BAB 3

1865 Words
Olivia memandang danau Lugano yang jernih yang terletak di bagian selatan Swiss yang berbatasan dengan Italia bagian utara tersebut dari kamar apartemennya. Wanita itu sudah satu bulan tinggal di kota indah tersebut. Ia mendapat berita kematian ayahnya dua minggu lalu dan Olivia memutuskan tidak pulang dan tidak menghadiri pemakaman ayahnya dengan alasan menghindari ancaman dimana ayahnya mati karena dibunuh. Jonan Soemitro adalah sosok ayah yang kejam dan memaksakan ambisinya pada putri satu-satunya, Olivia Soemitro. Sebenarnya Jonan sangat kecewa dengan kelahiran anaknya yang terlahir sebagai seorang perempuan dimana ia sangat mengharapkan anak laki-laki. Setelah Olivia lahir, ibunya tidak pernah hamil lagi sampai akhir hidup wanita itu. Hubungan Olivia dengan ayahnya sangatlah dingin dan kaku. Sebagai seorang ayah, Jonan memenuhi kebutuhan Olivia. Ia disekolahkan di sekolah bergengsi dan mahal. Olivia kuliah di univeristas bergengsi di dunia. Sebagai seorang anak, Olivia memenuhi kewajibanya seperti yang dituntut ayahnya darinya. Namun ikatan emosi diantara keduanya sangatlah tipis, bahkan Olivia yakin, tidak pernah ada ikatan emosi antara dirinya dan ayahnya. Olivia tidak menangis saat mendengar ayahnya mati terbunuh. Bukan karena ia bergembira diatas kematian ayahanya itu. Alih-alih melampiaskan rasa kecewanya pada Olivia yang terlahir sabagai anak perempuan, Jonan membesarkannya selama ini mendoktrinnya seperti seorang robot dan Olivia memenuhi kemauan dan tuntutan yang tinggi dari Jonan. Hal itu lah yang membuat rasa simpati di hati Olivia untuk ayahnya tidak ada. Awalnya Olivia ingin menunjukkan kepada Jonan kalau ia adalah anak yang berguna, pintar, bisa membanggakan ayahnya walaupun dia terlahir sebagai anak perempuan. Tetapi akhirnya dia muak dengan perlakuan ayahnya yang tidak pernah menerima diri Olivia dan selalu mencela wanita itu bagaimana pun Olivia berusaha memenuhi keingan Jonan. Sebentar lagi ia akan meninggalkan Swiss, kembali ke Jakarta, melanjutkan kepemimpinan ayahnya di perusahaan milik, Jonan Soemitro yang sangat dibencinya. Perusahaan ekspor ikan dan daging ke seluruh dunia itu akan dipimpin oleh Olivia, anak perempuan yang di pandang sebelah mata oleh Jonan, ayahnya. "Kau pasti kesal melihatku memimpin perusahaanmu itu papa," gumam Olivia dingin sambil menatap langit. Lalu wanita itu menarik kopernya dan keluar dari apartementnya menuju bandara. Olivia berjalan menuju lobi bandara Soekarno Hatta. Kemarin Jack sudah menghubunginya bahwa pengawal pribadi yang dimintanya sudah ada dan akan menjemputnya di bandara. Olivia masih ingat bagaimanawajah dingin pria yang akan menjadi pengawalnya melalui foto yang dikirim oleh Jack padanya. Ia berdiri menunggu pengawal yang belum dikenalnya itu dengan tidak sabar. Beberapa pasang mata pria memperhatikan dirinya secara terang-terangan dan hal itu membuatnya tidak nyaman. "Nona Olivia Soemitro?" Sebuah suara berat dan dalam memanggil namanya. Olivia langsung mengarahkan pandangannya kepada si pemilik suara. Sesaat seperti sebuah gelombang tiba-tiba menerjang Olivia ketika ia milihat seorang pria bertubuh tinggi berdiri di hadapannya. Di sekujur kedua tangannya yang kekar dipenuhi tato. Olivia tahu pria itu memiliki rambut panjang karena ia menggulung dan mengikat rambutnya yang hitam itu tinggi. Pria tersebut mengenakan celana jeans biru pudar dipadukan dengan sweater berwarna cokelat s**u. Aroma pria ini mengingatkan Olivia pada aroma hutan pinus bercampur mint yang segar. Bulu roma di seluruh tubuh Olivia seketika meremang, bukan karena takut walaupun di tahu pria dihadapannya ini berbahaya untuk dirinya. Kehadiran pria berekpresi dingin itu terasa sangat dominan dan seolah-olah waktu berhenti seketika. Ia bisa melihat kalau pria itu memiliki bulu mata yang lentik. Seharus seorang pria tidak boleh memiliki bulu mata secantik itu! Rutuknya dalam hati. Tatapan dingin dan setajam elang dari pria itu memperhatikan Olivia dengan seksama dan seperti menelanjanginya. Alis mata hitam dan tegas dengan tulang pipi yang tinggi membuat pria itu tampak jantan. Juga kulit berwarna cokelat yang membukus otot liat pria itu dibalik sweaternya, membuat sekujur tubuh Olivia semakin panas. Bibir murung  pria itu membentuk garis tipis yang emmbuat siapa pun enggan menyapanya. Olivia penasaran, apa pria ini tidak pernah tersenyum? Olivia tidak pernah merasakan pengaruh seorang pria sekuat ini pada dirinya dan menghantamnya sangat dahsyat. Riak gairah tiba-tiba muncul di perut Olivia seperti gelembung soda di lidah. Dan Olivia bersumpah, ia bukan wanita liar yang tidak bisa mengendalikan gairahnya! Tetapi pria di hadapannya ini membangkitkan sisi diri Olivia yang bahkan ia sendiri tidak mengenalinya. "Nona Olivia?" Sekali lagi suara itu memanggilnya. Seperti cairan madu yang kental masuk ke dalam tonggorokan Olivia, membuatnya mabuk karena rasa manis. Pria ini siapa? "Saya Benjamin Bameswara, pengawal pribadi anda yang dikirim oleh Jack Bameswara." Pria itu seolah-olah tahu isi pikirannya yang mempertanyakkan dirinya. Olivia sudah berumur tiga puluh tahun, dan ia sudah banyak berkenalan dengan berbagai macam pria, ia juga sudah banyak melewati getirnya kehidupan dibawah asuhan ayahnya yang tirani. Jadi seharusnya Olivia tidak kehilangan pengendalian diri hanya karena bertemu seorang pria yang bisa dikatakan seperti seorang viking yang siap menangkap beruang besar dan membunuh srigala. Wanita itu berdehem dan mengendalikan dirinya dari rasa hangat yang terus mendera tubuhnya. "Ya ... aku Olivia," jawabnya berusaha tenang, walaupun ia tahu ada sedikit getaran di dalam suaranya. "Panggil saya, Ben, Nona. Saya adalah pengawal pribadi Anda." Ben menunujukkan kartu tanda pengenalnya dari Dragon Security. "Oh …. " Olivia hanya mampu mengucapkan hal itu, dan ia langsung mengutuk dirinya yang seperti gadis remaja ingusan bertemu idolanya. “Kita sudah bisa berangkat, Nona?” tanya Ben dengan suara sabar. “Okay,” sahut Olivia singkat. Lalu Ben menarik koper wanita itu menuju mobil dan memasukkannya ke dalam bagasi. Olivia langsung memakai kaca matanya saat Ben membuka pintu penumpang untuknya. Pria itu menutup pintu lalu memutar kunci dan menyalakan mesin mobil,dan meluncur meninggalkan bandara. Keheningan terasa kental di dalam mobil mewah tersebut. Aroma Ben mendominasi aroma wewangian mobil. "Anda mau ke rumah yang mana, Nona?" tanya Ben sopan. "Ke apartemenku,” sahut Olivai. Ia belum siap ke rumah utama tempat ayahnya tinggal. Ben mengangguk mengerti dan mengambil arah jalur jalan menuju rumah wanita itu. "Jadi kau sudah tahu semua informasi tentang diriku?" tanya Olivia penasaran dari belakang Ben. "Iya, Nona," jawab Ben singkat. Olivia memperhatikanBen mulai bahunya yang bidang dab berotot, bergrak halus saat pria itu mengendalikan kemudi mobil. Wanita itu juga memperhatikan lengan hingga ke buku jari-jari Ben yang dipenuhi tato sedang mencekram kemud. Olivia tiba-tiba penasaran dan sangat ingin menyentuh tato yang menghiasi kulit pria itu. "Apakah kau sepupu Jack?" Olivia ingin tahu banyak tetang pengawal pribadinya yang tampak dingin itu. "Benar, Nona Olivia." Saat Ben menyebut namanya, seketika jantung Olivia berdebar kencang. Suara dalam pria itu membuatnya bergetar. Siàlan! Pikirnya karena pengaruh kuat pria itu terhadap dirinya. "Apakah kau sudah menikah?" Ben mencekram kemudi dengan kuat mendengar pertanyaan tersebut. Ia sadar jika wanita dibelakangnya ini sangat penasaran padanya. "Belum, Nona …. " "Punya pacar?" Olivia mempersiapkan dirinya mendengar jawaban pria itu. "Tidak." "Kenapa?" Olivia sangat ingin memaki dirinya yang banyak bertanya. "Tidak tertarik,” sahut Ben datar. Baiklah, Olivia mengerti jika Ben sudah memberinya kode bahwa ia tidak tertarik pada hubungan asmara. "Apa kau Gay?" Dan Olivia benar-benar sudah sangat membenci dirinya yang keterlaluan. "Tidak, Nona." "Jadi kenapa?" "Mengingat Anda adalah orang terpelajar  dan Anda pasti tahu  jika pertanyaan Anda sangatlah tidak sopan, Nona Olivia." Suara pria itu tenang dan dingin. Tidak terdengar ketus tapi Olivia tahu pria itu tidak suka dengan pertanyaanya itu. "Kau pengawalku, jadi aku harus tahu sedetail mungkin tentang dirimu. Bagaimana jika ternyata kau ini adalah musuh yang sedang menyamar untuk membunuhku." Olivia berkilah menutupi rasa malunya karena ucapan benar Ben tadi. Ia memang terlalu ingin banyak tahu dihari pertama mereka bertemu dan pertanyaan yang diajukannya adalah pertanyaan pribadi. "Jika aku adalah musuh Anda , sudah sejak tadi saya menghabisi Anda, Nona Olivia,” sahut Ben dengan kesabaran seorang biarawan. "Sepertinya, kau sangat anti pada wanita, Ben?" sindir Olivia jengkel. Ben diam tak menjawab. Olivia kembali seperti ingin mengatakan sesuatu, tetapi langsung mengurungkan niatnya melihat wajah Ben yang tampak kesal. Dan ia yakin pengawalnya ini tidak menyukai perempuan. Olivia tidak pernah sangat penasaran seperti sekarang ini pada seseorang. Wanita itu mengambil remot di sisinya hendak memasang music audio mobil. Ia khawatir rasa bosan akan membuatnya menjadi perempuan sok ingin tahu yang menyebalkan dan akhirnya mengucapkan banyak pertanyaan yang hanya akan membuatnya malu. Olivia memilih lagu lawas milik James Brown yang diputar di radio. Lagu jazz klasik itu menemani kemacetan ibu kota yang membosankan. Olivia diam-diam tersenyum dalam hati karena menurutnya lagu itu seperti mengejek Ben. "But it wouldn't be nothing, nothing, not one little thing, without a woman or a girl .... " Olivia melantunkan bait yang menegaskan pria tidak ada artinya tanpa wanita. Ben mengerang dalam hati sekaligus kesal. Ia tidak menyangka jika majikannya ini beranggapan dirinya membenci perempuan. He's lost in bitterness, he's lost lost…. Lirik terakhir lagu itu sangat tepat untuk Ben. Pria itu memang tersesat dalam kepahitan, tersesat dalam amarah dan dendam. Mobil kembali berjalan menuju apartemen mewah milik Olivia dan sekarang mereka berada di dalam lift gedung apatement. Pintu lift terbuka dan keduanya keluar, sesampainya di depan pintu apartement Olivua, wanita itu menekan password, lalu keduanya pun masuk.  Ben meletakkan koper-koper milik Olivia lalu menatap wanita itu dan bertanya, "Nona Olivia, apakah Jack sudah memberitahu Anda kalau saya akan tinggal di Apartement ini?" Sesaat Olivia tercengang. Ia tidak tahu harus bersikap senang karena pria itu tinggal bersamanya atau marah pada Jack yang tidak bertanya padanya dan membuat keputusan ini. "Maksudmu kita tinggal berdua? Di sini?" tanyanya dengan mata lebar tak percaya. "Itulah tugas pengawal, Nona, menjaga Anda di mana saja dan kapan saja," jawab Ben tenang dan berusaha tidak  mengeluarkan nada bosa pada suaranya. Melihat wajah olivia yang tercengang, Ben rasanya ingin mendengus. Ia memperhatikan wanita yang saat ini berdiri di hadapanya. Tinggi Olivia yang kira-kira 170 cm itu terlihat kecil dibanding tubuh tinggi Ben. Rambut wanita itu hitam melewati bahu, wajahnya cantik dengan mata yang besar, yang menatap Ben terkejut karena mendengar pria itu akan tinggal bersamanya. "Tapi aku terbiasa sendiri." Tolak Olivia. "Kalau begitu, Anda bisa menghubungi Jack dan katakan padanya Anda tidak memerlukan saya," ucap Ben datar. "Maksudku, kau tidak perlu harus tinggal di apartement ini dan tidur bersamaku." "Saya tidak pernah mengatakan kalau saya akan tidur bersama Anda, Nona." Wajah Olivia langsung bersemu merah. "Maksudku, jika kau tinggal di sini bersamaku, artinya kau juga tidur di sini kan?" Ben mengangkat sebelah alisnya tinggi. Olivia tidak tahu apakah pria menganggapnya aneh atau pria ini merasa geli mendengar perkataannya. "Jadi bagaimana, Nona?" Olivia tampak berpikir sejenak, lalu menatap pria itu sedikit bimbang, tetapi akhirnya ia berkata,. "Baiklah, kamarmu di sebelah sana." Ia menunjuk satu kamar di ujung  ruangan pada pria itu. Ben mengangguk dan berbicara pada Olivia. "Saya rasa Anda pasti lelah, Nona, jadi silahkan istirahat." "Jangan panggil aku, Nona,” cetus Olivia tiba-tiba. Entah kenapa dirinya masih ingin mengobrol bersama pria ini walaupun ia tahu obrolan mereka tidak lah penting unutuk pria itu. "Anda majikan saya, Nona," jawab Ben bijaksana. "Tapi–" ucapan Olivia berhenti seketika waktu melihat Ben yang mulai kesal. "Kalau begitu pesankan makanan untukku, aku yakin kau sudah tahu apa makanan kesukaanku." Ben mengangguk, lalu wanita itu meninggalkan Ben yang sedang memesan makanan melalui ponselnya. Olivia berbaring di atas kasurnya yang empuk. Pertemuanya dengan Ben baru berselang dua jam, tapi pengaruh pria itu sudah sangat kuat kepadanya. Ia sedikit–oh bukan sedikit– tapi ia sangat gugup sebenarnya. Pria bertato itu terlalu mendominasi. Olivia memandang ke arah pintu dan sekarang hanya pintu itu lah saat ini pemisah dirinya dengan pria yang dianggap oleh wanita itu paling meresahkannya.      
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD