Panti Rehabilitasi

1016 Words
Aira tidak sadarkan diri. Entah berapa lama ia tergeletak dengan posisi meringkuk seperti itu. Saat bangun, jam sudah menunjukkan pukul empat dini hari. Tanpa banyak berpikir, Aira tertatih turun, menjejaki tangga menuju pintu keluar rumah. Entah Suswo ada di mana. Begitu perbuatan bejatnya selesai, si b******k itu pergi begitu saja. Beruntung, pintu depan bisa dibuka dari dalam. Meski masih sepi, keadaan di rumah lebih menakutkan dari kegelapan jalanan. Aira nekad melarikan diri. Menapaki aspal dingin dengan rok bekas darah juga memar di bagian wajah. Isakan tidak kunjung hilang dari mulutnya. "Aira? Aira!" panggil seseorang dari jauh. Suaranya lantang sekali, sampai-sampai anjing di dekat pos kamling menggogong kencang. "Ini ibu guru!" seru Allen menatap tak percaya pada wajah nelangsa Aira. Terlebih , saat dipegang, bahu gadis itu gemetar ketakutan. "Kenapa wajahmu? Biar ibu lihat," pinta Allen menutup mulutnya, syok. Setiap mata keduanya bertemu, hanya ada prasangka buruk. "Ayo, kita ke rumah sakit. Cepat," bisik Allen menggandeng tangan Aira ke pangkalan taksi. Mereka tidak boleh terlalu lama di sana. Bisa-bisa Suswo keluar lalu mengacaukan segalanya. Tak kurang dari tiga puluh menit, mereka sudah ada di rumah sakit terdekat. Seorang dokter langsung bertindak, menggendong Aira yang tiba-tiba tidak sadarkan diri. Allen terpaksa menunggu di luar, duduk di bangku belakang. Pikiran negatifnya semakin menjadi-jadi saat seorang suster menyodorkan biaya pendaftaran rawat inap. Separah itukah? Penjelasan akhirnya didapat dari mulut dokter yang menangani Aira. Di sebuah ruang konsultasi, Allen duduk, saling berhadapan dengan suasana serius. "Anda siapa? Gadis yang anda bawa mengalami kekerasan seksual. Organ reproduksinya terluka dan ada banyak lebam di sekujur tubuhnya. Kejahatan biadab seperti ini harus dilaporkan polisi." Dokter itu sudah cukup berumur, tapi emosinya hampir tidak terkontrol saat menjelaskan luka seperti apa yang diderita Aira. Orang dewasa memang sering menempatkan posisi korban sebagai dirinya sendiri. Allen juga sama. Ia nyaris menangis karena tidak bisa menjaga muridnya dengan baik. Terlepas itu di luar wewenang, tapi rasa sesal tetap ada. Bagaimana bisa anak sekecil itu mengalami peristiwa paling menyakitkan? "Dok, tolong tulis visumnya. Saya tidak akan membiarkan hal b***t ini begitu saja. Aira adalah murid di yayasan milik saya dan walinya selalu menolak datang kalau dipanggil ke sekolah," ucap Allen marah. Ia gusar setengah mati dan tidak sabar ingin segera ke kantor polisi. "Tenang, bu. Saya sudah memanggil polisi. Biar mereka datang ke sini untuk mengambil bukti-bukti. Anda dan saya akan jadi saksi nanti," kata dokter itu menyuruh Allen kembali duduk. Keduanya diam-diam memuji Aira yang berani kabur tepat waktu. Kebanyakan korban anak kecil, akan memilih diam kalau tidak didesak orang lain. Dengan kaburnya Aira, bukti juga jejak DNA berhasil didapat dengan mudah. ..... . . Aira Cahya, gadis berumur 9 tahun itu tidak mau makan selama seminggu. Tubuhnya begitu kurus hingga tulang pipinya lebih kentara daripada hidung. Psikolog anak tidak cukup membantu. Kemampuan bersosialisasi Aira bahkan menurun. Ia lebih suka melamun, tidak melakukan apapun. Suswo sudah diamankan polisi sejak seminggu lalu. Terlalu banyak bukti yang membuat pria b***t itu tidak berkutik. Harti sekarang benar-benar kehilangan muka. Warga di sekitar rumahnya bergunjing, mengungkit setiap hal remeh di masa lalu. Dari pelit hingga sering ingkar saat memberi gaji pegawai. Semua diungkap, seperti bangkai yang ditarik keluar. Tapi hukuman seberat apapun, tidak memperingan rasa trauma. Aira adalah bukti kalau luka batinnya tidak akan sembuh dengan mudah. Mungkin juga akan bernanah selamanya. "Aira, kalau bu guru ingin mengadopsi Aira, bagaimana? Aira mau?" tanya Allen di antara suara gerimis sore itu. Bola mata kosong itu akhirnya bergerak, tertarik dengan perkataan Allen. Bukan hanya karena kasihan, tapi ia ingin merawat Aira seperti saudaranya sendiri. Allen mandul dan sudah lama bercerai karena tidak tahan. Setiap melihat penderitaan Aira, ia seperti melihat kesedihannya sendiri. Keduanya bertatapan lama. Hingga kemudian sebuah rangkulan hangat berhasil memancing keluar air mata Aira. Gadis kurus itu serasa kembali hidup karena dibangunkan dari mimpi buruk. "Aira, cepat sembuh ya." Suara Allen mengingatkan Aira pada sang ibu. Begitu lembut dan hangat. Kalau bisa, moment itu harus terus menemaninya seumur hidup. ... Sebulan kemudian, panti rehabilitasi. Namanya Ham. Aira ingat kapan mereka bertemu untuk pertama kalinya. Bocah lelaki itu jarang bicara, nyaris bisu kalau sedang berada di tempat umum. Padahal suara Ham cukup merdu. Kata Allen, ia juga punya masa lalu sekelam dirinya. "Ini buat kamu. Aku tidak suka pedas," kata Ham tiba-tiba menghampiri Aira yang kembali menolak makan. Konseling kali ini lebih membosankan dari sebelumnya. Psikolog anak yang ditunjuk tidak terlalu sabar. Allen pasti tidak tahu karena ia menunggu di luar. Kebetulan Ham punya jadwal bersamaan. "Aku juga tidak suka pedas. Perutku lemah," tolak Aira tidak bergeming. Psikolog anak itu diam-diam menatap interaksi keduanya. "Makan saja, agar sakitnya pindah ke tempat lain. Saat perutmu mulas, kamu bisa membuangnya ke toilet. Anggap itu sama dengan sakit hati." Ham meletakkan sosis pedas itu ke tempat makan Aira. "Apa kamu sering melakukannya? Maksudku, makan pedas." "Akhir-akhir ini tidak." Kedua bocah itu kemudian diam, menatap makan siangnya masing-masing. Sekilas, itu obrolan absurd. Tapi justru menenangkan bagi mereka. "Ayo makan. Aku tidak mau selemah perutku." Aira menghembuskan napasnya, terpaksa. "Benar, tidak makan juga nanti akan sakit perut," timpal Ham mencomot sepotong wortel ke dalam mulutnya. Sepanjang hari psikolog anak itu menghabiskan waktunya untuk membuat Ham mau bicara. Tapi gagal. Entah kenapa begitu Aira di sana, segala sesuatu berjalan begitu mudah. Tidak sia-sia juga menggabungkan dua terapi, metode itu ternyata memberi manfaat lebih. "Apa kalian saling mengenal?" tanya psikolog itu mencatat sesuatu dalam bukunya. Ham tiba-tiba menunduk, kembali murung. Berbeda sekali saat Aira menanyainya tadi. "Kami satu kelas," timpal Aira menyenggol bahu Ham yang kemudian disambut dengan anggukan. Di balik kaca ruang konsultasi itu, Allen nampak berdiri, menatap sedih pada keduanya. Sengaja Ham diikutkan dalam satu ruangan karena sesama anak kecil lebih saling memahami daripada seorang psikolog. Baru kali ini Ham mau bicara lebih dulu. Kalimatnya bahkan lebih mirip perhatian daripada sapaan biasa. Allen tiba-tiba meraih ponselnya, menghubungi seorang kenalan yang bekerja di bagian pencatatan sipil negara. Bagaimana kalau aku mengadopsi keduanya? Ham juga Aira, sepertinya mereka bisa saling menjaga, batin Allen masih menunggu panggilannya diangkat. Sementara itu di dalam, Aira dan Ham telah selesai menghabiskan makan siang mereka. Keduanya kemudian saling melempar tatapan yang sulit diartikan. Kata Tuhan, manusia bisa jatuh cinta pada siapa saja. Tapi untuk Ham dan Aira, nasib sama adalah alasan dasar kenapa mereka saling tertarik.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD