1

1008 Words
  Aira kecil menatap nisan ibunya lama sekali. Tanah kuburan itu memang masih basah, puluhan helai bunga terlihat baru saja ditinggalkan di atasnya. Tapi sehancur apapun hati Aira, gadis berusia 8 tahun itu tidak berdaya. Ia telah resmi yatim piatu sekarang. Tidak ada lagi yang akan memberinya kasih sayang atau makanan. Beberapa tetangga mulai berdiskusi dan memutuskan untuk menghubungi Suswo, adik almarhumah ibu Aira yang tidak pernah pulang. Sore itu, selepas pemakaman selesai, Suswo datang. Tubuh gempalnya keluar dari sebuah mobil keluaran lama. Menyapa beberapa pelayat yang masih sibuk membereskan perlengkapan jenazah. Aira bersembunyi di pojok, enggan keluar meski dibujuk banyak orang. Wajar, mereka belum pernah bertemu sebelumnya. Sang ibu menjalani kehidupan yang begitu sulit tanpa pernah bercerita tentang adik atau saudara lain. “Ini Paman Suswo,” kata ibu-ibu tetangga mengulurkan sebatang permen gulali besar. Suswo terlihat tersenyum di belakang tubuh para tetangga itu. Butuh waktu cukup lama hingga kemudian Aira menurut, mendekati sang Paman sembari menjilati gulali. Wajah gadis kecil itu langsung tidak nyaman begitu pipinya dicium paksa. Bau parfum orang dewasa seperti mencubiti seluruh tubuhnya. Aira menangis keras, tapi Suswo rupanya tidak peduli. Ia menyembunyikan ketakutan Aira dengan tawanya yang kencang, agar semua orang tidak menaruh kecurigaan. Di mata orang lain, wajar saja anak kecil merengek karena orang asing. Ya, Aira tidak punya siapapun untuk berlindung. Itu adalah pertemuan pertama mereka. Seorang pria tua kesepian dan gadis kecil, korban pelecehan seksual. Suswo tidak perlu ijin siapapun untuk segera memboyong Aira ke Jakarta. Perangkat desa bahkan sudah menyiapkan dokumen milik Aira agar nantinya diurus lebih lanjut. Sepanjang perjalanan ke Jakarta, Aira lebih banyak tidur. Suswo mengendarai mobilnya dengan suara musik juga hisapan rokok tanpa henti. Dalam hati, Suswo tengah merencanakan banyak hal untuk si Aira kecil. Sekolah umum paling murah dan penjualan rumah kakaknya di desa. Hasilnya cukup banyak, jadi ia tidak akan merugi meski merawat Aira selama dua tahun ke depan. Setelah ‘bosan’, Suswo bisa membuangnya ke panti asuhan. “Siapa namamu?” tanya Harti, istri Suswo. Wanita lumpuh yang menyambut mereka dengan kursi roda itu terlihat pemarah. Suswo sendiri tidak peduli, ia memilih masuk ke dalam rumah setelah memarkir mobil. Aira memeluk bonekanya ketakutan. Bingung tiba-tiba diperlakukan tidak ramah. Di usianya yang masih kecil, ia seharusnya dibuat nyaman dengan tempat juga orang asing. Tapi sepertinya tidak ada harapan sama sekali. Jangankan perasaan, diberi makanpun, Aira sudah bersyukur. “Namaku Aira.” Gadis kecil itu menyeret koper besarnya sendirian, mengikuti Harti masuk ke rumah. Bukannya diantar ke kamar, mereka malah berhenti di dekat dapur yang penuh dengan piring kotor juga bungkusan mie instan. “Kamu bersih-bersih dulu, baru bisa makan. Oh, ya jangan berani istirahat. Di mobil kan kamu cuma tidur,” kata Harti ketus. Enak saja numpang hidup gratis? Ia sendiri pusing memikirkan uang belanja.  Semenjak perusahaan mereka bangkrut, yang tersisa hanya mobil tua dan rumah itu. Setiap hari, Suswo hanya berjudi dan mabuk. Sekarang dengan keadaan ekonomi sulit, membawa anak orang lain sama saja bunuh diri. Aira berusaha menguatkan hatinya. Untung saja ia punya pengalaman bersih-bersih. Saat ibunya masih hidup, Aira sering mencuci beberapa peralatan dapur kotor yang dipakai untuk membuat kue kering. Tidak disangka, keahlian kecilnya berguna. “Mana Aira?” tanya Suswo pada sang istri. Ia lelah dan butuh teh hangat. Terakhir saat Harti membuatnya, rasanya pahit karena kurang gula. “Di dapur, nyuci piring kotor,” sahut Harti ketus. Bagaimana tidak? Suswo membawa beban baru baginya. Ia lumpuh dan sekarang harus mengawasi anak kecil. Ditambah biaya hidup yang tidak sedikit. “Jangan marah-marah. Aira sebatang kara dan kakakku punya rumah besar di sana. Kita bisa menjualnya untuk modal usaha,” kata Suswo menepuk bahu Harti sambil tersenyum penuh arti. Wajah Harti langsung berbinar senang. Sudah lama ia tidak memegang uang besar. Terbayang sudah perhiasan mahal incarannya juga makanan enak . Mungkin sisanya bisa digunakan untuk modal usaha. “Aira juga bisa kamu suruh-suruh. Kakakku tipe ibu yang mengajari anaknya pekerjaan dapur. Masalah sekolah, kita bisa memasukkannya di yayasan anak terlantar. Kudengar di sana juga ada pengajar sukarela.” Suswo menatap Harti yang tersenyum puas. Ia tahu betul kalau istrinya akan setuju. Selama ini rumah mereka nyaris terbengkalai karena kehilangan para pembantu. Harti sendiri lumpuh karena struk, mungkin hatinya tidak kuat saat tiba-tiba jatuh miskin. Untunglah mereka tidak punya anak. “Terima kasih Aira,” senyum Suswo mengelus punggung Aira penuh maksud. Padahal tubuh Aira terlihat kurus, tapi pria paruh baya itu sepertinya punya kecenderungan phedopil. Ia suka menyentuh tubuh anak kecil. Aira langsung bergerak mundur setelah meletakkan tehnya di atas meja. Sekali lagi, air mata dari pelupuknya merebak, mengisyaratkan rasa takut. Tapi keadaannya telah berbeda. Menangis tidak akan membantu. Ia sendirian, tidak punya siapapun. “Udah beres?” tanya Harti memicing sebal. “Sudah Bulek,” jawab Aira menghindari tatapan Suswo yang semakin membuatnya tidak nyaman. “Istirahat sana. Besok kamu ngepel seluruh rumah,” kata Harti menunjuk lantai di bawah kakinya. Kotor sekali, pasti sudah lama tidak dibersihkan. Dengan tenaga anak kecilnya, pasti butuh waktu seharian. Membayangkannya saja, Aira sudah berat. “Kenapa? kamu mau sekolah, kan? Ayo jawab.” Harti kesal karena wajah Aira mendadak suram. “I-iya Bulek. Aira pengen sekolah.” “Di sini kamu harus kerja kalau mau makan juga sekolah. Kata Paklek, kamu rajin bantu ibumu? Masa suruh ngepel aja nggak bisa?” Harti hampir hilang sabar dan beralih ke suaminya, minta dukungan. “Udahlah Aira, nurut saja. Besok Paklek belikan peralatan sekolah yang baru. Gimana?” bujuk Suswo mencoba bernegosiasi. Dasar bocah, saat diiming-imingi hadiah, Aira langsung mengangguk senang. Ibunya tidak pernah sekalipun memberi hadiah meski sudah dibantu. Mungkin ini bisa disebut sebagai upah. “Huh, dasar,” gerutu Harti meminta Aira kembali ke dapur, membuatkan secangkir teh lagi untuknya. Suasana hatinya yang mendadak senang membuat Aira menurut. Kesedihan akan kehilangan sang ibu, lenyap separuh. Sekolah sudah menjadi mimpinya sejak dulu. Dulu, karena menunggak SPP, Aira berhenti sekolah selama satu tahun. “Biarkan dia di kamar atas,” pinta Suswo menikmati tehnya sembari memikirkan rencana menjijikkan. “Kenapa? di sana gelap. Bagaimana kalau dia teriak malam-malam?” Harti terlihat kurang setuju. Lagipula itu adalah kamar utama. Alasan mereka menggunakan kamar bawah karena Harti tidak mungkin naik dengan kursi rodanya. “Biar saja. Nanti suruh si Aira membawa sisa barang ke bawah, biar dibersihkan sekalian.” Harti yakin ada yang direncanakan suaminya. Tapi apapun itu, Harti tidak peduli. Bahkan dulu saat Suswo bermain ranjang dengan beberapa pembantunya, ia tidak masalah. Selain tabiat Suswo buruk, ia takut jadi janda di usia lanjut.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD