Bab 1 Hidup Tidak Seperti Mie Instan 1

1587 Words
Sasha Fahreza memeriksa persediaan mie instan di lemari kecil di atas konter, mata memicing. Salah lihat atau salah ingat, kah? Seingatnya, rasa kari super pedas masih ada dua bungkus di sana kemarin. Letak kacamata bulatnya diperbaiki, wajah berubah masam. "Ri! Kamu, ya, yang makan mie kari spesialku?" Kakaknya tidak menanggapinya. "Iya, Ma. Sasha saja yang menjemputnya. Minggu ini aku benar-benar sibuk. Belum lagi harus menyiapkan persiapan materi untuk perkuliahanku! Belum lagi persiapan materi pembelajaran minggu ini." Suara kakaknya terdengar menuruni tangga menuju dapur. Ini disambut Sasha dengan pelototan tajam ketika mata mereka bertemu, tangan dilipat di dadanya. "Biar Sasha saja yang pergi sendirian. Toh, bukan anak kecil lagi. Lagian, dia nggak ada kerjaan juga, tuh!" "Yeah. Maaf sudah jadi pengangguran intelektual," dengusnya kesal. Tak ingin mendengar ejekan lagi, tangannya meraih mie instan rasa apa saja dari dalam lemari, membuka bungkusnya dan memasukkan isinya ke dalam air yang mendidih. "Sha! Mama mau bicara, nih!" ucapnya cuek seraya ponsel dijulurkan kepada Sasha. Setelah berdecak kesal, Sasha menyambar ponsel merah miliknya itu. Riri adalah tipe manusia bermulut tajam dan suka bertindak tanpa pikir panjang, itu membuatnya heran dengan profesi pengajar yang disandangnya. Bukankah dia seharusnya lebih menginspirasi ketimbang jadi nenek sihir bermulut pedas? "Halo, Ma?" katanya pelan. Matanya sibuk mengamati mie yang mendidih di atas kompor. "Kakakmu sibuk minggu ini. Jadi kamu saja yang menjemput adikmu besok di bandara, ya!" Nada cemas terdengar dari suara mamanya. Oh, Sasha tahu apa maksudnya. Meski akan menginjak umur dua puluh enam tahun pada bulan Juni ini, dia masih saja dianggap seperti anak-anak. Ditambah status penganggurannya saat ini membuat segala hal menjadi rumit. "Iya. Baik, Ma. Jangan cemas. Aku bisa, kok, ke bandara sendirian. Tinggal naik taksi saja ke sana lewat tol. Beres," perempuan berambut lurus sepinggang itu sama sekali tidak fokus dengan apa yang diucapkannya, tangannya sibuk menyiapkan bumbu mie ke dalam mangkuk. "Kamu yakin bisa sendirian?" "Astaga, mama. Ini cuman ke bandara, bukan ke luar negeri! Tenang saja! Mama selalu berlebihan, ah!" spontan dia menggigit lidah, tanda merasa bersalah, tanpa sadar mengucapkan kata 'ah'. "IYA, MA! Itu cuman ke bandara! Sasha nggak akan hilang, kok!" Riri mengambil roti dari atas meja, lalu menertawai Sasha yang cemberut. "Tuh. Dengar, kan, Ma? Semua akan baik-baik saja. Besok aku kabari tiap sepuluh menit, deh." Mie setengah masak dituang ke dalam mangkuk, sebagian uap mie menempel pada kacamata bulatnya. "Apa kamu tidak bisa pergi dengan siapa gitu? Pacar, kek. Temen, kek." Perut Sasha tiba-tiba bergolak, kening bertaut seolah memakan sesuatu yang kecut. Kenangan buruk itu muncul seperti film yang dipercepat, menghantam ingatannya bagaikan tsunami. Dia sudah jadi makhluk anti pacaran sejak tragedi putus menimpanya hampir dua tahun lalu. Dan teman? Pffft. Terisolasi dari dunia nyata selama setahun menganggur, membuat hidupnya kebanyakan dihabiskan di dunia maya. Orang rumah bisa saja mengecapnya seorang pengangguran, namun diam-diam dirinya menerbitkan buku secara mandiri. Hasil dari penjualan buku itu terbilang lumayan, sayangnya belum bisa dengan bangganya mengumumkan pada mereka bahwa anak ke dua dari tiga bersaudara itu dengan gelar Master Management bakal banting stir jadi penulis novel fiksi dengan penghasilan yang tidak stabil. Rencananya, hal itu akan diberitahukan jika penjualan bukunya sudah cukup banyak hingga mampu membeli rumah sendiri (walau tidak begitu yakin kapan hal itu akan terjadi). Minggu lalu Sasha sudah mengontak sebuah penerbit buku terkenal dan meminta persyaratan mereka. Beberapa dari persyaratan itu memenuhi buku yang sedang dikerjakannya selama hampir enam bulan belakangan ini. Perempuan itu yakin bisa mencetak rekor kali ini. Hanya butuh sedikit waktu lagi. Hanya saja, keluarganya kadang sangat begitu menuntut hingga membebani pikirannya sampai depresinya kadang kumat. Satu-satunya cara agar tidak terpengaruhi dengan semua hal itu adalah menerimanya secuek mungkin agar bisa selamat melewati hari demi hari. Sasha bersyukur menulis adalah terapi yang cocok dan bermanfaat secara mental dan finansial untuknya saat ini. Punya gelar tinggi itu menyenangkan? Siapa bilang? Tekanan sosialnya berat! "Ma! Aku bukan anak kecil lagi! Umurku sudah hampir dua puluh enam tahun! Hanya karena aku belum punya pekerjaan tetap, bukan berarti aku ini masih anak kecil!" nada suaranya terdengar seperti membentak. "Sasha!" pekik Mamanya galak. "Apa kamu sekarang mulai melawan mama? Begitu? Hanya karena kamu 'sudah hampir berumur dua puluh enam tahun'?" Kalimat terakhir diucapkan dengan nada mendikte dibuat-buat. "Maaf, Ma... Bukan begitu..." "Jika kamu sudah berumur segitu. Harusnya kamu sudah bekerja saat ini! Memiliki penghasilan tetap, setidaknya bisa mengurangi beban keluarga. Bukannya malah tinggal di rumah terus-terusan seperti katak dalam tempurung! Buat apa gelar tinggimu itu, hah? Habis-habisin duit aja kamu!" Pandangan Sasha berubah kosong. Kepalanya terasa berat, serasa ada duri di tenggorokan. Perutnya serasa dihantam oleh sesuatu yang tidak terlihat. Topik itu sungguh melelahkan. Apa yang dikatakan mamanya itu benar. Namun, ada alasan kenapa sampai seperti itu. Dia tidak sanggup menceritakan alasan di balik dirinya yang kacau seperti sekarang. Sebab, alasan itu melibatkan banyak pihak dan pastinya akan ada pihak yang akan merasa bersalah. Dan dia tidak suka apabila seseorang mulai merasa sok kasihan kepadanya. Sasha mungkin saja lemah dan tidak berdaya, tapi ditolong dengan alasan belas kasihan orang lain? Itu sungguh tidak bisa diterima. Hal utuh yang dimilikinya saat ini hanyalah harga diri. Miskin harta boleh, namun tidak bisa dengan harga diri. Dia adalah tipe perempuan yang menjunjung tinggi harga dirinya kuat-kuat, apapun yang terjadi. "Iya, Ma. Aku tahu! Bersabarlah sedikit. Aku sedang berusaha." Suaranya dibuat sepelan dan selembut mungkin. "Sabar! Sabar! Sabar! Sampai kapan mama mau bersabar? Syarat kerja memiliki batasan umur, Sasha! Siapa yang mau menerimamu kalau sudah berumur kepala tiga nanti? Mama tunggu cucu, kamu juga belum punya calon! Lantas, mama bisa berharap apa sekarang? Sudah punya pacar malah diputusin dengan alasan tidak masuk akal! Alasan macam apa itu putus karena dia punya banyak mantan? Siapa yang tidak punya mantan zaman sekarang, hah? Jodoh itu jangan pilih-pilih! Nanti tidak kebagian!" "Kok, mama bahas ini, sih?!" serunya dengan kening bertaut. "Riri juga sama, kok! Kenapa cuma aku saja yang kena ceramah mama? Lagian, cari kerja itu susah, Ma! Siapa bilang punya gelar tinggi mudah dapat kerja? Yang ada malah sebaliknya!" Perasaan Sasha jadi campur aduk, hatinya terasa begitu meledak-ledak layaknya kembang api: marah, sedih, putus asa, dan kecewa silih berganti menghinggapi hatinya. Pikirannya melayang hingga kuah mie dari mangkuk yang diangkatnya dari konter ke meja tumpah mengenai tangannya. "Argh!" "ADA APA?" "Aku ketumpahan kuah mie. Bukan apa-apa, kok." Sasha segera menyiram tangannya dengan air keran yang mengucur, agak perih, tapi terasa lebih ringan saat menyentuh air. "Kenapa kamu suka sekali tidak beres dalam melakukan apapun? Bagaimana tanganmu? Apakah parah?" omel mamanya, mulai naik darah. "Segera kompres dengan air dingin dan beri obat merah! Mama heran, kenapa kamu suka sekali terluka. Ada apa, sih, denganmu? Semuanya tidak ada yang beres!" Mendengar itu, Sasha terhenyak, senyum bodoh terlintas di wajahnya yang kini suram. Air mata serasa ingin merebak. Menelan ludah pun terasa sulit rasanya. Semenjak masa-masa suram menyapa hidupnya—nenek tersayangnya meninggal dunia dan disusul beberapa bulan kemudian ditinggal nikah oleh sang pacar, Sasha mulai tahu apa yang keluarganya pikirkan tentang dirinya. Protes pun sia-sia, apalagi marah sampai membantah. Sedikit saja membalas komentar pedas itu, maka akan dicap pembangkang, anak durhaka, tidak punya hati, dan lain sebagainya. Sungguh sakit menerima semua hal itu tanpa mereka mau mendengar penjelasan sedikit pun darinya. Percuma juga dijelaskan, toh, mereka tidak akan mau repot-repot memikirkannya. Hanya lewat seperti angin lalu. Masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Sasha Fahreza mengerti kenapa keluarganya seperti itu. Beban emosional keluarga yang berat sepeninggal nenek, finansial yang menekan, kebutuhan mendesak yang silih berganti, serta adanya penilaian orang-orang luar membuat keluarga Sasha memikul harapan-harapan omong kosong yang seharusnya tidak begitu rumit seperti saat ini. Shasha berkali-kali berusaha mengingatkan keluarganya bahwa hidup itu tidak perlu ditambahi dengan penilaian orang asing yang tidak tahu apa-apa mengenai kondisi mereka. Apa kata mamanya? Sasha diomeli bahwa dia tidak tahu hidup sulit itu seperti apa. Di mata keluarganya, Sasha telah mendapat label anak yang bodoh, lamban, teledor, dan anti-sosial. 'Ya, Ma. Anakmu ini memang tidak pernah beres pada hal apapun. Bahkan, hidup pun begitu. Berkali-kali berpikir untuk lenyap saja dari dunia ini daripada menjadi anak yang tidak berguna.' Ingin sekali dia membalasnya dengan perkataan semacam itu. Namun, pada akhirnya tidak bisa berkoar-koar seolah hanya dialah yang paling menderita, maka dari itu hanya dijawab, "tidak parah, kok. Sudah dulu, ya, Ma. Aku mau sarapan dulu, nanti mienya bengkak. Mama jangan cemas lagi soal ke bandara. Nanti aku akan menghubungi salah satu teman kuliah agar menemaniku kalau dia tidak sibuk. Aku tutup, ya, Ma. Assalamualaikum." Mamanya tidak bisa berkata apa-apa lagi, jadi hanya membalas salamnya saja lalu memutus sambungan telepon. Ditatapnya ponsel merah dalam genggaman, keraguan sempat terbersit di benaknya. Detik berikutnya, kepalanya menggeleng pelan. Dengan lincah, jari-jarinya mengetik pesan singkat di ponsel. Sasha: AG. Temani aku hari ini ke bandara. Wajib! TITIK! Nanti aku traktir makan coto sepuasnya, deh! "Sudah lama aku tidak bertemu AG secara langsung. Rasanya mungkin bakal jadi canggung… heboh di medsos dan dunia nyata itu, kan, beda….” Helaan nafasnypanjang, kedua bahunya memelas. Sasha melirik tangannya yang terlihat agak memerah dengan tatapan nanar. Pikirannya serasa mau meledak tiap kali penyebab depresi mengusiknya. Jika saja dia lebih kuat, semuanya tidak akan seperti ini. Orang-orang di sekitarnya juga mulai bisik-bisik yang tidak mengenakkan hati. Mereka mulai memandang rendah dan remeh dirinya, termasuk keluarganya sendiri. Bahkan, dia terkadang dipanggil gila. Apa yang harus dikatakannya? Itu nyaris benar adanya. Sasha menanggapinya saja dengan lelucon, kadang dia lepas kendali walau tidak begitu sering, lalu berpura-pura tidak terjadi apa-apa. Dirinya berjuang melawan depresi yang disembunyikannya selama hampir dua tahun ini. Satu-satunya orang yang tahu, memberikan dukungan, semangat, dan nasihat adalah teman waktu SMA-nya dulu, AG.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD