Titik awal traumatis

1028 Words
Di malam pertamanya di rumah sang paman, Aira tidak bisa tidur. Gadis kecil itu sebenarnya cukup pintar. Tanpa diberitahu siapapun, ia mengunci pintu. Tak puas, sebuah bangku cukup berat,diletakkannya untuk penghalang. Kamar atas tidak ada lampu. Aira menggunakan lilin bekas di pojok meja. Syukurlah tempat tidurnya hanya berdebu. Ia bisa melepas penat setelah beberapa saat lalu sibuk membereskan dapur. Harti cukup tahu diri dengan membiarkan Aira masak mie instan. Besok, ia menyuruh Aira belajar menu masakan sederhana. Agar bisa mandiri katanya. Tok. Tok. Tok. Suara ketukan yang berasal dari luar mengejutkan Aira. Rupanya Suswo telah menunggu momen itu. Mengganggu Aira hingga gadis kecil itu mengalah untuk membuka pintu. Syukurlah, meski bersikeras dengan maksud busuknya, Suswo menyerah juga. Tidak usah buru-buru, batin Suswo pada dirinya sendiri. Toh Aira tidak akan kemana-mana. Anak tanpa tujuan lebih mudah didapat. Sebagai penggila seksualitas, ia jelas bosan menikmati tubuh-tubuh wanita dewasa. Sekali seumur hidup, menjajal perawan kecil adalah impian terbesar. Begitu yakin Suswo telah pergi, Aira mengucap syukur puluhan kali. Di bawah selimut hadiah dari sang ibu, Aira menangis cukup lama. Hingga ia tanpa sadar tertidur, memeluk diri sendiri. Sayangnya mimpi indah tak sekalipun mewarnai malamnya yang dingin. Aira terlalu lelah dengan dunia baru juga lingkungan tidak bersahabat. Paginya, Harti bangun lebih dulu. Ia berteriak, memanggil Aira yang tidak kunjung turun. Jam baru menunjukkan pukul enam dan perutnya sudah kelaparan. Tadi selepas subuh, Suswo tiba-tiba pergi untuk menemui calon pembeli rumah kakaknya. Ya, baru semalam dipasangh, sudah ada peminat. Wajar sebenarnya mengingat Suswo memasang harga cukup murah. “Kamu beli sayur dan bumbu dapur di depan, ya? Tapi jangan lama-lama dan nggak perlu bicara sama tetangga,” pesan Harti menyodorkan selembar uang sepuluh ribu. Nominal yang terlalu kecil untuk membeli kebutuhan dapur. “Bulek, apa ini nggak kurang?” tanya Aira kebingungan. Bawang merah saja di desa sedang mahal karena gagal panen. Apalagi kalau di kota? Belum sayur asemnya. Harti mendengkus tak peduli. Ia sebenarnya juga bingung karena sang suami hanya memberi uang segitu. Hutang di warung juga sudah menumpuk. Malu juga kalau pergi sendiri. Paling tidak kalau Aira, pemilik warung mungkin menaruh iba. “Udah pergi saja sana. Kalau bisa sama tempe satu papan. Bulek keburu lapar.” Harti melengos, mendorong kursi rodanya menjauhi dapur. Bagaimanapun harus ada sarapan. Suswo sudah cukup sering memarahinya karena tidak ada makanan. Kalau dipikir, mereka bisa saja menjual mobil atau rumah besar itu. Tapi karena gengsi, Harti sendiri tidak sudi hidup di tempat sempit. Pikirnya, tidak masalah makan seadanya daripada terlihat miskin. Alhasil, keluarga Suswo sering digunjing. Aira tidak bisa membantah lagi. Ia berjalan keluar melewati pagar depan. Letak warung sayur tidak cukup jauh dan mudah ditemukan. Banyak ibu-ibu yang berkumpul di sana. Bergosip dan tertawa. Tak kurang dari setengah jam, Aira sudah kembali. Lengkap dengan bumbu masak juga satu papan tempe. Untung saja para ibu itu tidak tahu kalau ia keponakan Harti. Dipikirnya Aira cuma bocah kecil yang kebetulan lewat dan butuh bantuan. Uang sepuluh ribu itu utuh, dikembalikan lagi. “Wah, hebat juga kamu,” celetuk Harti sumringah. Jarang-jarang ada sisa uang belanja. Biasanya malah kurang. Suswo lebih mementingkan obat daripada makanan mereka sehari-hari. Satu hari itu, Aira melewatinya dengan bekerja tanpa henti. Tidak ada jatah makan siang, Harti hanya menyuruhnya membuat teh manis. Beruntung ada dua jam istirahat sebelum melanjutkan mengepel seluruh lantai rumah. Menjelang sore, Suswo pulang, membawa sepaket besar ayam goreng untuk makan malam. Bukannya senang, Aira memilih bersembunyi. Ia lebih baik lapar daripada dipeluk dan diciumi. Tapi bukan Suswo namanya kalau menyerah begitu saja. “Besok kita pergi ke sekolah. Paklek sudah beli  peralatan baru buat kamu,”kata Suswo mengulurkan sekantung besar alat tulis juga buku. Harti sendiri bahkan tidak percaya dengan kemurahan hati suaminya. Ia diam-diam jengkel karena cuma diberi makanan. Aira perlahan mendekat, memeriksa pemberian Suswo. Gadis kecil itu tidak lantas lengah, ia berdiri agak lama sebelum akhirnya mengucapkan terima kasih. Tidak masalah. Suswo yakin segera mendapatkan Aira, untuk hasratnya. “Pergilah tidur. Besok pagi kita ke sekolah sama-sama,” ucap Suswo menyentuh jambangnya sembari tersenyum penuh arti. Harti ingat, itu adalah isyarat tubuh sang suami yang sering ia lihat saat sedang mengincar para pembantu mereka. Menjijikkan. Terlebih, kali ini adalah  gadis di bawah umur. Jiwa polos Aira langsung menganggap perhatian terselubung itu sebagai bentuk kasih sayang. Kaki kecilnya berlari ke arah kamar dengan riang, tanpa tahu nasib buruk tengah mengawasinya. --- “Namamu siapa?”tanya Allen, pengajar sukarela di yayasan anak terlantar. Gadis 25 tahun itu sebenarnya bingung karena Aira tidak masuk kategori binaannya. Terlebih Suswo yang mengantar, tiba-tiba pergi dengan alasan sibuk bekerja. “Aira Cahya,” jawab Aira dengan senyum mengembang. Suswo benar-benar menepati janji dan semalam tidak mengganggunya lagi. Padahal itu hanya sekedar siasat agar Aira tidak terlalu menutup diri. Allen menghembuskan napas berat. Sekali lihat, Aira jelas diabaikan oleh saudaranya sendiri. Ibunya baru meninggal seminggu lalu dan surat pindah ke Jakarta belum diurus. Jadi, wali untuk Aira belum ada di kartu keluarga baru. “Baiklah, Aira bisa ikut belajar dulu, ya?” kata Allen tidak tega menghapus wajah seceria itu. Ia berdiri, menggandeng tangan mungil Aira ke sebuah bangunan kecil semi permanen di samping ruang kantornya. Sempit memang karena yayasan sosial itu berdiri dari dana pribadi. Allen tidak mengandalkan donatur. Kalau ada Alhamdullilah, kalau tidak, gajinya sebagai Manager bank cukup menambal kebutuhan ini dan itu. Aira sedikit kecewa, tapi tidak berkata apapun. Daripada sekolah dasar di desa, tempat belajar milik Allen jauh lebih kecil. Pengap dan hanya ada papan tulis kapur juga meja-meja tanpa kursi. Anak di sana duduk di bawah,beralaskan tikar. “Ham, biarkan Aira duduk di sebelahmu,” pinta Allen pada bocah lelaki kecil di pojokan.  Permintaan itu hanya ditanggapi dengan anggukan. Aira tidak yakin apa ia akan betah atau tidak. Melihat wajah murung Ham, sepertinya bocah itu punya banyak masalah. Sekolah binaan itu hanya ada tiga kali dalam seminggu. Aira takut bertanya kenapa tidak ada seragam dan sepatu. Harti sudah sering mengomel tentang waktu yang dihabiskannya di sekolah. Jangan sampai ia mendapatkan masalah lagi. Aira sudah cukup tenang karena Suswo jarang ada di rumah. Pria gempal itu biasanya akan pulang setelah uang untuk foya-foyanya habis. Tepat dua minggu kemudian, Aira terbangun di tengah malam. Ia lupa mengunci pintu karena belakangan ini Suswo tidak ada. “Paklek?” teriak Aira nyaris melompat dari atas tempat tidur. Pria bau alkohol itu sudah ada disebelahnya mencengkram tangan gadis kecil itu kuat-kuat. Di lantai bawah, Harti mendengar suara jeritan sakit sang keponakan. Ia terpaku, tak berdaya dengan keadaan. Haruskah nuraninya mati karena rasa egois?    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD