Episode 3 : Ramalan Jodoh

2315 Words
Sepasang kaki jenjang yang mengenakan sandal berbulu, berdiri dengan goyah. Mengenakan handuk baju di atas paha, kaki jenjang berwarna putih kemarahan itu mendadak gemetaran seiring kedua tangannya yang mengalami hal serupa. Keyra Miranti menatap tak percaya test pack di tangan kanannya. Benda kecil tak lebih besar dari jari kelingkingnya itu baru saja ia angkat dari cairan urin miliknya yang diwadahi dalam tabung khusus, berukuran kecil. Yang membuat Keyra syok bahkan sampai lupa bernapas, ada dua garis merah sebagai hasil pemeriksaannya. Keyra sungguh sulit untuk percaya, kendati kehamilannya sudah ia duga sebelumnya atas apa yang pernah ia lakukan dengan kekasihnya. Sebuah hubungan yang seharusnya tidak Keyra lakukan di luar pernikahan, kendati kekasihnya itu sudah berstatus sebagai tunangannya. Alhasil, di tengah kenyataannya yang belum terikat dalam pernikahan, ia sungguh hamil! Sebagai balerina utama dalam club yang menaunginya, tentu Keyra memiliki tanggung jawab yang sangat besar. Keyra tak mungkin bisa asal lepas tangan kecuali jika wanita itu siap kehilangan atau justru mendapatkan kehancuran dengan karier balerinanya. Apalagi Keyra tahu betul, persaingan dalam dunia balerina sangatlah ketat. Karena sedikit saja Keyra lengah bahkan sampai melakukan kesalahan, posisinya pasti akan langsung digeser. Namun kini, Keyra harus menghadapi kenyataan yang akan membuatnya bertaruh sekaligus kehilangan.  “Joe!” Nama itu terus saja terucap dari bibir ranum milik Keyra dengan suara sangat lirih sekaligus bergetar.  Keyra buru-buru keluar dari kamar mandi tempatnya menjalani pemeriksaan sambil terus merapalkan nama yang sama. Kemudian, wanita berambut panjang nyaris menyentuh pinggang itu meraih ponsel di nakas kamar. Di tengah suasana kamar yang masih belum terjamah sinar lain selain sinar lampu dari nakas keberadaan ponsel yang baru Keyra ambil, Keyra kembali melangkah tergesa. Keyra membuka pintu kamar dan membuatnya menginjakkan kaki di balkon. Siang ini, langit kota London terbilang terik dan membuat Keyra cukup menahan silau, kendati di sekitar sana dikelilingi gedung-gedung pencakar langit. Dan lantaran teleponnya tak kunjung mendapat balasan bahkan meski sambungannya telah berakhir, Keyra pun mendesah frustrasi sambil terus mencoba menghubungi nomor ponsel yang sama. “Halo?” Suara berat itu akhirnya terdengar dari seberang. Keyra yang awalnya nyaris menangis, langsung tersenyum haru. Setelah sampai menggigit kuat bibir bawahnya yang cukup tebal, Keyra berseru, “Joe!” Keyra terbilang cukup merengek manja layaknya biasa. Toh, pria di seberang sana merupakan tunangan sekaligus laki-laki dari ayah dalam rahimnya yang juga sudah berulang kali menjanjikan pernikahan kepadanya. “Aku sibuk!” tukas Joe dari seberang terdengar ketus. Keyra langsung kehilangan senyumnya dan kembali dengan wajah yang diliputi banyak kesedihan. Akan tetapi, Keyra tak menyerah begitu saja. Keyra kembali mencoba memberikan Joe pengertian. “Sayang, aku--” Namun, belum juga selesai berbicara, Joe sudah menyela. “aku sibuk, Key. Sudah, ya!” Tak mau kalah, Keyra juga langsung berseru, “aku hamil, Joe!” Harap-harap cemas menyelimuti Keyra detik itu juga atas pengakuan yang baru saja ia sampaikan kepada Joe. Keyra sampai kembali menahan napas sambil menggigit kuat bibir bawahnya, terlebih dari seberang juga mendadak senyap.  Keyra sama sekali tidak mendengar suara lain meski sekadar suara dari deru napas Joe. Kenyataan itu juga yang membuat Keyra menatap layar ponselnya guna memastikan sambungan teleponnya dengan Joe yang nyatanya sudah diakhiri oleh Joe. Sebuah kenyataan yang langsung membuat Keyra mendengkus lemas seiring tubuhnya yang sampai membungkuk loyo.  “Joe sibuk banget, ya? Apa aku kabari dia lewat pesan saja?”  Keyra ketar-ketir. Wanita cantik itu merasa berada di ujung tanduk. Keyra sungguh tidak memiliki pilihan lain selain melepaskan karier berikut beasiswa balerinanya. Tak mungkin Keyra mengorbankan janin di dalam rahimnya. Janin tersebut tak hanya bergantung kepada Keyra. Sebab janin tersebut memang hanya mengandalkan Keyra, terlepas dari janin tersebut yang tentunya tidak bersalah.  Keyra sangat paham, rasanya dibuang oleh wanita yang seharusnya menjadi ibu sekaligus sumber kebahagiaannya, sungguh menyakitkan. Keyra pernah ada di posisi itu, dan Keyra tak mau, anak dalam kandungannya sampai merasakan hal yang sama. **** Beberapa hari kemudian di tempat berbeda, di kediaman Arden. “Mengenai pernikahan, harusnya dalam waktu dekat, empat puluh hari dari sekarang, Arden sudah harus kembali menikah. Karena jika sampai lewat, ke depannya Arden akan semakin susah. Tidak hanya mengenai jodoh, melainkan semuanya! Dari masalah pekerjaan, bahkan merambah ke anak dan keluarga!” “Sekarang saja, anak Arden sedang sakit, kan? Sedangkan penyebab istri Arden meninggal, juga karena sakit-sakitan?” “Seharusnya istri Arden sembuh dari penyakitnya andai saja dia tidak menikah dengan Arden. Sebab jika dilihat dari hari lahir keduanya, Arden dan istrinya ini kurang cocok. Enggak bagus kalau pernikahan mereka tetap dijalani. Alhasil, istri Arden yang enggak kuat dan akhirnya meninggal.” Merinding. Kanaya dan Diana yang sedari awal menjadi penyimak baik, mulai ketar-ketir. “I-iya, Pak. Bener! Bener banget!” Diana memberanikan diri untuk menanggapi ucapan pria tua di hadapannya dengan sangat serius. Kemudian, ia melirik sang mamah yang duduk di sebelahnya. Kanaya—mamah Diana terlihat jauh lebih serius dari Diana, dalam menyimak setiap ucapan pria tua di hadapan mereka, kendati sedari awal kebersamaan, Kanaya selalu bungkam. Hanya saja, Diana mendapati keseriusan yang terlampau besar dan Diana yakini sudah sangat ingin Kanaya luapkan. Ketegangan sungguh menguasai suasana di ruang keluarga kebersamaan mereka. Terlebih, setiap perkataan yang terlontar dari mulut pria tua dengan kepala yang sudah dikuasai uban tersebut, selalu benar. Pria tua tersebut bernama Saman. Beliau merupakan kenalan dari teman Kanaya. Saman sendiri merupakan ‘orang tua’, atau orang yang bisa membaca masa depan bahkan memprediksi nasib seseorang hanya dari hari lahir kejawen atau yang disebut ‘weton’. Sedangkan mengenai Arden yang sedang dibahas, merupakan anak pertama Diana, dan tiga tahun terakhir, telah menjadi duda, karena ditinggal meninggal oleh istrinya yang sakit-sakitan.  Semuanya sungguh persis seperti yang diramalkan Saman, seperti apa yang selama ini Kanaya yakinkan. Ya, Kanaya sungguh sudah melakukan segala sesuatunya, khususnya urusan jodoh anak dan cucunya untuk lebih mengedepankan hitungan kejawen. Namun, selain masih dianggap tabu, Diana dan anak-anaknya tidak mau mengenal kejawen yang selama ini sudah menjadi bagian dari kepercayaan Kanaya sebagai orang yang juga masih memiliki darah keturunan Jawa. Hanya saja, setelah sederet masalah menimpa mereka khususnya Arden, Diana justru meminta Kanaya untuk mencari tahu penyebabnya, melalui kepercayaan kejawen yang selama ini Kanaya yakini. “Kalau saya lihat, Arden juga sedang membangun cabang kantor baru. Namun, semuanya kembali ke nasib Arden, apalagi posisi Arden sekarang benar-benar sedang sulit. Kalau Arden tetap tidak menikah dalam waktu dekat, dijamin, rencananya ini juga akan gagal total!” Saman kembali menjelaskan panjang lebar. “Sebentar-sebentar.” Sambil terus menulis dan menghitung angka-angka yang ia tulis pada buku, Saman sungguh menahan kedua wanita di hadapannya untuk tidak berkomentar. Diana yang semakin takut nasib anaknya benar-benar berakhir tragis bahkan sampai menimpa mereka semua, menjadi semakin tidak tenang. Diana gelisah dan tak kunjung bisa mengakhirinya. Ini mengenai Arden dan bahkan keluarga besar mereka. Arden harus menikah dengan wanita yang memiliki hari kelahiran kejawen sesuai ketentuan.  Memang terbilang rumit jika untuk menikah saja harus mempertimbangkan hari lahir, tapi akan lebih rumit lagi jika Arden tidak menikah dengan wanita sesuai ketentuan kejawen kepercayaan mereka. Dan jika mereka gagal mencarikan jodoh untuk Arden sesuai arahan yang sudah mereka terima, sungguh, nasib Arden dan keluarga besar mereka akan menjadi taruhannya! “Ada catatan lain. Ada kebaikan yang menimpa Arden andai saja dalam waktu dekat ini, hatinya tulus menolong seseorang tanpa diarahkan apalagi dipaksa,” ucap Saman tiba-tiba sambil menatap lekat-lekat angka yang ia jumlahkan. “Ini. Ada rezeki besar yang sudah menanti Arden.” Lantaran Kanaya masih bungkam dan tak kunjung meminta arahan lanjutan demi kebaikan bersama khususnya kebaikan Arden, Diana yang menjadi semakin tidak sabar pun angkat suara. “Apa itu, Pak? Tapi, Pak, tolong permudah jodoh Arden.  Jika memang dalam empat puluh hari ini, Arden harus menikah, harusnya Bapak juga bisa kasih arahan agar kami bisa menemukan calon yang tepat untuk Arden.” Diana benar-benar memohon, pasrah pada Saman yang sedari awal memberinya arahan. Saman menghela napas pelan dengan raut wajah yang kurang meyakinkan. Pria itu menggeleng pelan membuat Diana bahkan Kanaya yang menggantungkan harapan kepadanya, menjadi lemas seketika. “Yang namanya jodoh, pasti akan bertemu bagaimanapun caranya. Namun untuk mempertemukannya, ini kuasa yang di Atas. Tapi jika memang bisa, carikan Arden wanita dengan hari lahir ....”  Saman menjelaskan detail wanita yang paling cocok dengan Arden, atau setidaknya cukup baik bagi Arden. “Jadi, nanti kalau kalian sudah menemukan yang pas, syukur-syukur yang terbaik seperti arahan, tolong kabari saya secepatnya, agar kita bisa mengatur pernikahan mereka secepatnya.” Saman meletakkan pulpen yang sedari awal ia gunakan untuk menulis, tepat di atas buku yang sudah dipenuhi angka-angka hitungannya. Angka-angka yang hanya dimengerti olehnya. “Saya juga akan bantu doa untuk kelancaran semuanya. Tapi kalau dilihat dari jalan hidup Arden, dalam waktu dekat Arden memang akan kembali menikah karena kebaikan yang Arden lakukan, dalam waktu dekat. Syukur-syukur Arden menemukan yang pas, jangan seperti sebelumnya. Kita sama-sama berdoa saja, sambil terus berikhtiar,” ucapnya mencoba meredam kecemasan ke dua wanita di hadapannya. “Kalau dalam waktu dekat Arden akan menikah, dengan kata lain, Arden bisa keluar dari masa-masa sulit, kan, Pak?” sergah Diana tidak sabar. Dan keingintahuan Diana menjadi cukup terobati lantaran Saman membalasnya dengan anggukan pelan. “Empat puluh hari dari sekarang akan menjadi penentu nasib Arden. Kita sama-sama berdoa saja, semoga kali ini pas. Karena jika Arden sampai kembali salah pilih, rumah ini pun bukan lagi milik kalian. Hutang ada di mana-mana, bahkan Arden bisa terseret dalam urusan kriminal dan paling parahnya, Arden masuk penjara dalam jangka waktu yang lama.”  Saman menatap serius Diana yang duduk di hadapannya. Mereka hanya terpaut sebuah meja yang menjadi tempat suguhan makanan dan minuman dalam kebersamaan mereka, selain pulpen berikut buku yang sedari awal Saman gunakan untuk menghitung hitungan kejawen kehidupan Arden. Penjelasan lanjutan dari Saman, kembali membuat Diana dan Kanaya merinding. Untuk beberapa saat, jantung Diana dan Kanaya seolah berhenti berdetak bersamaan dengan keduanya yang sampai lupa bernapas. Sefatal itukah dampak dari pernikahan Arden bagi mereka? Pikir Diana dan Kanaya nyaris dalam waktu yang sama. “Tapi seandainya kami sudah menemukan wanita yang pas, meski tidak sampai sangat cocok dengan Arden, tapi masalahnya wanita itu ada di luar negeri dan tidak bisa pulang. Bisa, nikahnya digantung saja? Kita ijab qobul lewat online?” ujar Kanaya yang akhirnya angkat suara. Diana langsung menatap tak percaya Kanaya. Wanita berambut bob setengkuk itu tercengang terbengong-bengong menatap sang mamah. “Wanita di luar negeri? Inara, maksudnya?” pikirnya. “Arden memiliki calon, dia sedang kuliah di luar negeri. Namun jika harus pulang dalam waktu dekat, sepertinya dia tidak bisa,” tambah Kanaya. “Kalau memang sudah ada, ya harus pulang. Masalahnya, setelah mereka menikah pun, tepat di malam pertama, mereka juga harus ‘campur’, ‘melakukan hubungan’ karena ini akan menjadi kunci kebahagiaan mereka berikut kalian sekeluarga, di masa depan! Suruh pulang saja calonnya itu, yang penting di hari ijab qobul dan malam pertama, mereka ‘campur’. Bagus malah kalau memang sudah ada! Arden bahkan kalian hoki!” Saman menatap Kanaya penuh keyakinan, kemudian berganti kepada Diana yang mendadak bungkam. “Inara ... dulu saja, dia rela melepas Arden untuk menikahi Intan, karena Inara ingin melanjutkan kuliahnya, sedangkan jadwal pernikahan Arden dan Inara justru bentrok dengan jadwal keberangkatan Inara ke luar negeri, hingga Intan terpaksa menggantikan Inara menjadi mempelai (akan ada cerita khususnya di novel :  Istri Pengganti),” batin Diana. Diana yang masih merenung, masih sibuk berbicara dalam hati. “Namun sekarang, Arden sungguh membutuhkan Inara. Bukan ... bukan, lebih tepatnya, keluarga ini sangat membutuhkan Inara. Demi apa pun, Inara harus pulang! Inara harus menikah dengan Arden bagaimanapun caranya!” “Tak apa meski hanya sebentar, asal hari ijab qobul dan malam pertama dia bersama Arden, nasib keluarga ini pasti akan terselamatkan!” batin Diana yang langsung menyusun sederet rencana. Kedua tangannya yang berada di sisi paha, menjadi mengepal kencang seiring keyakinan yang baru saja ia rancang.  Mengenai Inara kekasih Arden yang sedang fokus kuliah kedokteran di Amerika. Ya, Diana sekeluarga sangat berharap sekaligus bergantung kepada Inara. Dan semoga, untuk kali ini Inara bisa meluangkan waktu demi kebaikan bersama. Apalagi sebelumnya, Arden sudah rela menjalani pernikahan pengganti sekaligus pernikahan sementara dengan Intan kakak Inara, lantaran tiga hari dari pernikahan, Inara mendadak harus pergi ke Amerika demi pendidikan kedokterannya. ***  “Arden harus membuat Inara mau!” Kanaya begitu serius dengan ucapannya. Sedangkan Diana yang sebelumnya sudah merencanakan hal yang sama, segera mengangguk setuju, terlepas dari ia yang langsung menyikapi Kanaya dengan sangat serius. Kanaya yang masih belum menatap Diana yang ada di hadapannya, kembali menuangkan pemikiran sekaligus rencananya. “Namun jika melihat dari Inara yang susah diarahkan, sedangkan Arden juga sangat mencintai Inara, mau tak mau, kita juga harus memiliki rencana lain!” Ia mengakhiri ucapannya dengan menatap serius sang putri yang sudah berdiri di hadapannya dan menatapnya dengan sangat serius. “Rencana lain bagaimana, Mah? Mamah mau membuat pernikahan pengganti atau malah sementara lagi, seperti sebelumnya?” Diana masih menatap penasaran Kanaya. Ia sampai menahan napas saking tegangnya lantaran wajah sang mamah mendadak berubah menjadi sangat bengis dan menyeramkan. Sebuah kenyataan yang membuat Diana yakin, Kanaya sedang marah besar. “Pernikahan sementara kepalamu! Bukankah tadi kamu dengar sendiri, Arden sudah tidak boleh asal pilih pasangan?” semprot Kanaya dan langsung membuat Diana menunduk menyesal.  “Kita harus tegas, kita minta kepastian secepatnya kepada Arden maupun Inara. Dan jika memang Inara tetap tidak bisa, terpaksa kita harus mencari wanita lain. Kamu, pastikan cari wanita yang cocok sesuai hari lahir untuk Arden. Tak peduli bibit bobot bebetnya bahkan meski wanita itu janda sekalipun, asal hari lahirnya pas atau malah sangat cocok, ke depannya kita juga akan sangat baik!” Diana sangat setuju dengan rencana Kanaya. Tak peduli bagaimana tanggapan Arden, mereka sungguh harus melakukan yang terbaik demi kebaikan bersama. Diana tak bermaksud egois dengan mengorbankan perasaan anaknya sendiri. Karena semuanya sungguh demi masa depan kehidupan mereka. Tak mau membuang-buang waktu, Diana langsung menghubungi teman berikut kenalannya guna menemukan wanita yang paling cocok untuk Arden. Ia melakukannya untuk berjaga-jaga lantaran takut Inara kembali menolak melangsungkan pernikahan, layaknya sebelumnya.  Bersambung ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD