6. Kebaikan

2231 Words
“Api bertemu api, sakit. Tanah bertemu tanah sakit,” ucap Reza menatap tangannya sembari mondar-mandir di dalam kamarnya. Setelah mendengar ucapan adiknya, Reza pun berpikir keras tenang Setaan dan tanah. Tadi dia bilang kalau setaan akan senang di neraka karena itu habitatnya. Namun, Darel malah memberikan contoh dengan menampar pipinya. Reza mengacak rambutnya frustasi. Bagaimana bisa setaan kesakitan di neraka. Tadi sebenarnya Reza masih ingin mendengar penjelasan lagi dari Darel, tapi kepalanya terlanjur pusing karena memikirkan itu. Tok tok tok! Suara ketukan pintu membuat Reza langsung masuk dalam selimutnya. Reza takut kalau itu Darel yang akan kembali menceramahinya. Reza masih pusing memikirkan setaan dan habitatnya, tidak mau ditambahi dengan memikirkan hal lain lagi. Tok tok tok! Suara ketukan terdengar lagi. Reza makin merapatkan selimutnya sampai menutupi kepalanya. Namun, suara pintu terbuka menggagalkan rencana Reza yang pura-pura tidur. Reza memang pintar menyanyi, tapi kalau acting dia sangat payah. “Reza, jangan pura-pura tidur. Sini ikut mama!” ajak Manda menarik tangan anaknya. “Ma, aku mau istirahat. Besok ada jadwal manggung,” ucap Reza dengan manja. Bukan hal yang aneh bila Reza sangat manja dengan ibunya, karena memang dari kecil dia sudah sangat manja. “Mama sudah telfon manager kamu, seharian besok kamu gak ada jadwal apa-apa. Mama mau mengajak kamu ke suatu tempat!” “Mau ke mana sih, Ma? Seharian besok aku mau istirahat!” kekeuh Reza. “Mau ke sekolah disabilitaas, mama mau nyumbang dana juga beberapa buku,” ucap Manda. Mendengar kata disabilitaas membuat otak Reza langsung konek. Dia lupa kalau dia akan ke sana. Tanpa pikir panjang Reza pun mengangguk. Setelah bersiap-siap, Reza, Manda dan Darel pergi bersama sopir. Reza yakin kalau sekolah disabilitaas yang akan mamanya datangi adalah sekolah yang sama yang dia datangi bersama Audi. Sekolah pinggiran kota yang tempatnya jauh dari kata layak. “Kak, kenapa wajah kakak kayak orang berpikir keras?’ tanya Darel yang duduk di samping Reza. Saat ini mereka berada di mobil dalam perjalanan ke Sekolah terpencil. “Pasti memikirkan yang aku ucapkan tadi!” tebak Darel. Mendengar obrolan anak-anaknya membuat Manda tersenyum. Manda harap, dengan adanya Darel, bisa membuat pintu hati Reza terketuk memilih keyakinannya. Sebagai ibu dia mengarahkan apa yang menurutnya benar. “Menurutmu, kalau orang yang beribadah siang dan malam bisa masuk surga?” tanya Reza berbisik. Reza takut mamanya yang di depan mendengar, ia sangat malu. “Kalau ibadah hanya untuk mencari surga, huh payah,” cibir Darel. Reza memelototkan matanya. “Apa maksudmu payah? Bukannya orang beribadah untuk masuk surga?” seru Reza menepuk pundak Darel dengan pelan. Walau pelan tetap saja sakit menurut Darel. “Tujuan masuk surga itu apa sih, kak? Kakak takut di neraka?” “Ya jelas semua orang takut!” “Kapan-kapan deh aku jelasin, aku masih ngantuk. Mau bobok dulu,” ucap Darel merebahkan kepalanya di paha Reza. Reza mendelik, berani sekali anak kecil ini yang baru bertemu dengannya beberapa jam lalu. “Jangan marah! Darel hanya membutuhkan kasih sayang,” bisik Manda melirik anaknya. Reza menganggukkan kepalanya. Dalam hati dia bersumpah, akan menagih jawaban Darel soal surga dan neraka. Di sisi lain, Syahilla tengah menjadi bahan tarikan ibunya yang ngamuk bak orang kesetanan di rumah sakit. Ibunya memaksa Syahilla untuk pulang, padahal Dokter belum mengijinkan. “Saya tidak mau tau, anak saya harus pulang. Biar saya yang merawatnya. Rumah sakit macam apa yang tidak memperbolehkan pasiennya pulang?” teriak Farihna menatap dokter Aro dengan tajam. “Bu, ibu tenang dulu, ya! Kami akan memperbolehkan pulang asal pasien sudah sembuh, ini pasien belum sepenuhnya sembuh,” jelas Dokter Aro mencoba sabar. “Mata anak saya sudah sembuh, lihat perbannya saja sudah dilepas!” sangkal Farihna. Dokter Aro mencengkram kuat tangannya untuk menahan emosinya. Pria itu baru melihat ada orangtua seegois ibunya Syahilla. Sedangkan Syahilla yang sudah malu, hanya bisa menundukkan kepalanya. Matanya masih sangat sakit untuk melihat, tapi ibunya terus memaksanya untuk pulang. “Siapa yang akan menyambung kebutuhan pokok kalau kamu hanya diam gak berguna di rumah sakit ini?” tanya Farihna dengan tajam. Miris, tentu saja siapapun yang mendengar akan merasakan kepedihan hatinya. Memang kalau masalah ekonomi selalu membuat orang di luar kendali, tapi apakah anak sakit bukan sesuatu yang penting. Dokter Aro mendekati Farihna, memegang lengan wanita itu dengan pelan. Farihna menghempaskan dengan cepat. “Maaf, Bu. Anak ibu masih sakit, apakah ibu tidak takut kalau dengan rawat jalan malah memperparah keadaaannya? Kalau makin parah, anak ibu tidak bisa bekerja,” ucap Dokter Aro. Para perawat yang tadi ikut menenangkan Farihna pun bungkam. Dalam hati mereka berdoa Farihna bisa luluh dengan ucapan Aro. Karena selama ini hanya Aro yang bisa meluluhkan hati para pasien. “Saya tidak peduli. Yang saya butuhkan saat ini Syahilla pulang bersama saya!” tandas Farihna menyeret Syahilla paksa. Mata Syahilla yang masih sakit pun membuat keseimbangannya tidak stabil. Beberapa kali perempuan itu akan terjatuh saat ibunya menarik dengan paksa. “Bagaimana ini, Dokter?” tanya salah satu perawat yang ketakutan. “Nanti saya yang akan mengurusnya. Semua administrasi juga sudah lunas,” jawab Aro. Pria itu memasukkan kedua telapak tangannya di saku celana dan melenggang pergi. Kebetulan jam kerja Aro sudah habis, Aro bergegas ke ruangannya untuk mengambil tas dan mengikuti ke mana ibu Syahilla membawa anaknya pergi. “Bu, pelan-pelan. Syahilla tidak bisa melihat!” ucap Syahilla meraba-raba angin. “Sejak kecil sampai dewasa kamu selalu nyusahin, bisa gak kalau tidak buat ibu repot?” maki Farihna. Farihna membawa Syahilla berdiri di pinggir jalan untuk menunggu taxi. Di sepanjang perjalanan, bibir Syahilla tidak berhenti menyebut asma Allah. Ketakutan di hati Syahilla sangat menyiksa. Takut kalau ibunya akan berbuat jahat kepadanya. Syahilla masih trauma juga bila harus kembali ke rumah dan bertemu kakaknya. Mungkin matanya bisa sembuh, tapi luka di hatinya siapa yang menjamin bisa sembuh dalam hitungan hari. Darah yang sama tapi saling melukai. Saat taxi sudah sampai di depan gang rumah Syahilla, ibu Syahilla menarik tangan anaknya untuk bergegas keluar. Dengan terseok-seok Syahilla berjalan. Sepanjang perjalanan, hanya kalimat kasihan yang bisa Syahilla dengar dari tetangga-tetangganya. “Penderitaan ini seakan tak berakhir, luka ini seolah tidak ada obatnya, terus dilukai, sampai hati ini benar-benar akan mati,” batin Syahilla. “Ibu beri waktu kamu istirahat sampai besok. Besok kamu harus sudah menjual lukisan-lukisan busukmu itu untuk mendapat uang!” ucap Farihna dengan nada perintah. “Ibu, ridho ibu sangat penting bagiku. Kalau ibu mengatai lukisanku busuk, lalu bagaimana lukisanku bisa laku? Tak adakah setitik ridho ibu untuk aku menjalani pekerjaanku?” tanya Syahilla dengan nada penuh pengharapan. “Bagaimana ibu bisa ridho kalau kamu tidak pernah sekalipun membuat ibu bangga?” tanya Farihna sinis. “Lalu bagaiman dengan Narenda? Apakah dia sudah membahagiakan ibu?” tanya Syahilla dengan berani. Farihna diam, perempuan itu menatap mata anaknya yang pandangannya lurus. Seketika rasa panik itu menyerang Farihna. Farihna melambaikan tangannya di depan anaknya, tapi mata anaknya masih terus memandang lurus ke depan. “Syahilla, kamu mengatakan hanya sakit sebelah. Tapi kenapa matamu terus lurus, kamu buta?” tanya Farihna panik. Farihna membimbing anaknya untuk masuk kamar. “Jawab Ibu, Syahilla!” “Syahilla tidak tau, Bu. Syahilla tidak bisa melihat dengan jelas,” jawab Syahilla lirih. “Kenapa kamu tidak bilang dari tadi pas di rumah sakit?” teriak Farihna. Farihna mondar-mandir di kamarnya. Rasa panik menyerang perempuan itu. Siapa bilang dia tidak menyayangi putri semata wayangnya. Farihna sangat menyayangi Syahilla meski dia benci dengan keadaan di mana anak-aanknya belum bisa memberikan apapun kepadanya. Tadi dia kira anaknya hanya buta sebelah, tapi ternyata keadaannya lebih parah. “Hiksss … hiksss ….” Syahilla terisak pelan. Apa maksud dari sikap ibunya saat ini? Kenapa nada bicaranya terdengar sangat khawatir. Ini pernah terjadi saat Syahilla kecil. Saat itu Syahilla sedang berjualan gorengan dan mendapat bullyan dari teman-temannya hingga pulang dalam keadaan penuh luka. Saat itu ibunya sangat khawatir, hutang sana-sini untuk membawanya ke klinik. Air mata Syahilla terus melesak keluar. Ingatan tentang moment itu sangat berharga untuk Syahilla. “Syahilla, ayo ke rumah sakit lagi!” ajak Farihna. “Tidak perlu, Bu. Kalau aku ke rumah sakit, aku tidak akan bisa bekerja besok,” jawab Syahilla pelan. Syahilla meraba ranjang sampingnya untuk menemukan selimut. “Permisi!” ucap suara pria mengagetkan Farihna dan Syahilla. Dengan bergegas Farihna kelaur. Saat membuka pintu, wanita itu dikagetkan dengan Dokter Aro yang berdiri tegap di sana. “Ngapain Dokter ke sini?” tanya Farihna. “Mohon maaf, saya mau menemui Syahilla. Apa diijinkan?” tanya Dokter Aro sopan. Meski perlakuan ibu Syahilla tidak bisa dikatakan baik, sebagai orang yang lebih muda, Aro tetap harus menjaga sikapnya. “Silahkan!” ucap Farihna. Aro memasuki rumah sempit Syahilla. Rumah dari anyaman bambu yang sebagian reyot. Farihna mengarahkan Aro ke kamar kecil yang merupakan kamar anaknya. Pikiran Syahilla sangat buntu saat merasakan matanya buram. Tidak gadis itu sangka kalau efek cat sangat berbahaya hingga merenggut sebagian matanya. Derap langkah kaki yang terdengar membuat Syahilla makin kalut, dia tidak tau jelas siapa orang yang sudah memasuki kamarnya. “Hai, Syahilla!” sapa Aro. Syahilla mengerjapkan matanya, dari suara dan bentuk tubuh seperti Aro. “Dokter bisa ada di sini?” tanya Syahilla kaget. Dokter Aro menganggukkan kepalanya, Farihna pamit keluar karena tidak tau musti ngapain. Yang ditangkap Farihna dari sikap Aro adalah, dokter muda itu menyukai anaknya. Farihna merasa berada di posisi sulit. Kalau anaknya menikah, siapa yang akan memberinya uang sedangkan Narenda tidak pernah mau memberinya. Mengingat ucapan Syahilla tentang Narenda yang tidak pernah membahagiakannya, membuat Farihna mengusap keningnya kesal. “Demi apa aku melahirkan anak-anak yang tidak berguna,” ucap Farihna kesal pada dirinya sendiri. Farihna hanya bisa menggigit jarinya iri saat tetangganya menceritakan pencapaian anak-anak mereka. Ada yang menjadi polisi, dokter, tantara, guru dan lain-lain. Sedangkan anaknya? Satu pun tidak ada yang jadi apa-apa. Kala dia mengungkit dan membandingkan Narenda dengan anak tetangga, pastilah Narenda akan menjawab karena dia berasal dari ekonomi tidak mampu. Narenda juga mengatakan andai ibu dan ayahnya kaya, maka dia bisa kuliah dan mengejar cita-citanya. Lah sekolah saja harus putus masalah biaya, mana bisa melanjutkan ke jenjang lebih tinggi. Farihna mengambil air dan membasuh wajahnya. Stres lama-lama kalau terus memikirkan perekonomian yang berat. Mau menyalahkan takdir? Farihna sudah setiap hari begitu. Di kamar kecilnya, Syahilla tengah was-was sembari memeluk bantalnya. Dia sangat canggung saat harus berduaan dengan seorang pria di dalam kamar. “Dokter mau apa?” tanya Syahilla pelan. “Aku mendengar kamu sering mengaji di ruang rawat. Walau suaramu lirih, tanpa sengaja aku mendengarnya. Aku membawakanmu alqur’an. Terima, ya!” ujar Aro menyerahkan alqur-an khusus tuna netra. “Maaf, aku memberimu itu bukan karena mengejek keadaanmu yang saat ini belum normal melihat. Aku hanya berniat memudahkanmu,” tambah pria itu lagi. “Apa itu Al-quran khusus untuk tuna netra?” tanya Syahilla. “Iya.” “Terimakasih banyak, Dok. Letakkan saja di meja kecil sapingku, aku belum wudlu untuk memegangnya.” Aro mengangguk, meletakkan alqur-an yang sebenarnya akan dia kasihkan tadi waktu di rumah sakit. Namun kejadian tak mengenakkan malah memperkeruh keadaan. “Lukisanmu sangat indah,” puji Aro menatap lukisan-lukisan Syahilla yang disandarkan di meja bambu. “Hem, masih kurang sempurna,” jawab Syahilla. “Jangan merendah. Ini sangat aestetick. Boleh aku membeli semuanya?” Syahilla tercenung. Hal yang paling tidak disukai Syahilla adalah dikasihani.   “Maaf, Dok. Jangan mengasihani saya, dokter tidak perlu-“ “Aku tidak mengasihanimu, Syahilla. Aku mengatakan yang sebenarnya bahwa lukisanmu sangat indah. Aku akan membeli semuanya dan membagikannya pada rekan dokterku,” sela Aro cepat. Menurut Aro, Syahilla tipe orang yang bekerja keras. Bahkan perempuan itu tidak ingin dikasihani. “Jadi, ini ada dua puluh lukisan, semuanya berapa?” tanya Aro. “Satu lukisannya seratus lima puluh ribu, Dok,” jawab Syahilla akhirnya. “Tunggu sebentar. Saya menelfon orang untuk membawakan uang!” ucap Aro merogoh hpnya untuk menghubungi anak buahnya. Syahilla dan Aro saling diam sembari menunggu anak buah Aro. Syahilla tidak tau harus berbicara apa, dan begitupun Aro yang menikmati jantungnya bertalu-talu kala bersandingan dengan seorang gadis yang dia kagumi. Selang beberapa lama, Aro mendapatkan telfon kalau anak buahnya sudah berada di depan rumah Syahilla. Aro pamit keluar sebentar dan datang lagi membawa satu tas kecil uang. “Syahilla!” panggil Aro. Syahilla mengerjapkan matanya mencoba melihat Aro. “Satu lukisanmu ini terlalu murah kalau hanya dihargai seratus lima puluh ribu. Ini aku membelinya bukan untuk mengasihanimu, tapi untuk mengapresiasi karyamu. Ada uang dua puluh juta, bisa kamu gunakan untuk keperluanmu. Dan ini ada obat tetes mata yang bisa membantu proses penyembuhanmu. Terima, ya!” bisik Aro dengan lembut. “Kenapa dokter melakukan ini untukku?” tanya Syahilla pelan. “Karena aku menyayangimu.” Ungkap suara hati Aro. Jelas saja tidak keluar di lisan. “Tidak ada alasan, Syahilla. Terima saja. Aku pamit dulu, kapan-kapan aku akan mengunjungimu lagi,” bisik Aro mengusap puncak kepala Syahilla. Syahilla menjauhkan kepalanya. Aro terkekeh sebentar dan melenggang pergi membawa lukisan-lukisan yang sudah dia beli. Di kamarnya, Syahilla menangis tersedu-sedu meraba ke tasnya. Mungkin bagi siapapun uang dengan nominal itu sangat sedikit, tapi bagi Syahilla bak tertimpa durian runtuh. Buru-buru Syahilla membuka tasnya, matanya menangkap lembar demi lembar uang ratusan ribu. Dengan cepat-cepat Syahilla memasukkan separuh uang itu di celengan bekas kaleng lebaran itu yang untungnya tak jauh dari tempatnya duduk. Syahilla memasukkannya cepat agar ibunya tidak melihat. Setelah selesai dengan urusannya, Syahilla kembali merebahkan diri di ranjang kerasnya. “Ya Allah, limpahkan rezeki kepada dokter Aro,” do’a Syahilla dalam hati. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD