bc

Kekasih Halal

book_age12+
958
FOLLOW
6.0K
READ
student
drama
bold
evil
cleric
male lead
realistic earth
school
like
intro-logo
Blurb

INNOVEL WRITING CONTEST — THE NEXT BIG NAME

Genre : Romance (Religi)

***

Setelah istrinya meninggal karena kecelakaan, Fahri jatuh dalam keterpurukan. Ia merasa setengah hatinya hilang dan lebih sering mengurung diri di kamar. Sampai akhirnya Faisal, mantan mertuanya pun datang, menawarkan Fahri untuk membantu mengajar di SMA swasta miliknya.

Fahri ditunjuk sebagai guru agama. Selain Fahri pernah mondok di sebuah pesantren, dulu sebelum kecelakaan merenggut nyawa Aisyah sang istri, Fahri juga sering menjadi pengisi di acara tausiyah masjid di kampung.

Lalu pertemuannya dengan Dinda Larasati, salah satu murid perempuan pembuat onar di sekolah yang berlagak seperti preman, suka memberontak dan tidur terutama di jam pelajaran agama membuat Fahri gatal ingin mengubahnya menjadi wanita yang baik.

Mampukah Fahri merubah Dinda? Atau dia malah justru banyak mendapat pelajaran hidup dari Dinda sendiri?

chap-preview
Free preview
KH - Kehilangan
3 bulan lalu... "Assalamu'alaikum, Bang! Adek sudah selesai berbelanja." Suara merdu seorang wanita membuat hati Fahri menghangat saat mendengarkannya. Dia Aisyah, istrinya. Wanita berusia sama sepertinya—25 tahun—yang baru ia nikahi sekitar satu bulan yang lalu. Fahri bahagia dengan kehidupan pernikahannya. Aisyah adalah wanita sholehah dan penyayang. Ia adalah jenis perempuan dengan bacaan Al Qur'an merdu, sejuk dipandang dan taat pada perintah suami. Hari ini karena kesibukan, Fahri mengantar Aisyah ke pasar lebih dulu, sebelum ia pergi bertemu dengan salah satu klien. Sebenarnya janji temunya sore nanti, tapi karena so klien ada acara, jadilah ia menemui Fahri pagi sekali. "Oh, kok tumben cepat belanjanya?" tanya Fahri. Ia melirik jam tangan dan mengerutkan dahi. Biasanya Aisyah butuh waktu satu jam lebih berada di pasar. Fahri pernah sekali ikut untuk tau alasan kenapa Aisyah lama sekali ketika berbelanja. Dan menemukan alasan bahwa istrinya memilih bahan makanan yang betul-betul bersih dan sehat, di mana para pedagang sekarang banyak sekali melakukan kecurangan seperti menambahkan formalin, menyuntikkan cairan di dalam telur agar tidak busuk atau terlalu banyak menyemprotkan obat pestisida di sayur mayur. Aisyah benar-benar istri yang cerdas. Fahri bangga memilikinya. "Iya, Bang. Ini juga tumben banget sayur mayurnya bersih dari pestisida. Abang di mana? Masih lama ketemu kliennya?" Fahri menatap sang klien dan mengangguk. Penandatanganan kontrak telah usai dan Fahri mengangguk pada klien perusahaan tempat ia bekerja untuk melepas kepergian. "Ini Abang baru aja selesai. Adek tunggu dulu di tempat yang agak sejuk, jangan di tempat pangkal ojek mangkal. Panas, dek. Bentar lagi Abang langsung ke sana jemput Adek." "Iya, Bang. Adek tunggu di depan minimart ya." "Iya." "Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumsalam." Baru saja Fahri keluar dari restoran, seorang pria menepuk bahunya. Fahri menoleh dan mendapati wajah familiar dari seorang kawan lama. "Fahri? Kau Fahri teman di pesantren dulu yang sekamar sama aku kan?" "Gibran ya?!" seru Fahri. Matanya berubah menjadi berbinar. Sudah sejak sekian lama ia tidak bertemu dengan pria berdarah Medan itu. “Wah, Fahri! Apa kabar kau?! Subhanallah... Sudah lama tak jumpa! Di mana sekarang kau tinggal? Kau sudah menikah sekarang?” tanya Gibran menyerocos. “Kau rasanya tambah tinggi nian, sementara aku, tambah bulat sajo!” Fahri tertawa. Gibran dari dulu memang suka makan, dan sepertinya sampai sekarang ia masih tetap sama. “Alhamdulillah, Gibran. Aku sehat dan ya... aku masih tinggal di rumahku yang dulu. Mampirlah kalau ada waktu. Rumahku selalu terbuka. Aku juga sudah menikah baru satu bulan yang lalu. Kamu sendiri bagaimana? Sudah menikah?” Gibran menghela napas panjang, ekspresinya menunjukkan sedikit kesedihan. “Kau taulah orang gemuk macam aku agak susah cari jodoh.” “Jangan bilang gitu. Semua orang sudah ada jodohnya. Allah yang atur. Sudah lupa ayat yang pernah kita pelajari di pesantren? Bahwa Allah menciptakan makhluk-Nya berpasang-pasangan. Janganlah kamu berprasangka buruk pada Allah. Mungkin, kamu memang belum bertemu sama jodoh kamu.” Gibran manggut-manggut saja. “Kalau gitu, ayo makan saja. Belum makan kan? Biar aku yang traktir. Dulu kan pas di pesantren kau yang sering traktir aku.” Fahri tersenyum. “Lain kali saja makan bareng. Aku harus jemput istri aku dulu. Kasihan dia kalau nanti harus nunggu lama,” ucap Fahri sambil menepuk bahu Gibran. “E e eh! Tunggu dulu! Beri tahu aku nomor HP kau dulu. Biar nanti bisa bersilaturrahmi.” Mereka pun saling bertukar nomor ponsel dan mengobrol agak lebih lama lagi. Fahri baru tau jika Gibran sekarang mengelola usaha air isi ulang milik pamannya. “Lain kali kau mau isi ulang galon di rumah kau, cukup hubungi aku. Gratis ongkos antar,” ucap Gibran berpormosi. “Wah, benar gratis ongkos antar ya?” “Tentu! Hitung-hitung buat pahala sedekahku sama kau. Dulu di pesantren kau terus yang bantu aku, kau baik sama aku. Habislah pahala buat kau semua. Nah, sekarang gantian. biar sekarang aku yang banyak dapat pahala.” “Ya sudah, kalau begitu aku permisi dulu ya. Assalamu’alaikum,” pamit Fahri. Kembali ia melirik jam tangan dan terkejut ketika tau ia mengobrol bersama Gibran sekitar lima belas menit. Semoga Aisyah tidak merajuk, batin Fahri sambil menghidupkan sepeda motor dan memakai helem. Namun tak urung bibirnya membentuk senyum tipis. Apapun ekspresi Aisyah, Fahri selalu menyukainya. Tapi sebenarnya Fahri lebih suka saat Aisyah merajuk, karena ia bisa melihat sisi manja dari istrinya. Fahri mengendarai sepeda motor dengan kecepatan sedang. Ia sempat menghela napas saat harus berhenti di rambu lalu lintas. Angka 40 tercetak jelas dan itu berarti Aisyah harus menunggu lebih lama sedikit lagi. Tidak apalah, nanti sebagai ganti, aku akan membelikan Aisyah hijab atau baju baru, pikir Fahri. Ia bahkan mulai memikirkan rencana untuk mengajak kencan Aisyah malam ini. Kebetulan sekali ini hari Sabtu, jadi mereka pergi ke manapun yang mereka mau. Toh, besok libur. Lamunan Fahri buyar tatkala suara klakson terdengar memekakkan telinga, saling bersahutan. Ternyata lampu sudah berubah menjadi hijau. Fahri pun menancap gas, dengan senyum tak sabar ingin menyampaikan niatnya dengan Aisyah. Memang, tidak ada yang lebih indah dari pada pacaran setelah menikah. Lima belas menit kemudian, Fahri akhirnya sampai di tempat di mana ia akan menjemput Aisyah. Tapi kerumunan di depan sana membuat Fahri memelankan laju motornya. Dan entah bagaimana. Tiba-tiba sebuah firasat buruk menerpa hati Fahri. Jantung Fahri mendadak berdetak dengan irama tidak nyaman. “Maaf, permisi. Itu di sana ada apa ya, Bang?” Fahri bertanya pada seorang pejalan kaki yang kebetulan lewat. “Itu, Mas. Kecelakaan. Ada supir truk ngantuk dan tau-tau banting setir ke kiri.” DEG! Fahri meneguk saliva gugup. Ia mulai gelisah, celingukan mencari-cari keberadaan Aisyah di antara kerumunan yang ada. Sia-sia saja. Orang-orang itu terlalu banyak memadati jalan. Merogoh ponsel dari dalam tas, Fahri mencoba untuk menghubungi Aisyah. Tapi nomor Aisyah tidak aktif. Di mana kamu, dek? Batin Fahri mulai tak tenang. Ia mencoba sekali lagi menghubungi Aisyah tapi nada sambungan tidak aktif-lah yang lagi-lagi menjawab. Menghela napas panjang, Fahri memutuskan turun dari sepeda motor. Tanpa pikir panjang, ia langsung menyibak kerumunan masa. Hatinya berkata bahwa ia harus mengecek apa yang terjadi. Dan tepat saat ia berhasil mencapai garis depan, tubuh Fahri refleks menegang. Lututnya bergetar ketakutan dan ingin sekali ambruk, karena melihat di depan sana Aisyah sudah tergeletak di atas lantai paving. “Astaghfirullah, Adek!” teriak Fahri. Kakinya mulai berlari menghampiri istrinya. Aisyah banyak mengeluarkan darah. Kerudung pink cerah yang pagi ini ia pakai telah berubah warna menjadi merah akibat darah yang keluar dari kepala wanita tersebut. Tangan Fahri bergetar saat ia membawa Aisyah dalam pelukan. Matanya mengerjab akibat kabut air mata yang tiba-tiba memenuhi kelopak mata. Sementara mulut Fahri terus menggumam, memanggil nama Aisyah. “Adek, Ya Allah. Adek, bangun... Aisyah... Abang sudah datang,” suara Fahri dengan nada bergetar. Tanpa sanggup lagi, air mata pun mulai keluar membasahi pipi. Suami mana yang tega melihat istrinya seperti ini? “T-tolong! Tolong... panggilkan ambulan,” ucap Fahri terbata sembari menyapu pandangan ke orang-orang yang mengerubungi. “Tolong... tolong istri saya... tolong panggilkan ambulan.” Fahri mulai terisak. Da-danya bergemuruh karena rasa sakit dan takut luar biasa. “TOLOOOONGG!! AISYAAAH... TOLOOONG!!” teriak Fahri mulai tak karuan. Ia memeluk tubuh Aisyah yang tidak sadarkan diri. Sembari berharap agar Tuhan berbaik hati padanya. *** Aisyah dilarikan ke Unit Gawat Darurat (UGD). Para dokter dan suster berlarian demi menyelamatkan satu nyawa tersebut. Fahri ikut berlari mendampingi. Tangan besarnya terus menggenggam tangan lembut istrinya. Sementara bibir Fahri terus memanggil-manggil nama Aisyah yang sejak dilarikan ke rumah sakit belum juga membuka mata. “Anda hanya boleh mengantar sampai sini, Pak,” tegur seorang suster saat mereka sudah masuk ke dalam ruang operasi. “I-iya, Suster,” jawab Fahri langsung setuju. Ia menatap nanar pintu operasi yang mulai tertutup. Hari itu adalah hari paling lama yang dirasakan oleh Fahri. 1 menit terasa seperti 1 jam. 1 jam terasa seperti 1 hari. Fahri menunggu dengan rasa cemas dan kekhawatiran yang tinggi, sampai Ainun dan Faisal, ayah kandung Aisyah datang menyusul. “Fahri,” sapa Ainun lembut pada putra semata wayangnya. Fahri menoleh dan langsung berhambur dalam pelukan sang ibu. “Ibu... Aisyah, Ibu... Aisyah... sakit,” kata Fahri dengan nada tercekat di tenggorokan. Faisal yang notabene sudah berumur hampir kepala lima tersebut pun langsung terduduk lemas di samping Fahri. Ia menunduk dan mengusap wajah tak percaya. Padahal pagi tadi, Aisyah masih sempat menelpon dan berkata bahwa malam ini akan datang berkunjung. Tapi sekarang malah kabar mengejutkan ini yang datang. “Bapak, maafin Fahri. Fahri nggak bisa jaga Aisyah.” Kini Fahri menangis di pelukan Faisal yang duduk di sebelahnya. “Ini bukan salah kamu, Nak. Semua sudah takdir dari yang Maha Kuasa,” ucap Faisal dengan nada tegar. Padahal dalam hati, ia merasakan ketakutan dan kekhawatiran yang sama besar seperti Fahri. Beberapa jam kemudian, pintu operasi terbuka. Muncullah seorang dokter yang menangani operasi. Ia melepas masker sebelum berseru. “Keluarga pasien Aisyah?” Kompak, Fahri, Aiunun dan Faisal berdiri cepat. Menghampiri sang dokter. “Kami dari tim dokter sudah berusaha semaksimal mungkin. Namun maaf, sepertinya benturan yang terlalu keras membuat tempurung tulang kepala pasien pecah dan menyebabkan pendarahan yang tidak bisa kami tangani.” Dokter menjelaskan dengan nada menyesal. Tapi seburuk apapun hasil diagnosanya, keluarga pasien jauh lebih berhak untuk tau. “Sekali lagi, kami minta maaf. Kalian bisa menemui pasien di saat terakhirnya.” Dunia Fahri terasa runtuh saat mendengar penjelasan itu. Ia mundur beberapa langkah ke belakang sambil menggelengkan kepala. Menolak untuk percaya. Air matanya tumpah lagi, membuat mata Fahri sangat merah. “Fahri, kuatkan hati kamu! Ayo, Nak. Temui istri kamu,” bujuk Ainun. Meski ia juga merasa sedih dan hancur, namun Ainun tau bahwa rasa sakitnya tidak sebanding dengan rasa sakit anaknya. “Nggak!” tolak Fahri. “Fahri nggak mau, Bu! Aisyah... Aisyah mana boleh ninggalin Fahri?” ucapnya menangis. Dari sudut mata, ia sempat melihat Faisal yang sudah berhambur masuk ke dalam ruang operasi. “Istighfar, Nak. Istighfar.” Ainun menarik Fahri dalam pelukan dan mengelus punggung kokoh putranya. Ia ikut larut dalam tangis tapi ia juga membiarkan Fahri menangis di pelukannya. “Fahri.” Faisal tiba-tiba sudah muncul kembali di ambang pintu. Ekspresinya nampak campur aduk, antara sedih, sabar dan tabah. “Masuklah. Aisyah ingin berbicara denganmu.” Tangis Fahri semakin kencang. Ia belum siap menemui Aisyah. Ia belum siap kehilangan Aisyah. “Fahri. Tolong... untuk terakhir kalinya. Aisyah ingin melihat kamu, Nak.” Suara Faisal terdengar berat dan bergetar, tanda bahwa si pria penuh wibawa akhirnya luluh juga dalam kesedihan. Ia menatap Fahri dengan tatapan memohon seorang ayah. Matanya berkaca-kaca tapi ia tahan agar tidak menangis. Perlu beberapa waktu bagi Fahri untuk menenangkan hati. Pria beriris mata hitam kecokelatan itu mengusap air mata di pipi, lalu menarik napas dalam-dalam. Jika ini pertemuan terakhirnya dengan Aisyah, ia tidak akan menunjukkan kesedihan dan tangisnya di depan sang istri. Fahri ingin melepas Aisyah dengan senyum penuh kehangatan dari bibirnya. Seperti cinta Aisyah yang begitu hangat menyelimuti hati Fahri selama ini. Dirasa sudah siap, Fahri pun masuk. Meski bibirnya terasa kaku saat mencoba memasang senyum palsu, Fahri meneguhkan hati. Perasaannya mencelos ketika melihat langsung keadaan Aisyah saat ini. Pucat, lemah tak berdaya, dengan perban yang terbalut di kepala yang sudah basah lagi karena pendarahan yang tak bisa berhenti. “A-bang ... “ panggil Aisyah dengan suara terbata. Tenggorokan Fahri langsung merasa seperti dicekik. Sakit sekali. Sampai-sampai ia merasa kelu untuk menjawab panggilan Aisyah. “A-bang ...” panggil Aisyah sekali lagi. Mata Fahri berkaca-kaca lagi, tapi ia langsung menunduk, mengusapnya dan kembali memasang senyum di bibir. “Iya, dek?” sambut Fahri. Duduk di samping Aisyah dan langsung memegang tangan istrinya lembut. “A-bang ... na-ngisss ...?” Bibir Fahri bergertar. Tapi ia terus menguatkan hati dan pikiran agar tidak menangis di depan Aisyah. “Enggak,” jawab Fahri. Yang disambut dengan senyuman tipis di bibir Aisyah. “Abang tau kan... tentang ayat ... yang menerangkan bahwa ... tiap-tiap makhluk yang bernyawa ... pasti ... akan mati?” Napas Fahri tertahan sejenak. “Adek kenapa ngomong gitu?” “Bang, kalau selama ini ... sebagai istri abang ... Adek punya salah sama Abang, maafin adek ya ...” Fahri meremas tangan Aisyah. Air mata yang ditahan-tahan sedemikian kuat nyatanya tidak sanggup membohongi perasaan. Luluh membasahi pipi Fahri. “Adek nggak perlu minta maaf. Adek nggak ada salah sama Abang. Justru Abang yang minta maaf, karena Abang nggak bisa jaga Adek.” Aisyah kembali tersenyum tipis. Fahri tidak tau kenapa istrinya terus bisa tersenyum padahal ia yakin Aisyah sedang merasakan kesakitan yang luar biasa. Bayangkan saja, kita teriris pisau di jari dengan luka kecil sampai berdarah saja rasanya bisa sangat nyeri, apalagi sekarang dengan yang dialami Aisyah? “Bang ... kalau Adek pergi, Abang nggak boleh sedih ... berlarut-larut.” Kali ini Aisyah berkata dengan napas yang mulai susah. “Adek jangan bilang gitu. Adek pasti bakal sembuh!” seru Fahri dengan nada rendah. “Adek cinta Abang ... karena Allah ... ” Belum sempat Fahri membalas ungkapan cinta sang istri, Aisyah sudah bergumam lagi. “Laa ilaaha illallah ... Muhammadur-rosulullah ...” *** Oke pemirsa dan pembaca yang mengikutiku dari jaman baheula, kali ini saya ingin menulis kisah yang ada sedikit unsur religi-religinya tapi tidak religi-religi amat wkwkwkkw Sebenarnya saya belajar juga karena sesungguhnya saya nggak pernah nulis religi hehe, jadi kalau genre religi ini saya bisa nyaman, mungkin akan ada novel-novel religi dari saya untuk ke depannya lagi. Seperti biasa, novel ini akan dilanjutkan daily setelah kontrak dari pusat turun ya! Jadi, doakan saja dapat paket kilat tau-tau besok di acc sama Pak CEO (memang menghayal itu indah)! Untuk itu, jangan lupa klik tombol "LOVE" agar cerita ini ada di daftar library kalian. Perjuangan seorang duda dalam mencari .. eum ... apa ya? Saya nggak tau ini Fahri nyari apa. Kita lihat cerita ke depannya bakal gimana aja ya nanti ahahahay... See you! Salam penulis, Jihan Alezander.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
205.8K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.3K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.3K
bc

My Secret Little Wife

read
98.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook