Tiga

1149 Words
Seperti hari minggu biasa, setiap akhir pekan aku akan mengunjungi padepokan milik kakek, tempat aku mempelajari seni pencak silat sejak kecil. Sebelum kakek meninggal beberapa bulan lalu, beliau menitipkan padepokan ini pada ku, karena pesan terakhir itu lah setiap minggunya aku mengusahakan untuk datang kemari. Entah sekedar melihat-lihat atau turut andil mengajari anak-anak yang baru bergabung. "Bulan ini ada berapa murid baru yang masuk, mas?" tanya ku pada salah satu staff bertugas sebagai administrasi. "Enggak banyak sih, cuma 5orang." jawabnya. Aku hanya mengangguk-angguk kecil lalu pergi untuk melihat tempat biasa para murid berlatih. Walaupun padepokan ini tidak besar tetapi memiliki cukup banyak murid, apalagi setelah aku memenangkan kejuaraan pencak silat beberapa waktu lalu, membuat semakin banyak orang tua yang memasukan anaknya ke padepokan ini. Yah tentu saja hal ini membuatku senang juga. Di padepokan ini terbagi dalam tiga ruangan latihan. Yaitu latihan untuk para pemula, latihan khusus untuk anak-anak, dan tempat khusus untuk para profesional atau untuk mereka yang sudah sering mengikuti kejuaraan. Aku memutuskan untuk melihat ruangan latihan khusus anak-anak lebih dulu, karena ruangan ini adalah usul yang aku berikan pada kakek, mengingat dulu aku menyukai pencak silat pun dari umur yang masih sangat kecil. Aku membuka pintu kelas dengan perlahan agar tidak mengejutkan mereka yang sedang berlatih. Aku bisa merasakan bibirku melengkung tersenyum melihat anak-anak yang sedang berlatih di dalam sana. Ya ampun, gue udah kaya kakek-kakek aja. Setelah nya aku pun pergi ke ruangan latihan khusus pemula, tempat dimana mereka yang benar-benar masih awam untuk belajar dari dasar. Kebetulan saat aku sampai, ruangan tersebut tidak tertutup sehingga aku bisa melihat para murid-murid itu sedang berlatih bersama guru nya. Lalu terakhir aku menuju ke tempat dimana dulu aku di gembleng oleh kakek, tempat latihan khusus profesional. "Oi, Jun!" teriak seseorang dengan sangat kencang yang membuat ku kaget. Buset! suara siape tuh ke' toa? Seorang pria berperawakan tinggi dan berbadan penuh otot berjalan ke arah ku, orang yang paling malas untuk aku temui setiap kemari. "Oh, lo masih di sini juga, Dhi?" "Kalau bukan gue, terus siapa yang bakal ngajar anak-anak lemah itu." jawabnya dengan nada sombongnya. Aku mendengus, salah satu yang tidak ku suka adalah kearoganan sifatnya itu. Memang dia siapa selalu mengatakan orang lain lebih lemah darinya? "Terserah lo." "Lo mau tanding sama gue?" tantangnya. "Ogah, males. Gue cuma mau liat-liat doang." Aku memperhatikan suasana yanga ada di sekeliling, suara teriakan semangat juga percakapan antara guru dan murid atau hanya obrolan kecil dari para murid-murid yang sedang beristirahat. "Gimana sekolah lo?" tanya Adhi memecah keheningan. Ternyata nih samson masih ada di samping gue toh. "Ya gitu. banyak tugas. kayanya mulai bulan depan gue udah mulai susah buat kemari dah." "Lo udah kasih tau nyokap lo?" "Gue udah ngasih tau alasan nya sih, bokap juga gak masalah tapi nyokap gue masih berharap supaya gue masih mau dateng ke sini tiap minggu." "Mungkin karena nyokap lo anak dari kakek lo sih ya, jadi beliau mau lo yang tetep ngurus." "Mungkin. Gue masih mikirin gimana enaknya sih." "Kayaknya lo harus rekrut orang buat gantiin lo deh." ucap si samson itu. "Gue juga tahu, tapi siapa? itu yang lagi gue pikirin." Selesai berbincang-bincang sedikit dengan Adhi, aku memutuskan untuk kembali ke ruang tunggu depan dimana biasanya para calon murid mendaftarkan diri mereka. "Loh, udah selesai liat-liat kelasnya?" tanya seorang laki-laki yang sedang duduk di belakang meja resepsionis. Aku mengangguk pelan dan berjalan menuju kursi yang di sediakan di sana. "Udah, cuma liat-liat doang sama ngobrol bentar." "Jadi gimana? apa masih belum kepikiran siapa yang mau gantiin kamu buat ngurus padepokan?" "Belum, mas. Kayanya kalau masih gak ada juga, mau ga mau ya kakak ku yang gantiin." "Mas juga setuju sih kalau itu." "Ntar jangan kebanyakan modusin mbak ku mas! kalau ketahuan aku bogem ntar." Mas Satria tertawa terbahak mendengar hal itu dari ku. Bukan hal yang aneh lagi buat keluarga ku kalau setiap dimana ada kakak ku, mas Satria pasti selalu modus buat pedekatean. Walaupun kakak ku itu cuek secuek-cueknya, hajar terus bleh! "Terus gimana di sekolah?" "Ya elah kenapa pada nanyain sekolah sih? cuma dua kata, banyak tugas!" "Hahaha! Yah begitulah SMA, tugas-tugas, belum lagi kalau ikut ekskul. Eh, ngomong-ngomong kamu ikut ekskul apa?" "Belum tau, belum ada yang bikin tertarik sih." "Gak ikut klub pencak silat atau seni beladiri yang lain?" "Gak ah, aku tuh mau nyobain sesuatu yang baru." "Deuuileeh." "Eh Mas, mas tau sepak takraw?" "Sepak Takraw?" Aku menganggukkan kepalaku, terlihat mas Satria mengetuk-ngetukan jarinya di atas meja. "Yang bolanya dari rotan itu?" "Ya aku gak tahu, aku tahu namanya doang tapi gak tau yang kaya gimana." "Cari atuh di mbah gugel." "Males. Jadi mas Satria juga gak tau?" "Mas cuma tau itu olahraga yang mirip dengan voli, tetapi bolanya terbuat dari rotan terus dimainin nya kaya sepak bola." "Hah? mirip voli tapi di tendang-tendang pake kaki?" "Setahu mas sih yah begitu." "Aneh banget dah." "Emang kenapa kamu tanya-tanya sepak takraw?" "Waktu pengenalan klub, ada senior yang ngajakin untuk gabung ke sepak takraw. Aku tolak sih karena aku sama sekali gak tahu itu olahraga yang seperti apa, cuma pernah denger namanya doang." "Kenapa gak coba gabung aja?" "Mas Satria tahu sendiri kalau aku paling gak mau memulai sesuatu yang gak aku suka apalagi yang gak aku tahu." Kami berbincang-bincang banyak hal hari itu, karena aku hanya memiliki kakak perempuan, mengobrol bersama mas Satria menjadi hal yang cukup menyenangkan. Kadang dia juga memberikan masukan dari untuk ku dari berbagai sisi, yang minus dari dirinya hanya sikap cringe saat dia sudah mulai modus dengan kakak ku, selebihnya mas Satria tipe pria baik yang akan di senangi oleh orang tua ku untuk menjadikannya menantu di rumah. Sekembalinya dari padepokan, aku merebahkan diri di atas kasur empuk di kamar tercinta. Jarak di tempuh cukup jauh menggunakan motor kesayangannya terkadang menjadi kendala yang membuatnya sedikit malas ke sana. "Junaaa! jangan tidur! sebentar lagi makan malam." teriak mamah dari bawah yang menggelegarkan seisi rumah. "Junaaa gak tidur!" balas ku dengan cara yang sama. Berteriak. Aku membalikan posisi tidur ku menatap langit-langit kamar, memikirkan siapa yang akan menggantikan aku untuk mengawasi padepokan seperti keinginan kakek. Dengan semua tugas sekolah yang menumpuk rasa-rasanya aku tidak sanggup untuk ke sana setiap akhir pekan. kryyuukkk! "Njrit! laper gue. ntar aja deh gue pikirin, mending ke bawah trus makan." aku bangun dari atas kasur dan berjalan keluar kamar menuju ruang makan yang terdapat di lantai satu. "Gimana keadaan padepokan?" tanya mamah yang sedang menaruh sepiring ayam goreng di meja makan. "Yah gitu, kata mas Satria bulan ini kita ada lima murid baru." "Alhamdulillah." "Mah...," panggil ku setelah duduk di salah satu kursi di meja makan. "Hmm?" "Kalau Mbak yang gantiin Juna untuk ngurus padepokan gimana? kayanya Juna bakal tepar deh kalau bolak-balik tiap minggu, belum lagi kadang kan Juna ada kegiatan di hari minggu juga." "Papah juga udah ngasih usul gitu ke mamah. Ya udah nanti kita diskusiin lagi kalau Papah sama Mbak mu pulang ya." *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD