iuh ... itu sangat menjijikan.” Uno berbalik dan meninggalkan kamar itu, sedangkan Mara, perempuan itu kembali terkikik geli karena ucapannya sendiri. Siapa suruh Uno mencoba mengusiknya, padahal pria itu juga tahu apa yang terjadi sebenarnya pada malam itu. Malam ketika ia menjebaknya.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

My Secret Little Wife

read
98.7K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.6K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.2K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.6K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.7K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook