bc

Pulau Adon: Ueter Eps 1

book_age16+
57
FOLLOW
1K
READ
adventure
serious
ambitious
witty
male lead
supernature earth
supernatural
special ability
kingdom building
war
like
intro-logo
Blurb

Vhirlass Udhokh adalah pencuri dari desa kecil bernama Rebeliand. Dia menghadapi sebuah tragedi mengerikan setelah pulang dari pencurian pertamanya, yang memaksanya untuk mencari tahu kebenaran dibalik tragedi ini.

Bersama sahabatnya, Amicia, dan kuda ajaibnya, Orion, Lass akan berpetualang diseluruh daratan Adon.

chap-preview
Free preview
Bab 1 - Vhirlass Udhokh
Namaku Vhirlass Udhokh, umurku tujuh belas tahun dan hari ini adalah hari istimewaku. “Lass," sebuah suara memanggilku dengan lembut, membuatku mulai mengerjapkan mataku untuk membiasakan diri dengan matahari pagi yang istimewa ini. Saat aku akhirnya sadar sepenuhnya dari tidurku, ternyata si pemilik suara itu adalah seorang wanita yang memakai kemeja dan celana hitam, dengan tambahan sepatu setinggi mata kaki yang juga berwarna hitam. Wanita pemilik suara ini berambut putih sebahu yang dibiarkan terurai dengan bebas. Dia tidak terlalu tinggi namun berisi, dan dia selalu tampak berbahaya terutama karena pedang pendek yang tersimpan rapi di belakang punggungnya. Wanita ini memiliki kulit coklat yang tidak terlalu gelap, dan yang paling keren dari wanita ini adalah kedua matanya yang berwarna biru laut. Aku ingin sekali memiliki mata dengan warna biru. Sayangnya, warna mataku malah abu-abu. Abu-abu juga tidak terlalu buruk kok, tapi dibandingkan biru? Jelas, biru adalah yang terbaik. Wanita istimewa ini selalu ada di pihakku, karena dia adalah ibuku. Namanya Fionuala Udhokh. Nuala, begitulah orang desa memanggilnya. Menurut kabar yang pernah beredar, nama belakang ibuku dimulai dengan huruf R, tapi aku tidak mengingatnya. Intinya setelah ayahku menikahinya, maka ibuku membuang nama belakangnya dan menggantinya dengan nama belakang ayahku. “Kau tidak akan mengecewakan Mastermu dengan bangun kesiangan di hari istimewamu kan?” tanya ibuku dengan senyum jail diwajahnya “Mana mungkin aku lupa?” sahutku. Bangun pagi dan diingatkan soal betapa masterku sangat menaruh harapan besar dipundakku benar-benar menyebalkan. “Ini hari yang kutunggu sejak lama bu, mana ayah?” “Kau butuh ayahmu juga untuk membangunkanmu Lass?” sindir sebuah suara yang berasal dari arah pintu kamarku. “Yo bos!” sapaku sambil mengangkat tangan kananku. Seorang pria yang beberapa jengkal lebih tinggi daripada ibuku masuk ke kamarku. Pria bermata abu-abu yang sama denganku ini, seperti biasa selalu hanya mengenakan baju berbulu warna coklat dengan kancing yang dibiarkan terbuka menutupi pakaian hitam tipis didalamnya. Hari ini dia memakai celana hitam yang sama dengan ibuku, namun dengan catatan bahwa celananya memiliki sobekan di bagian paha, dan lutut yang membuat kedua bagian tubuhnya itu menyembul dari celananya. Catatan penting: Orang ini selalu memakai celana sobek hampir disetiap bagian. Sampai sekarang aku, ibuku, maupun Orion masih belum memiliki jawaban pasti. Dua hal yang terkenal dari pria ini. Pertama, adalah kulitnya yang jauh lebih gelap daripada ibuku dan rambut putih yang kontras dengan kulitnya, tapi rambut ini selalu tampak rapi, meskipun rambut ini selalu menjadi sasaran ocehan ibuku karena kepanjangan. Tapi dengan fakta bahwa sekarang pria ini tampil dengan rambut lebih pendek dari biasanya maka dapat disimpulkan bahwa ibuku akhirnya memenangkan perdebatan itu. Aku tidak pernah berdebat dengan ayahku secara serius. Memanggilnya ‘bos’ sudah cukup membuat ayahku kesal setengah mati terhadapku. Berbeda dengan ibuku yang selalu siaga dengan pedang di punggungnya, pria ini tidak pernah tampak menyimpan senjata apapun dibagian tubuhnya sehingga dia tampak amat sangat santai. Pria ini bernama Gradion Udhokh dan sekali lagi dia bukan bosku melainkan ayahku. “Bagaimana persiapanmu Lass?” tanyanya sambil tersenyum tipis kepadaku. “Tenang bos, aku sudah siapin semuanya sebelum aku tidur," sahutku santai. “Jadi pagi ini aku bisa makan bersama kalian dengan tenang di bawah.” Aku menoleh pada ibuku dan memberikan senyuman termanisku. “Bu, kentang goreng ya?” pintaku dengan nada manis. Ibuku membalas senyumku. “Semua sudah ibu siapkan dibawah, siapkan dirimu dengan baik. Ayah dan ibu akan menunggu di meja makan.” Setelah mengucapkan kalimat tersebut maka ibu dan ayahku langsung keluar kamarku, dan membiarkanku bersiap-siap untuk makan dengan mereka. Semalam, aku mempersiapkan segala yang kubutuhkan untuk hari ini dengan didampingi oleh ibuku, dan tambahan beberapa saran dari ayahku. Tapi aku akan tetap mengecek kembali persiapanku seperti saran dari ayahku. Aku mengambil tasku di atas meja disamping kasurku. Tasku tidak terlalu besar namun cukup memuat barang-barangku didalamnya. Aku mulai mengeluarkan barang yang ada didalam tasku dan menaruhnya diatas kasurku satu per satu. Dimulai dari tempat minum dari kayu (tentunya dengan air didalamnya), beberapa jarum, tali tambang yang tergulung rapi, dan benda kesukaanku yaitu sepasang pisau tajam yang aman dalam sarungnya. 'Persiapkan dirimu dengan baik', kata ibuku beberapa saat lalu sebelum meninggalkan kamarku tergiang di pikiranku. Jadi jika dia sudah tahu bahwa aku mempersiapkan peralatanku sebelum tidur maka sudah pasti maksudnya adalah soal penampilanku. Aku turun dari kasurku, lalu berjalan kearah lemariku – atau lebih tepatnya ke cermin di sebelah lemariku. Untuk apa? Memang apalagi gunanya cermin wahai teman-temanku yang kukira pintar? Hei! kenapa aku malah jadi marah ke kalian? Ini semua karena aku cukup kaget melihat pantulan wajahku di kaca yang benar-benar menyeramkan. Rambutku yang berwarna putih agak terlalu kepanjangan hingga bagian sampingnya sudah bisa menutupi kedua telinga telingaku. Aku memutar badanku dan dari lirikanku kecermin, bagian belakang rambutku sudah seharusnya kukuncir. Aku hanya berharap rambutku tidak membuatku kepanasan, karena hari ini aku memulai perjalanan jauh bersama Orion. Selanjutnya bagian lain dari kepalaku - tepatnya wajahku - diisi oleh sepasang mata abu-abu, dan bibir yang selalu kering setiap saat. Selebihnya aku oke kok. Bagian lain dari penampilan adalah pemilihan pakaian. Hari ini aku memutuskan untuk memakai baju kesukaanku yaitu jubah biru tua panjang dengan tudung dibagian kepala, jubah itu menutupi sebagian besar kaos dan celana putihku. Alasanku memilih seluruh pakaian itu karena semuanya ada diluar lemari, selain itu menurutku warna putih dan biru cocok dengan kulitku.Para cowok sudah cukup mengerti dendam kesumat puluhan tahun yang sudah mengakar antara cowok dan lemari pakaian (Iya nggak sih? Atau hanya aku saja?). Selanjutnya, aku mengambil sepatu hitam dari bawah ranjangku dan langsung kugunakan. Oke Lass, semuanya sudah siap. Oh satu lagi, aku perlu makan. Ruang makan kami terletak dilantai satu bersama dapur, ruang tamu, dan kandang yang terpisah dari rumah utama. Sedangkan dilantai dua terdapat kamarku dan kamar kedua orangtuaku, juga kamar mandi kecil didekat tangga. Tunggu sebentar. Mungkin yang dimaksud ibuku soal penampilan adalah dia sedang menyindirku. Lass dan mandi, kedua kata ini hanya bersebelahan selama seminggu sekali di bawah atap rumah ini. Terakhir kali aku mandi masih tiga hari lalu, jadi meskipun hari ini hari istimewaku bukan berarti aku akan menyentuh air. Kalian harus tahu bahwa badanku jarang sekali berbau tidak enak, jadi bukan salahku kalau aku malas mandi. Toh, mandi terlalu sering juga tidak mengubah bauku sama sekali. Abaikan topik mandi, air, atau apapun yang berhubungan dengan membersihkan badan. Kita kembali kepada persoalan ruang makan. Ruang makan kami memiliki meja kayu dengan empat kursi yang mengelilinya, dan dipojong ruangan ini terdapat alat-alat untuk keperluan memasak. Singkatnya, ruang makan kami juga merupakan dapur. Beberapa keluarga yang cukup kaya di Rebeliand memiliki ruang makan yang terpisah dengan dapur, tetapi tercatat hanya tiga keluarga yang memiliki rumah seperti itu. Ayahku sudah duduk di salah satu kursi yang mengelilingi meja makan tersebut. Didepan ayahku ada dua piring penuh kentang goreng yang diiris berbentuk lingkaran. Saat melihatku masuk keruang makan, dia tersenyum kepadaku. “Matahari sudah mulai naik, Orion tidak akan suka melakukan perjalanan panjang dengan matahari diatas kepalanya,” katanya. Aku menarik kursi disebelah ayahku dan mencomot dua kentang goreng yang langsung kukunyah dengan rakus. “Orion bukan kuda manja, Bos. Tapi okelah aku bakal cepet-cepet makan, agak gak rela juga sih kalo aku harus bagi-bagi minumku sama Orion." Ibuku muncul dari pintu belakang yang memiliki akses langsung ke dapur dan ke kandang Orion. “Ibu juga gak rela anak kesayangan ibu harus berbagi bekalnya sama seekor kuda, tapi Orion juga sudah jadi keluarga kita." Lalu dia juga menarik kursi dan duduk disebelahku. “Karena itu, ibu sudah dengan tulus memberi dia makan sebelum kalian pergi jauh" tambahnya. “Ibu beri Orion makan apa?” tanyaku masih dengan rakus mengunyah kentang goreng yang enaknya setengah hidup ini. Setengah mati udah biasa sih. “Sayur,” jawabnya santai. Jawaban yang terlalu singkat dan menyebalkan “Udah itu aja?” balasku sengit. Ibuku bisa kadang terlalu serius tapi kadang juga terlampau santai. Bayangkan kuda macam apa yang bisa mengangkut satu manusia diatas punggungnya di sebuah perjalanan yang memakan setengah hari dan cuma diberi makan sayur? Masih dengan tampang santai dan nada suara yang lebih santai dari wajahnya, ibuku menambahkan, “Lebih dari cukup sampai kalian sampai ke kota tujuanmu." Aku tidak mau percaya dengan ibuku soal Orion dan sayur dan perjalanan dan kota tujuan. Tapi apalagi yang bisa kulakukan kalau ibuku sudah ketok palu, bahwa Orion bakal sanggup membawaku ke kota tujuanku dengan hanya berbekal sayur di lambungnya. Mungkin Orion pun sekarang juga mau tidak mau percaya bahwa dia akan sanggup melakukannya, secara ini kan perintah ibuku. Perintah ibuku adalah hukum dirumah ini. “Jadi kemana tujuanmu Lass?” tanya ayahku. Sejak tadi aku belum melihat ayahku mengambil kentang yang ada didepannya sama sekali. “Donuemont,” jawabku singkat. “Setengah hari katamu?” Ayahku memiringkan kepalanya sambil perlahan dia mulai mencomot satu kentang goreng dan memainkannya di sela-sela jarinya. “Bahkan Orion yang mengangkut ayah pun bisa sampai kesana dalam waktu tiga jam.” “Bos, hari ini aku mau mencuri bukan mau berwisata bulanan," gerutuku. "Jadi otomatis aku harus ambil jalan memutar yang artinya aku masuk ke Donuemont dari sisi barat, sisi dengan penjagaan paling minim” Ayahku tersenyum geli saat aku menjelaskan rencanaku. “Ayah tahu hari ini kau pergi mencuri, tapi para manusia di Donater kan tidak tahu.” Ayahku akhirnya memakan kentang yang mungkin sudah pusing karena berputar-putar di jarinya. “Kenapa tidak berwisata saja kesana? dan malam hari lakukan aksimu. Lebih mudah masuk sebagai tamu dan keluar sebagai pencuri daripada menjadi pencuri saat masuk maupun keluar," imbuhnya. Sial, si bos satu ini memang cerdik tapi aku tidak akan mengakuinya, terutama di depan ibuku. “Oh jadi sekarang ayah yang pencuri dan jadi murid Master Ekkehard?” sindirku. Setidaknya ibuku harus tahu kalau anaknya juga bisa menantang suaminya yang sok tau ini. Ayahku tersenyum semakin lebar mendengar sindiranku. “Hanya memberi saran. Dilakukan atau tidak tergantung subjeknya.” Yay, ini artinya aku menang berdebat dengan ayahku kan? “Menurut ibu, ayahmu benar soal rencana itu,” sahut ibuku muram. Loh? Kok ibuku membela ayah sih? Lalu masih dengan wajah yang berfokus penuh kepada piring kentang di meja, ibu menambahkan, “Kami tidak meragukan kemampuanmu, tapi menghemat tenagamu sebelum kau melakukan pencurian itu lebih baik” Tuh kan! Kali ini sifat kelewat seriusnya yang malah dia tunjukkan. Aku juga tau kalau aku akan melakukan saran ayahku. Tapi tidak lucu kan kalau aku harus mengalah berdebat dengan ayahku di hari istimewaku? Kenapa sih ibu harus seserius ini, padahal sejak tadi aku dan ayah berusaha membuat hari ini tidak terlalu tegang. Kali ini giliranku yang tersenyum geli. “Astaga iya bu, anakmu yang sangat amat penurut ini akan melakukan apa yang ayahnya sarankan.” “Tapi barusan ibu melihat kalian berdua sudah mau saling lempar garpu,” balas ibuku dengan wajah polos. Seketika tawa ayahku dan akupun langsung pecah di pagi itu karena kepolosan ibuku. Aku tersenyum kepada ibuku. “Bu, sejak kapan sih kami bisa bertengkar? Ayah itu idolaku sejak dulu, mana mungkin aku seberani itu menentangnya,” kataku enteng. “Lass hanya suka berdebat denganku, menurutmu itu turunan dari siapa?” sembur ayahku cepat, yang langsung membuat wajah ibuku memerah. “Dan menganggap santai setiap perdebatan adalah warisan dari ayah buatku,” sahutku lagi. Ibuku mulai bisa menarik kembali seluruh wibawanya yang berhamburan karena ledekan kami. Lalu dia memasang wajah menantang kepada ayahku. “Setidaknya perdebatan akan membuatmu pandai berbicara, tapi santai bukan sesuatu yang penting di pertempuran.” Ayahku masih menatap ibuku dengan geli “Nu, anakmu mau mencuri yang merupakan kebiasaan Rebeliand, bukan mau bertempur.” Lalu dengan wajah yang jauh lebih serius dari ibuku, ayahku memegang tangan kanan ibuku dengan lembut lalu berkata dengan suara rendah, namun kami semua bisa mendengar dengan jelas setiap kata yang dia ucapkan. “Rebeliand adalah kota yang damai, kita memiliki tetangga dengan porsi seperti keluarga." Merusak suasana adalah kelebihanku. “Yah, udah saatnya,” ujarku. Karena aku melihat bahwa piring kentang sudah kosong dan ketegangan maupun ketakutanku sudah menyusut akibat kehangatan pagi hari bersama dua orang yang paling kusayang di dunia ini. Aku sudah siap pergi menyambut dunia diluar Rebeliand sendirian. Ayahku membuka tangannya yang mengisyaratkan agar kami menyambut uluran itu untuk menggandengnya. Sebuah kebiasaan kecil di meja makan di setiap sarapan pagi. Berdoa kepada Tuhan ataupun Dewa yang benar, kata ayahku, untuk menjaga kami hari ini.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Romantic Ghost

read
162.4K
bc

Legenda Kaisar Naga

read
90.4K
bc

Kembalinya Sang Legenda

read
21.7K
bc

AKU TAHU INI CINTA!

read
8.9K
bc

Time Travel Wedding

read
5.3K
bc

Putri Zhou, Permaisuri Ajaib.

read
3.5K
bc

The Alpha's Mate 21+

read
146.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook