Bag 3

1423 Words
"Menunggu lama?" "Ah tidak juga. Silakan duduk." "Terima kasih." Daru langsung duduk di depan seorang pengacara sekaligus seniornya di salah satu kampus terkenal di Australia. Pria ini memperhatikan sekeliling kafe yang lumayan besar yang didatanginya saat ini. Hanya ada beberapa pengunjung yang sekedar memesan cake dan kopi. "Kafenya bagus dan nyaman, Bang." Seniornya hanya memasang senyum kecil sebagai jawaban. "Tapi apa selalu sesepi ini?" "Kalau saat makan siang dan mulai jam lima sore, biasanya akan kembali ramai." Daru ber-o ria sambil melihat arlojinya yang menunjukkan hampir pukul dua siang. "Abang suka ke sini?" "Hampir setiap hari." Daru bersiul, lalu memajukan tubuhnya ke arah sang kakak senior. "Ada yang Abang incer ya di sini?" tanya Daru menggoda. Pasalnya, saat di negara orang dulu, teman-teman mereka sering kali melakukan hal konyol jika ada wanita yang mereka incar. Contohnya sahabat sang senior yang sempat kepincut dengan pelayan kafe di dekat kampus mereka dulu, yang setiap hari mengajak para sahabatnya mampir hanya untuk melihat pelayan kafe itu. Sang senior tersenyum, namun senyum sendu. "Kafe ini milik mantan istri saya." Daru langsung terdiam kaku dengan mata berkedip tak percaya. Pria ini sudah lama tak pernah bertemu dengan kakak seniornya setelah sang senior pulang terlebih dahulu ke negara ini, dan tak tahu menahu jika senior beda tiga tahun dengannya ini ternyata sudah pernah menikah. Mereka kembali bertemu beberapa hari yang lalu tanpa sengaja di sebuah mall di kota ini, lalu janjian bertemu kembali untuk sekedar berbincang-bincang. Daru memundurkan kembali tubuhnya. "Ehm, ma-mantan istri Abang?" Sang senior menjawab dengan anggukan. Mereka terdiam beberapa saat karena pikiran masing-masing. "Abang sepertinya masih menjalin hubungan baik dengan mantan istri Abang," ucap Daru kembali. Daru juga berpikir, mungkin sang senior masih mencintai mantan istrinya. Terlihat tadi tatapan sendu kakak seniornya ini waktu menyebut sang mantan istri. Sang senior tersenyum kecil. "Tentu saja kami harus menjalin hubungan baik, terlebih ada anak di antara kami. Sama seperti kamu dan mantan istri kamu itu kan?" tanya sang kakak senior karena sepertinya kakak seniornya ini tahu tentang dirinya dari pemberitaan media. Wajah Daru langsung berubah datar. Pembahasan tentang mantan istrinya tak pernah menarik minat pria ini. "Ya begitulah," balas Daru dengan senyum masam. "Oh iya, mengenai yang kemarin, Abang bersedia jadi pengacara saya kan, kalau suatu saat saya butuh pengacara?" "Tentu saja, Daru. Saya malah senang bukan main karena bisa dipercaya anak pemilik stasiun televisi terbesar di negara ini." "Apa sih, Bang," seru Daru tak terima, yang menimbulkan tawa renyah seniornya ini. Sang senior baru tahu jika Daru adalah anak pemilik stasiun televisi terbesar di negara ini, karena saat kuliah dulu, Daru tak pernah menunjukkan jika dirinya adalah anak orang berada. Daru memilih hidup sederhana di sana, dan memilih tinggal di sebuah asrama pria ketimbang menyewa apartemen mahal. Pria tampan ini bahkan bekerja paruh waktu menjadi buruh cuci piring di salah satu rumah makan di sana. Tak berapa lama, suara gemerincing lonteng terdengar, yang menandakan ada pengunjung masuk ke dalam kafe ini. Daru dan seniornya masih terus berbincang, mengingat masa kuliah mereka dulu. "Ah sebentar," ucap sang senior menghentikan pembicaraan mereka. Sang senior mengalihkan pandangan ke samping. "Zetaya!" Tubuh Daru mendadak kaku saat seniornya menyebut nama itu. Nama wanita yang dilihatnya kembali setelah bertahun-tahun. Ada berapa orang yang memiliki nama itu di negara ini? Tak mungkin itu mantan kekasihnya kan? Daru mendengar derap langkah kaki mendekat ke arah meja tempatnya berada. "Loh, Mas, di sini?" Suara itu... Daru menelan saliva susah payah. Suara itu kan suara mantan kekasihnya. Sang senior mengenal mantan kekasihnya??? "Iya. Kamu habis pulang?" "Iya, aku habis anter Misha pulang. Aku pikir Mas gak ke sini, jadinya Misha aku bawa pulang." "Tidak apa-apa. Biar nanti saya yang ke sana." "Ya udah. Mas udah minta Sapta bikinin Mas kopi?" "Saya tunggu kamu." "Ck! Kebiasaan." Tawa renyah keluar dari mulut sang senior karena balasan Zetaya. Daru hanya mampu memperhatikan interaksi sang senior dan mantan kekasihnya, tanpa sanggup menggerakkan kepala ke samping, ke arah sang mantan kekasih yang berdiri tepat di samping mejanya. Tiba-tiba saja hatinya cenat-cenut merasakan nyeri melihat keakraban mereka. Ada hubungan apa sang mantan dengan seniornya? "Oh iya, buatkan teman saya minuman juga ya. Tangan kamu kan tangan Dewi." Terdengar dengusan kesal keluar dari bibir wanita ini, yang membuat senior Daru kembali tertawa. "Kamu mau minum apa, Daru?" tanya sang senior, menyadarkan Daru dari lamunannya. Sementara itu, tubuh wanita yang bernama Zetaya ini mendadak kaku mendengar nama itu. Segera saja pandangannya beralih ke arah seseorang yang duduk di depan mantan suaminya, seseorang yang baru disadari keberadaannya. Mata Zetaya membola sempurna. Pria ini lagi??? Aish!! Mengapa dia kembali bertemu dengan pria ini?! Membuat mood-nya anjlok saja! Padahal Zetaya sudah sangat senang mereka tak kembali bertemu selama hampir satu minggu ini di sekolah anaknya saat Zetaya menjemput Misha. Tatapan mereka bertemu saat Daru memalingkan wajah ke arahnya. "Ha-hai Mamanya Misha," ucap Daru gugup. Sial! Dia selalu gugup jika berada di depan wanita ini. Wanita yang semakin mempesona. "Kamu kenal anak saya?" Daru mengalihkan pandangan ke arah sang senior dengan pandangan terkejut. "Misha anak Abang?" tanya Daru tak percaya. Jantungnya loncat-loncatan tak jelas, seperti kodok sedang lomba. Kalau Misha adalah anak sang senior, bukankah itu berarti__ "Iya, Misha anak saya. Jadi kamu—" "Anak saya sekolah di tempat yang sama dengan Misha." "Wah, suatu kebetulan ya!" Sang senior terlihat semringah, sementara Daru hanya tersenyum kecil, senyum yang terlihat ogah-ogahan. Pikirannya jadi kacau saat ini. "Ehm, Papanya Evan mau minum apa?" tanya wanita yang menjadi sumber pikiran kacaunya ini datar. Pria ini kembali menatap Zetaya, Aya-nya... tapi itu dulu. Kini wanita ini bukan Aya-nya lagi. Tak ada senyum di wajah sang wanita. Daru juga tak berharap minta disenyumi. Dia tahu penyebabnya. "Saya—" "Cappuccino buatan Zetaya juara di sini. Kamu harus coba," ucap sang senior heboh seperti seorang sales yang menawarkan produk dagangannya, yang entah mengapa membuat darah Daru mendidih. Ada apa dengannya? Sial! "Ehm... ka-kalau begitu, saya mau coba cappuccino buatan Mamanya Misha," ucap Daru sambil memaksakan senyum, padahal hatinya sudah kebakaran. Zetanya mengangguk singkat, lalu kembali mengarahkan pandangan ke arah pria di depan Daru. "Aku buatin minumannya dulu ya, Mas Fahri," ucap Zetaya lembut sambil tersenyum manis, lalu berlalu dari hadapan dua orang pria itu, dua pria yang pernah singgah di hidupnya. Daru mendengus kesal karena melihat senyum Zetaya yang ditujukan ke arah seniornya, Fahri Purwadiningrat. Seharusnya Zetaya bisa memberikan senyuman itu juga untuknya. ‘Seharusnya? Mimpi saja kau, Berengsek! Wanita itu pasti masih sakit hati atas perbuatanmu dulu,’ maki Daru pada diri sendiri. "Kenapa?" tanya sang senior karena mendengar dengusannya yang sepertinya kencang itu. "Ah? Eng... enggak ada apa-apa, Bang," balas Daru salah tingkah. Daru kembali terdiam, lalu tak berapa lama, pria ini kembali membuka suara. "Ehm, Bang, wanita itu... jangan-jangan mantan istri Abang?" tanya Daru akhirnya. Rasa penasarannya harus segera dituntaskan seperti orang kehausan yang butuh segera minum. Daru bahkan tak peduli jika dia dianggap kepo urusan orang lain. "Iya, dia mantan istri saya," jawab sang senior sambil tersenyum kecil. Jawaban sang senior, malah membuat Daru sesak napas. Dugaannya sejak tadi ternyata benar. Mengapa dunia sesempit ini? Tapi tunggu, mantan istri? Itu berarti, mantan kekasihnya itu sekarang single? Senyum semringah segera terbit dari bibirnya. Aya-nya single? Pria ini mendadak ingin kembali mengejar wanita itu. Sang cinta pertama. Namun tak berapa lama, senyum itu luntur seketika. Daru mengingat jelas senyum sendu sang senior saat pertama kali Daru bertanya tentang kafe ini. Apakah seniornya masih mencintai sang mantan istri? Itukah sebabnya sang senior sering berkunjung ke kafe ini? Kalau iya, itu berarti dia harus bersaing dengan seniornya sendiri untuk mendapatkan hati Aya-nya kembali? Sial! Daru tak suka situasi ini! Mengapa juga harus Fahri Purwadiningrat yang menjadi mantan suami Zetaya?! Pria di depannya ini punya karakter yang sempurna. Alim dan dewasa. Pasti Daru akan kalah sebelum berperang. Terlebih sepertinya Zetaya juga masih memiliki rasa pada mantan suaminya itu, mengingat senyum lembut Zeyata yang diberikan untuk Fahri tadi. Tapi... kalau mereka masing saling mencintai, mengapa mereka berpisah? "Abang udah lama berpisah sama Mamanya Misha?" tanya Daru kembali. Mulutnya ini benar-benar tidak bisa direm. "Dua tahun yang lalu. Ada apa?" "Ah... gak ada, Bang. Saya cuma kaget aja. Hubungan kalian terlihat baik-baik aja, tapi kenapa berpisah?" tanya Daru kembali. Sepertinya mulutnya ini minta dijempret pakai karet ketoprak, karena terlihat terlalu kepo. Sang senior terdiam mendengar pertanyaan Daru, membuat Daru tak enak hati sendiri. "Ehm... maaf, Bang, saya gak bermaksud mau tahu urusan Ab—" "Karena memang seharusnya kami berpisah..." balas sang senior ambigu dengan tatapan kosong, yang membuat Daru malah semakin bertanya-tanya di dalam hati. Ada apa dengan mantan suami istri itu?   ***  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD