bc

Arseno ( Indonesia )

book_age12+
469
FOLLOW
2.5K
READ
dark
family
arrogant
drama
tragedy
comedy
first love
friendship
like
intro-logo
Blurb

Dilihat dari sudut mana pun Arseno Diputra tuh tak ada mirip-miripnya dengan Peter Parker, Clark Kent, Steve Rogers ataupun Junaidi yang punya Om Jin dari Timur Tengah.

Lantas jika demikian faktanya, apakah lalu jadi dosa besar ketika ia gagal melindungi orang-orang yang ia sayangi?

Arseno Diputra hanyalah siswa SMA biasa yang lumrahnya mumet bila dihadang UN, yang hobinya buat onar sekaligus menganggap kebut-kebutan itu sebuah kegiatan ‘ganteng’.

Maka, sewaktu ia harus merasakan kehilangan beruntun, kecewa itu ada. Rasa sakit akibat harus berpisah dari Ibu nomor satunya, penderitaan gara-gara kehilangan cinta pertamanya. Kebahagiaan yang seakan berjarak jauh darinya.

Arseno Diputra sadar betul bila kehidupan itu berombak. Pasang-surut. Masa SMA-nya jelas tidak sesederhana FTV yang kerap dibuat kejar tayang di televisi. Terlebih saat muncul memo misterius yang bertuliskan.

‘ARSENO DIPUTRA. AKU YAKIN KAMU AYAH DARI ANAK INI. TANGGUNG JAWAB DONG!’

Sumpah dia baru 18 tahun belum ingin jadi Ayah entah secara sukarela ataupun dipaksa.

chap-preview
Free preview
Bab 1
{Tahukah kamu kenapa ia disebut takdir? Kuduga itu karena ia tak dapat dipikir} ________ Sekolah, hari Senin, dan awal bulan dengan waktu yang tengah menunjukan pukul 15. 00. Aku akan mencium tangan siapa pun yang bersedia segera menekan bel tanda berakhirnya proses belajar-mengajar. Entahlah, kalau semester puncak begini sering kali timbul sindrom ‘ingin cepat lulus tanpa ujian nasional’ atau bagaimana. Jelasnya, duduk memanaskan p****t sambil mendengar ceramahan Pak Tanu soal paragraf, puisi, syair, maupun kalimat tak efektif benar-benar jitu guna menaikan presentase kadar kantukku. Andai saja Garin tidak bertahan mencubiti kulit-kulit tubuhku, tentu sekarang aku sudah sampai di rumah bersama surat skors yang lumrahnya begitu mudah melayang di SMA Altair ini. “Lo kudu traktir gue sekotak pizza abis beres sekolah. Titik.” Garin memperkecil cubitannya di permukaan lenganku, membuat perih jua panas ibarat digigit kerangkang serta merta menyelubungi bagian yang tengah ia siksa. “Jangankan sekotak. Abis ini gue bakalan sumpel mulut lo sampe mampus sekalian pake tuh pizza,” ancamku disela ringisan nyeri sambil langsung menangkis tangannya agar jauh-jauh dari badanku. Sumpah! Aku memang meminta bantuannya supaya tidak jatuh tertidur di tengah bahasan materi pemantapan UN yang tengah Pak Tanu sampaikan tapi caranya menganiayaku itu cukup keterlaluan. “Pizza nggak akan bikin mati,” bantahnya tak setuju seraya menyandarkan kepala ke permukaan bahuku. Mendorong berat yang menggelayuti tubuh, Garin beserta kepala sekeras batunya otomatis terlempar. “Hari gini jangankan pizza, kopi aja sanggup bikin lo mampus.” “Lo mau memasukan sianida ke pizza gue?” “Itu terlalu mewah. Buat ukuran lo, gue kasih bubuk cabe kemasan juga langsung cengep-cengep, kan?” “Asem lo! Kecut!” umpatnya yang sama sekali tidak mencerminkan di keluarga jenis apa ia dididik. Garin Adijafri Jusuf Ibrahim, di kebanyakan situasi memang lebih berani mengambil langkah bebas daripada aku. Melongok ke jendela yang berada tepat di sampingku, tampaknya Altair masih terlalu sibuk. Tiga puluh menit menjelang waktu pulang sekolah, anak-anak di bawah sana terus giat men-dribble bola, ada sebagian yang sedang mengurusi tumbuhan di taman agro dan sisanya yang katakanlah kaum mayoritas pastilah tengah terjebak sepertiku. Masa-masa ini … aku berani jamin kalau orang-orang itu salah. Mereka yang mengatakan jika setelah lulus dari masa SMA, ada hari di mana kamu akan benar-benar rela mati demi kembali ke zaman tersebut. Rela mati gundulnya! Nyawa ini jelas terlampau berharga bila harus ditukarkan dengan aktivitas duduk-duduk sambil ngantuk begini. Mereka yang ingin kembali mungkin dulunya punya pacar segudang, tapi sekarang cuma bisa menikahi satu istri. Yah, alasannya bisa jadi tak melenceng dari itu. Aku diam-diam meringis sendiri mengetahui kesimpulan yang dirumuskan otak sana. Kenapa pula aku repot menyusun kemungkinan? Sungguh membuang waktu. Betul. Sekolah memang sangat membuang waktu “Lo bayangin yang ‘iya-iya’ yah soal Nura?” Suara ini lagi.   Menengokan kepala ke arah Garin, aku memilih untuk mengedikan bahu tak acuh akan interupsinya. Dia benar-benar sering bertingkah tidak penting hari ini. “Gue nggak lihat Bokap lo di tivi. Bokap nggak kena reshuffle?” aku memilah-milah topik yang siapa tahu menarik. “Ya kali Bokap gue artis. Berita dan infotainment, kan lebih suka ngomongin perceraian Nyokap lo.” Bocah ini refleks membekap mulutnya. Sedang dua mata hitamnya berkedip-kedip mengawasi responku.  “Tsh! I-Iya tuh! Nggak tahu Bapak-Bapak senior itu kok bisa lolos dari kegiatan bersih-bersihnya Presiden lagi? Padahal dia udah banyak nyusahin kita-kita. Gue juga udah nyebar twit-twit bullying. Gue udah bocorin rahasia jahatnya yang sering lupa ngasih makan si Meong, suka motongin uang jajan gue, dia itu laki-laki jahat. Tapi, herannya dia nggak kunjung dipecat juga.” Ini bukan bercandaan walaupun niat Garin mungkin mau menebus kalimat asal ceplosnya di awal. Namum, aku tahu Garin memang melakukan hal-hal tersebut. Garin, putra sulung Pak Adijafri adalah haters abadi salah seorang Menteri. Serius dan beliau itu merupakan ayahnya sendiri.  Aku tertawa kecil lalu menunduk membuka-buka sembarang halaman modul. “Itu sih alasan kalau lo mau nge-reshuffle si Om sebagai Bokap lo.” “Ide bagus. Coba ntar gue rapat darurat dulu sama Nyokap siapa tahu beliau udah punya kandidat gantinya.” “Nggak usah lebay gitu lah! Punya Bokap tiri nggak lebih baik kok dari punya Nyokap tiri. Jangan suka nantangin atau hidup lo bakal sesepi gue,” ujarku apa adanya.  “Sen ...?” s**l! Tema percakapan kami sama sekali tidak enak untuk diikuti. Berpura-pura buta akan tanggapan was-was Garin, aku pun berdehem singkat.  “Tumben yah Pak Tanu nggak negur? Apa dia lupa ngorekin kupingnya tadi sebelum ngajar? Jangan-jangan kopoknya udah segede ondol-ondol lagi? Kita udah nyap-nyap, dia kelihatan yang anteng-anteng aja di depan sono,” aku membelokan topik obrolan selihai yang kusanggup, sebab bila kukuh meneruskan aku tidak dapat memprediksi apa yang akan kuperbuat. Aku sungguh sedang tak berada dalam kondisi hati yang normal.  “Oh, iya, gue lupa! Kemarin lo berhasil nggak ngajak jalan Yura? Semalem gue mau nelepon buat dengerin curhatan lo padahal, cuman abis nonton tv gue tiba-tiba jadi ngantuk terus baru inget lagi sekarang. Gimana lancar nggak?” ingatku spontan. “Nggak digubris babarblas,” balasnya manut meniti lajur yang kutawarkan sembari tanpa ragu memperlihatkan raut sesal bercampur kesalnya. “Udah gue tungguin sampe dia beres eskul, setengah enam. Eh, boro-boro menyadari hadirnya gue. Dia ngeloyor aja kayak angkot kelebihan muatan. Jauhlah sama pencapaian lo dan Nura. Gue jalan di tempat.” Garin termasuknya jarang naksir cewek. Dia tipikal cowok berhati batu tapi sekalinya terlempar dia susah mengapung dan akan tenggelam sedalam-dalamnya. Yura Alona kelas X-1, menurut Garin sih dia cakepnya nyerempet-nyerempet bintang Korea, tidak menonjol secara akademis namun bakatnya di futsal lumayan bagus sehingga Altair bersedia menerimanya sebagai bagian dari keluarga.  “Makanya lo ganti metode dong! Masa naklukin cewek 16 tahun aja nggak becus,” sindirku tak sungguh-sungguh. Jujur, alangkah baiknya jika Garin tidak kunjung berhasil menaikan level statusnya bersama Yura karena aku dapat membaca begitu jelas, teman akrabku ini akan sakit bila upayanya tak kenal lelah. Yura mungkin baik tapi, itu bukan jaminan kalau dia cewek baik-baik.  Teng. Ting. Tong. Teng. Dan aku akan mencium kaki siapa pun orang berpola pikir kekinian yang sudi memodernisasi bunyi bel jadul macam begitu. Altair benar-benar butuh reformasi menyeluruh. Penghuninya sudah terlalu kolot dan membosankan.  Untung saja, kelulusan tinggal menghitung bulan. Tidak terbayang bila harus bersekolah di tempat ini selama 3 tahun penuh. Aku mungkin bisa mirip Garin. Sedikit-sedikit nyinyir nan sensitifan bak Oma-Oma menopause.  “Yesss es tuntung lewat juga,” Garin semangat 45 membereskan tumpukan-tumpukan buku paket ke dalam kantung segede gabannya. Aku heran bahunya tidak semplak akibat kebiasaan memboyong perpustakaan ke kantung ala Doraemonnya itu. Dia sungguh Altair sejati. Aneh.  “Lo balik sendiri aja oke? Gue ada janji sama Nura,” ucapku mencangklong tas punggung bersiap tancap gas menuju parkiran. “Loh loh loh. Nasib pizza gue gimana? Wah, janji busuk lagi yah itu?” protesnya bertingkah seperti bayi dengan menarik-narik ujung tasku. “Mulai deh lo! Tenang aja, nanti sore gue sendiri yang nganterin tuh pizza ke rumah lo. Sekarang gue buru-buru. Lepas kagak?” ujarku bergerak-gerak heboh guna meloloskan cekalannya. “Ah … Seno mah gitu! Selingkuhin aja gue terus,” candaannya ini sangat menjijikan serta bikin merinding apalagi mimik wajah yang dia pakai. Aku tidak mengerti kenapa bisa betah sahabatan bersama makhluk ajaib yang datang dari dunia rahim macam Garin. Sumpah, aku tanpa ragu-ragu mengkemplang kepalanya akibat tindakannya kali ini. “Udahlah, daripada ngerecokin gue mending puter tuh otak bulet lo biar dapet jurus buat ngegaet Yura. Gue cabut,” pamitku segera kabur meninggalkan si Garin yang masih mendumel dikarenakan pukulanku. Melangkah lebar-lebar, sekarang aku perlu bertemu Nura. Harus sebab duniaku mulai besok tidak akan lagi sama. So, inilah aku Arseno Diputra, 18 tahun. Masalah adalah temanku yang selalu ada di samping Garin dan Nura tentunya. Lalu, teman paling baruku saat sekarang ialah tuduhan anak haram serta ancaman kehilangan orangtua begitu matahari terbit besok hari. ***

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

DIA UNTUK KAMU

read
35.3K
bc

Enemy From The Heaven (Indonesia)

read
60.7K
bc

Bridesmaid on Duty

read
162.2K
bc

Suamiku Bocah SMA

read
2.6M
bc

Rewind Our Time

read
161.5K
bc

Married By Accident

read
224.3K
bc

MOVE ON

read
95.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook