1. Diary-ku Mana?

2149 Words
Aisyah yang mendengar teriakan orang yang tak sengaja dia tabrak pun lebih memilih untuk mempercepat langkahnya, bukan tanpa alasan tapi dia sedang buru-buru saat ini. Apalagi Uminya pasti sedang menunggunya untuk membantunya membuat kue, hari ini banyak pesanan kue ulang tahun. Dia tidak mungkin membuang-buang waktu dengan melakukan hal yang tidak penting, membantu Uminya itulah hal yang paling penting didunia ini. Sebentar... Sepertinya dia melupakan sesuatu, tapi apa ya? Karena tidak ingin berpikir lebih lama akhirnya dia lebih memilih memasuki toko kue milik Uminya. Gadis itu berjalan menuju dapur toko, sudah ada Uminya dan Nala yang sedang membuat adonan. Nala adalah sepupunya yang bekerja disini, usianya dua tahun lebih muda dari dirinya. Berbeda dengan dirinya yang tidak kuliah, Nala melanjutkan pendidikannya namun hanya mengambil kelas karyawan saja. Seperti halnya dirinya yang tidak ingin merepotkan orangtua, Nala pun sama dengan dirinya. Dia bekerja paruh waktu disini dan nanti gajinya akan dia gunakan untuk membiayai kuliahnya persemester, Aisyah cukup kagum dengan kerja keras Nala yang walaupun disibukkan dengan kuliah tapi dia tetap mau mencari uang sendiri. Kalau dia berada diposisi Nala sudah dipastikan dia akan memilih salah satu, bekerja atau kuliah. Dia orangnya paling tidak tahan jika dipusingkan dengan dua hal yang merunyamkan isi kepala, dia lebih suka mengerjakan sesuatu itu dengan bertahap. Satu persatu namun selesai, tidak seperti kebanyakan orang yang melakukan dua hal dalam waktu yang sama. "Assalamualaikum," ucap Aisyah sambil menaruh barang belanjaannya diatas meja. "Waalaikumsalam," balas Nala dan Uminya. "Loh kok sampai keringatan begitu?" tanya Maryam–nama Umi Aisyah. "Iya Mi, tadi Aisyah lari-lari biar cepat sampai makanya bisa keringatan gini." Aisyah menyengir ketika Uminya hanya menggelengkan kepalanya. "Ini semua barang belanjaannya lengkap kan?" tanya Umi Maryam yang dibalas anggukan Aisyah. "Iya dong Umi, pasti lengkap. Aisyah kan bukan orang yang pelupa," ucapnya penuh percaya diri yang dibalas cibiran dari arah belakangnya, siapa lagi kalau bukan Nala. "Betul Mbak Aisyah bukan orang yang pelupa? Terus waktu itu yang nganterin kue ke alamat yang salah siapa ya? Padahal kan udah pernah kesana dua kali, ngakunya lupa." Aisyah mengerucutkan bibirnya sebal mendengar sindiran Nala. "Ih pelupa itu kan manusiawi," ucapnya yang tak mau disalahkan. "Umi, hari ini kita mau buat kue ulang tahun ya? Bentuknya seperti apa Umi? Nanti Aisyah yang menghiasnya ya?" ucap Aisyah pada Uminya dengan mata yang berbinar-binar, Aisyah paling suka jika menghias kue sebaliknya dia tidak suka jika disuruh membuat adonan kue. Menurutnya nanti tangannya bisa kotor dan amis terkena adonan telur dan terigu, padahal menghias kue juga bisa membuat tangan kotor kan? Memang ada-ada saja alasan Aisyah ini. "Sekali-kali tau Mbak, bantuin kita buat adonan kue. Masa Mbak setiap diminta enggak mau terus? Harusnya kalau suka menghias kue sudah pasti suka membuat adonan kue," ucap Nala sambil memecahkan beberapa telur dan menaruh isinya didalam wadah. "Ih enggak mau, Mbak enggak tahan bau amisnya itu." Aisyah berasalan yang dibalas dengusan keras Nala. "Ih alasan aja tuh, bilang aja trauma buat adonan kue kan?" cibir Nala yang membuat Aisyah terdiam. "Eh iya Mbak, coba aja tadi Mbak pulang lebih awal. Tau enggak Mbak? Gue tadi ketemu sama cogan berjas lengkap, aduh ganteng banget itu orangnya Mbak. Dia bela-belain datang kesini cuma untuk memesankan kue karena keponakannya sebentar lagi mau ultah, gentle banget kan dia Mbak? Mana orangnya ramah lagi, coba aja kalau Mbak lihat pasti langsung naksir juga. Duh dia itu ya Mbak, tipe-tipe calon suami idaman banget." Nala bercerita sambil membayangkan ketika pria itu memesan sebuah kue ulang tahun, karena ketampanannya itu dia tadi hampir tidak fokus dengan apa yang pria itu katakan. "Gantengan juga Mas Raihan kemana-mana," celetuk Aisyah membuat Nala langsung tersenyum menggoda kearah Kakak sepupunya itu. "Ciee yang naksir sama Mas Raihan, iya sih Mas Raihan itu paket lengkap banget. Udah ganteng, alim, pintar ngaji, suaranya bagus, wajar aja sih Mbak Aisyah naksir sama Mas Raihan." Pipi Aisyah langsung merona mendengar perkataan Nala. "Ih apaan sih? Mbak enggak naksir ya sama Mas Raihan, cuma Mbak bicara fakta kalau Mas Raihan itu memang ganteng." Aisyah mengelak. "Serius deh Mbak kalau nanti Mbak ketemu sama cogan berjas itu pasti Mbak langsung bilang kalau ganteng cogan itu daripada Mas Raihan, dia kelihatannya orang kaya loh Mbak. Mbak yakin enggak naksir sama orang berdompet tebal? Kalau dia mau sama gue, gue dengan senang hati akan menerima." Aisyah hanya menggeleng mendengar ucapan Nala. "Udah, enggak usah banyakan menghayal. Biasanya orang kaya ya nyarinya perempuan kaya juga, bukan seperti kita yang enggak ada apa-apanya. Enggak usah berpikiran tinggi dulu, nanti kalau jatuh kan sakit banget tuh. Lebih baik lo mikser tuh telur dan gula supaya nanti gue bisa menghiasnya," ucap Aisyah yang dibalas tatapan kesal Nala karena Aisyah membuatnya kembali sadar dan jatuh sejatuh-jatuhnya. "Mbak mah, gitu sama gue. Harusnya didukung dong kehaluan gue, siapa tau jadi kenyataan kan? Eh ini kue ultah buat ponakan dia loh Mbak. Nanti dia kesini lagi, asyik enggak sabar mau lihat wajah cogan itu lagi. Mbak juga harus lihat nanti, gue yakin Mbak pasti akan bilang gantengan cowok ini daripada Mas Raihan." Karena mulut Nala yang menurutnya terlalu berisik, Aisyah mengambil sejumput tepung terigu dan menempelkannya pada bibir Nala membuat wanita itu terdiam sejenak dan begitu tau apa yang Aisyah tempelkan dibibirnya pun kini berteriak kesal. "Mbak Aisyah!!" Aisyah kini tertawa dan pergi meninggalkan Nala yang tengah mencak-mencak kesal karena perbuatannya, langkahnya menuju sebuah ruangan khusus miliknya dimana dia menaruh barang-barang pribadinya disana. "Loh? Diary gue mana?" tanyanya pada dirinya sendiri. Dia terus mencari keseluruh penjuru tempat tapi tak menemukan buku kecil berwarna hijau lumut miliknya, buku itu sangatlah berharga karena disana dia mencurahkan segala isi hati dan rahasianya disana. Jelas saja dia akan merasa panik saat tak menemukan keberadaan buku itu, diary itu adalah bagian hidupnya yang menemani dirinya dari saat memasuki bangku SMA hingga sekarang. Dia hampir saja menangis ketika tak menemukan diary itu, gadis itu keluar dari ruangannya menuju dapur. Dia ingat sekali kalau diary itu dia bawa saat pergi berbelanja, tangannya mengacak-acak seluruh barang belanjaan mencoba mencari buku kecil itu tapi dia tak menemukannya juga. "Kamu lagi cari apa sih? Kelihatannya panik begitu?" tanya Umi Maryam membuat Aisyah langsung menoleh kearah Uminya. "Aisyah lagi cari diary Aisyah Umi, Umi lihat? Diary itu kecil dan warnanya hijau lumut." Aisyah kembali mencari-cari diary itu bahkan sampai kebawah meja tapi tak ada juga. "Yaelah Mbak, tinggal beli aja lagi apa susahnya sih? Cuma diary juga. Yang jualan di toko buku juga banyak, harganya kan juga enggak mahal Mbak." Celetukan Nala membuat Aisyah langsung menoleh kearah gadis yang tengah sibuk mencampurkan semua bahan untuk membuat adonan kue. "Bukan diary-nya La, tapi isinya itu yang penting. Nanti kalau yang nemuin orang yang Mbak kenal gimana? Malu lah kalau sampai dibaca, disana banyak rahasia dan curhatan Mbak." Rasanya Aisyah ingin menangis saat ini juga tapi dia menahannya, tak enak bersikap berlebihan apalagi dihadapan Uminya. "Ya salah Mbak juga ngapain rahasia sama curhatan Mbak pake ditulis didiary segala, mending cerita sama gue. Pasti aman deh itu rahasia, kalau udah hilang begini mau gimana lagi Mbak? Susah carinya, coba Mbak ingat-ingat lagi siapa tau itu diary Mbak simpan disuatu tempat." Nala yang sedang membuat kue jadi tak konsen karena kepanikan berlebihan Aisyah, sebenarnya isi diary itu apa sih? Terlihat sangat penting sekali. "Gue ingat, tadi gue bawa waktu belanja. Kayaknya diary-nya jatuh deh, soalnya gue tadi enggak sengaja nabrak orang dan barang belanjaan gue jatuh semua." Bahu Aisyah langsung meluruh begitu mengingat kembali kejadian itu, jelas saja dia pasti tidak akan bisa menemukan diary-nya. "Udah Mbak, ikhlasin aja. Nanti kalau gajian beli aja yang baru, oh atau tempat simpan rahasia sama curhatannya diganti aja di hape." Saran yang terdengar bagus sekali, tapi tidak menurut Aisyah karena dia kini sedang memikirkan malangnya nasib diary yang sudah jatuh itu. Sekedar informasi, mengapa Aisyah terlihat sangat panik ketika diary itu hilang? Itu karena disana ada curhatan hatinya tentang perasaanya pada Raihan, lelaki yang lebih tua dua tahun dari dirinya yang merupakan Kakak kelasnya sekaligus murid Abinya. Sudah lama dia menyimpan kekagumannya pada lelaki itu, diary itu juga adalah pemberian Raihan atas dasar rasa terimakasih lelaki itu karena dia sudah membantunya untuk bertemu dengan Abinya. Sekarang bagaimana bisa dia mengikhlaskan barang pemberian lelaki yang dia sukai sejak lama? Barang itu merupakan barang pemberian dari Raihan satu-satunya yang dia punya. "Udah, daripada mikirin itu diary lebih baik Mbak hias ini kue. Sore nanti orangnya datang buat ngambil kue itu," Nala menaruh seloyang kue yang telah di oven kehadapan Aisyah. Sepertinya Aisyah terlalu banyak melamun hingga kue yang tadi Nala buat sudah jadi, berusaha fokus dengan pekerjaannya Aisyah menggelengkan kepalanya ketika dia kembali teringat pada diary-nya. Gadis itu memilih menghias kuenya dengan perasaan yang campur aduk, untunglah hiasan kue yang dia buat tak seburuk perasaan hatinya. Dia berhasil membuat hiasan kue itu menjadi bentuk beruang dengan lelehan coklat sebagai topingnya, juga ada choco chip sebagai pelengkapnya. Perasaan hatinya menjadi sedikit lebih baik ketika melihat hasil hiasan kue buatannya yang sangat indah, selain suka menghias kue dia juga sangat suka sekali jika orang lain merasa puas atas apa yang telah dia lakukan. "La, Mbak keluar sebentar ya?" ucap Aisyah ketika dia sudah menyelesaikan pekerjaannya yaitu menghias kue. "Loh mau kemana Mbak?" tanya Nala yang sedang membereskan wadah-wadah kotor bekas membuat kue. "Mbak mau cari diary Mbak, siapa tau dia masih disana." Nala menghela nafasnya mendengar ucapan Aisyah, kenapa sepertinya Kakak sepupunya itu sangat sayang sekali dengan benda mati berbentuk persegi panjang yang ukurannya kecil itu? Sampai dicari-cari segala lagi. "Serius Mbak mau cari itu diary? Gue yakin diary itu udah enggak ada disana Mbak, bisa aja ada pemulung yang ngambil itu barang terus dijual bersama kardus-kardus bekas ketempat pengepul." Sebenarnya ucapan Nala benar adanya, tapi apa salahnya dia ingin berusaha menemukan diary miliknya yang sangat berharga itu? Diary itu adalah bagian dari hidupnya yang tak bisa dia pisahkan dari kesehariannya. "Gue mau usaha nyari, gue berangkat sekarang ya? Kalau nanti Umi tanya gue dimana lo bilang aja gue mau ke toko buku. Gue habis pulang dari sana memang sekalian mau ke toko buku, jadi lo enggak perlu takut kalau lo bohong karena gue itu jujur." Nala memilih mengangguk karena pasti Aisyah itu akan keras kepala untuk mencari diary-nya sampai ketemu. "Iya udah deh Mbak, lo hati-hati. Jangan cuma karena lo cari diary gue dapet kabar kalau lo masuk rumah sakit ya Mbak?" Aisyah terkekeh mendengar ucapan Nala. "Ya enggaklah, udah ya? Gue pergi dulu. Assalamualaikum...." "Waalaikumsalam...." Aisyah memilih berjalan kaki karena tempat dimana sepertinya dia menjatuhkan diary-nya itu tak jauh dari sini, dia menyusuri trotoar jalan sambil melihat kebawah juga kesamping siapa tau dia menjatuhkan diary itu disekitar sana. Bahunya meluruh lesu ketika sampai ditempat kejadian dia tak menemukan diary miliknya, sudah hampir setengah jam dia mencari tapi dia tak menemukannya juga. Berkali-kali dia bertanya pada orang yang berlalu lalang, siapa tau mereka menemukan diary-nya tapi hasilnya nihil. "Kalau diary itu memang rezeki gue, pasti dia akan kembali lagi. Ikhlasin aja Ai, gue berharap yang nemuin itu diary adalah pemulung dan bukannya orang yang gue kenal." Setelah puas mencari tapi pencariannya tak membuahkan hasil, Aisyah memilih pergi ke toko buku. Gadis itu akan membeli sebuah buku diary untuk menggantikan diary yang lama miliknya yang telah hilang entah kemana, dibandingkan orang lain yang suka curhat disosmed melalui ponselnya. Aisyah lebih memilih mencurahkan seluruh isi hatinya melalui tulisan disebuah buku diary, meskipun diary itu tak dapat membalas pertanyaan tentang curhatannya tapi hatinya sedikit lega karena sudah mencurahkan isi hatinya itu pada sebuah benda mati bernamakan diary. Ingin curhat pada Nala pun sepertinya tidak bisa karena mulut gadis itu terlalu ceriwis, nanti bukannya dapat menjaga rahasia Nala malah mengumbarkan perasaanya pada kedua orangtuanya. Kan dia jadi malu, dia belum siap orangtuanya tau perasaanya itu. "Kok enggak ada sih?" gumamnya ketika setelah berkeliling dia sama sekali tak menemukan sebuah diary berwarna dan berbentuk sama seperti yang pernah Raihan berikan padanya, sepertinya barang pemberian Raihan sangatlah limited edition sehingga dia tak dapat menemukan kembaran dari diary itu. Maklum saja karena sudah lima tahun berlalu semenjak lelaki itu memberikan diary berwarna hijau lumut itu padanya, sekarang apa ya kabar lelaki itu? Semenjak kelulusan Raihan mereka memang tidak pernah bertemu lagi karena lelaki itu melanjutkan pendidikannya disebuah pondok pesantren untuk memperdalam ilmu agamanya. Rumah Raihan yang berjarak beberapa rumah darinya membuat dia sedikit tau kabar Raihan yang baik-baik saja, setidaknya meskipun dia tak dapat melihat wajah Raihan tapi lelaki itu baik-baik saja dan itu membuatnya lega. Karena tak dapat menemukan diary yang sama akhirnya dia memutuskan untuk membeli diary berwarna biru muda dengan gambar beruang putih, dia tidak bisa hidup tanpa menulis didalam sebuah diary. Ini sebagai pengganti saja, dan dia masih berharap kalau diary-nya akan kembali. * * * Bagaimana Bab satunya? Menarik untuk diikuti? Tap love dan comment jangan lupa ya sebagai semangat author untuk melanjutkan cerita baru ini^_^ ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD