7. Bertemu kembali

1674 Words
Semalaman hanya tangis yang bisa Syahilla lakukan, dia belum makan tidak ada yang memperhatikan. Mau mengambi sendiri, sudah pasti tidak ada nasi sisa. Syahila beranjak berdiri dengan meraba-raba angin untuk menggapai sesuatu yang bisa dia gunakan untuk pegangan. Syahilla menuju kamar mandi untuk mengambil wudlu. Saat mata tidak jelas melihat, telinga bisa digunakan untuk mendengar dan akal yang merespon setiap suara pijakan kakinya. Walau tidak sepenuhnya buta, Syahilla sedikit kesulitan untuk melihat. Beruntung dia bisa merasakan dan instingnya sangat kuat. Tadi waktu memasuki asyar dan magrib, Syahilla sudah berhasil menuju kamar mandi sendiri. Sekarang pun dia bisa kembali ke kamar dengan selamat. Syahilla mengerjapkan matanya, terkadang akan terlihat jelas, terkadang akan terlihat buram. Syahilla menuju almari kecil tempatnya menyimpan mukena. “Syahilla!” teriak suara Narenda menggelegar masuk di telinga Syahilla. Syahilla mendekap erat mukena miliknya. “Syahilla keluar!” teriak Narenda lagi, Syahilla ketakutan, perempuan itu merapatkan tubuhnya di sudut kamarnya. Syahilla takut kalau Narenda akan melukainya lagi. “Syahilla!” Narenda menyibak kelambu kamar adiknya, dia mendapati adiknya yang bergetar ketakutan di sudut kamar. Narenda tidak peduli, laki-laki itu mengamati sudut kamar adiknya. Saat mendapati tas kecil yang asing, Narenda mengambilnya. Matanya membulat sempurna saat melihat banyak uang ratusan ribu. “Ibu!” teriak Narenda. Selang beberapa saat Farihna datang. Syahilla meremas hatinya yang sangat pilu. Jadi malam ini ibunya ada di rumah? Tapi sekali pun tidak menawarinya makan. “Ibu, anakmu menyembunyikan uang sebanyak ini. Kurangajar sekali dia,” ucap Narenda. “Narenda, berikan pada ibu!” titah Farihna. Narenda diam, dia ingin mengambil uang itu. Namun dengan cepat Farihna merampas tas yang dibawa anaknya dan menutupnya kembali. “Ini bukan uangmu, jangan sembarangan!” ucap Farihna dengan tegas. “Bu, itu lumayan buat membeli kebutuhan pokok. Ibu jangan naif, nanti ujungnya ibu pakai sendiri. Sini dibagi sama aku!” Syahilla makin menangis terisak di sudut kamar. Apa matanya tidak ada artinya daripada uang dengan nominal dua puluh juta. Syahilla ingin marah, kenapa takdir begitu kejam menempatkannya di keluarga yang tidak pernah memakai hati. “Sudahlah kamu pergi sana dan kerja sendiri!” tegas Farihna. “Ibu jangan munafik!” “Ada apa ini rame-rame?” Rahman datang dengan keringat yang bercucuran di keningnya. Pria itu baru selesai bekerja. “Ayah, Syahilla punya uang banyak dalam tas itu. Tapi ibu tidak mau membaginya denganku.” Jawab Narenda. “Sudah cukup! Kenapa di otak kalian hanya ada uang dan uang? Aku yang korban dari keegoisan kalian. Sekarang mataku sakit gara-gara Narenda, ibu dan ayah hanya diam seolah perlakuannya memang benar. Sekarang ada uang, dia mau ambil juga!” teriak Syahilla marah. “Kalau kalian memang tidak menyayangiku, aku juga tidak butuh kasih sayang kalian!” ucap Syahilla lagi. Tangan perempuan itu meraba-raba sekelilingnya. Setelah menyambar hijab dan mengenakannya, dia menyambar celengan, tas kecil berisis dompet juga hp, dan alquran untuk turut dia bawa. “Nikmati uang itu, Syahilla tidak butuh!” Syahilla menabrak bahu kakanya. Dengan langkah kakinya yang pelan, Syahilla keluar dari kediamannya. “Syahilla, kami tidak bermaksud. Kembali, Nak!” teriak Rahman mengejar anaknya. Semakin Rahman berlari, Syahilla makin mempercepat laju larinya. Syahilla malu saat kesabarannya hanya sebatas ini, tapi mau bagaimana lagi Syahilla sudah sangat membenci kakaknya yang sudah membuatnya seperti ini. Syahilla terus berlari, sinar-sinar menyilaukan memasuki celah matanya. Dia baru sadar kalau sudah sampai di jalanan bermotor. Rahman memilih pulang ke rumah. Dia mengejar anaknya tapi anaknya terus berlari, yang dia takutkan anaknya malah celaka. Saat sampai di rumah, Rahman menatap anak dan istrinya yang masih memegang tas yang berisi uang. “Sudah puas kalian? Sudah berapa kali ayah bilang, hidup, mati, rezeki sudah ada yang mengatur. Manusia diwajibkan berusaha bukan merampas!” tegas Rahman menatap tajam istrinya. “Hanya karena tuntutan ekonomi, kamu sampai melukai anak gadismu. Di mana hati kamu sebagai ibu?” Rahman menunjuk wajah istrinya dengan geram. “Aku tidak merampasnya!” sangkal Farihna. “Kamu Narenda, kamu laki-laki seharusnya kamu malu sama adik kamu. Adik kamu sudah sering mengalah demi menambal kebutuhan pokok, kamu yang laki-laki bisa apa? Hanya ngeluh saja. Kalian berdua sama saja. Terserah kalian saja, biarkan Syahilla di luar sana. Pasti dia akan bertemu dengan orang baik. Karena orang baik akan bertemu dengan orang baik pula,” tandas Rahman berlalu pergi meninggalkan anak dan istrinya. Farihna menatap kepergian suaminya dengan perasaan yang berkecamuk. Benar yang suaminya bilang, Syahilla sudah mengorbankan uangnya demia menambal kebutuhan pokok. Pekerjaan Syahilla yang hanya sebagai seorang pelukis pun uangnya juga kecil. Selama ini Syahilla tidak pernah mencukupi kebutuhannya sendiri. Farihna menatap uang-uang dalam tas yang dia bawa. Andai Narenda tidak melukai Syahilla, Syahilla tidak akan mendapat uang sebanyak ini. “Bu, siapa yang memberi uang itu pada Syahilla?” tanya Narenda. “Mungkin dokter, Aro. Dia sepertinya menyukai adikmu,” jawab Farihna. “Ibu tau di mana dia sekarang?” Otak licik Narenda seketika bekerja, dengan tersenyum setaan dia menatap ibunya. Farihna menatap gelagat anaknya yang aneh. Dia tidak akan membiarkan Narenda merencanakan hal busuk. “Jangan mengacau!” tegas Farihna yang ikut pergi meninggalkan Narenda seorang diri. Narenda menedang angin dengan kesal. ‘ Di sisi lain, Syahilla tengah duduk di masjid kecil  seorang diri. Kakinya bergerak sendiri karena kedinginan. Belum lagi, rasa lapar yang menyerangnya. Tangisan Syahilla meronta dalam batinnya. Air mata tidak menetes lagi, mungkin air mata itu sudah terkuras habis karena terlalu sering menangis. Dalam keadaannya yang seperti ini, dia bisa apa? Kehidupan ke depannya akan dia lanjutkan atau memilih pasrah, gejolak pemikiran itu memenuhi relung hati Syahilla. Syahilla membuka al-quran pemberian dari Dokter Aro, tangan lentiknya membuka lembar pertama. Tangan Syahilla meraba huruf demi huruf hijaiyah. Setiap manusia mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Syahilla percaya, di samping kekurangannya dia memiliki kelebihan. Syahilla baru pertama membaca Al-quran khusus tuna netra, tapi tangannya dengan apik bisa merabanya dan memudahkannya untuk membaca dengan lancar. Alunan suara merdu Syahilla membuat suasana hening dalam masjid makin terasa sunyi. Ayat suci yang Syahilla baca, mampu membuat satu keluarga yang baru selesai salat isya di masjid itu diam mematung mendengarkan. Satu orang yang tidak ikut salat pun sejak Syahilla datang sudah mematung di tempatnya mengamati wanita itu. “Ternyata, bidadari di dunia memang nyata adanya,” ucap pria itu yang sejak tadi tidak berkedip menatap Syahilla. Takdir selalu tak terduga. Manda menatap Syahilla yang masih kusyu membaca Al-qur’an. Malam ini sebelum mencari penginapan, Manda mengajak Darel untuk salat isya. Dan pada akhirnya sampai di masjid kecil ini dia bisa bertemu dengan Syahilla. Gadis cantik yang sangat dia kagumi. Manda dan Darel dengan kompak menatap ke arah Reza yang tidak berkedip mengamati Syahilla. Kalau ini dunia kartun, sudah pasti air liur Reza akan bercecer di mana-mana. Syahilla menyudahi mengajinya saat perasaannya merasa seperti ada yang mengamatinya. Syahilla mengedarkan pandangannya. Ada satu orang ibu dan anak di depannya, matanya mengerjap untuk bisa menangkap siapa orang itu. “Nak, Syahilla. Kita bertemu lagi,” ucap Manda lebih mendekati Syahilla. Reza memicingkan matanya, tidak menyangka kalau gadis di hadapannya mau berkenalan dengan mamanya. “Bu Manda?” panggil Syahilla. “Iya, Nak. Ini ibu, kenapa kamu malam-malam di sini? Eh maksud ibu, apakah kamu sudah sehat?” tanya Bu Manda bertubi-tubi. “Em … aku sudah sehat, Bu. Ini aku memang sengaja ke masjid,” jawab Syahilla berbohong. Manda tidak serta merta percaya dengan apa yang diucapkan Syahilla. Instingnya mengatakan kalau Syahilla tidak mungkin dengan sengaja. Melirik ke pangkuan Syahilla, ada kaleng yang menarik perhatian Manda. Reza pun juga ikut mendekat karena penasaran. Manda mengambil kaleng bekas yang didekap Syahilla. Menunjukkan tulisan yang ada di sana kepada Reza. Reza mematung melihat tulisan itu. “Apa maksud tulisan ini, Syahilla?” tanya Manda. “Di tulisan itu terselip doa, bahwa nantiya aku bisa menaikkan haji kedua orangtua ku serta membangunkan rumah untuk mereka,” ujar Syahilla. “Hatimu mulia sekali, Nak!” puji Manda. “Tidak, Bu. Kalau hatiku mulia, aku tidak akan pergi dari rumah hanya karena ucapan ibuku.” “Kamu pergi dari rumah? Kenapa?” tanya manda kaget. Syahilla menceritakan duduk perkaranya dengan jujur. Dia tidak bermaksud untuk mengumbar aibnya dan aib ibunya sendiri demi dikasihani. Syahilla hanya ingin bercerita, karena dia sudah menganggap Bu Manda adalah ibunya sendiri. Manda memeluk tubuh Syahilla dengan erat. Syahilla membalas pelukan Bu Manda tanpa rasa canggung. Dan dengan tidak berdosanya Darel malah bertepuk tangan girang, membuat Reza langsung menepuk bahu anak itu. Darel mendengus sembari mengusap bahunya. Sudah dua kali bahunya ternistakan oleh Reza. “Kak, jangan tepuk-tepuk. Sakit tau!” ujar Darel. “Jadi laki-laki harus strong, jangan lenjeh begini,” jawab Reza. Darel hanya mencibir. “Kak, itu Namanya kak Syahilla. Dia yang aku ceritakan tadi sama mama. Cantik kan? Kalau aku sudah gede, aku mau jadi suaminya,” bisik Darel terkikik geli. “Enak aja jadi suaminya. Masih kecil sok-sokkan banget,” serobot Reza mendelik. Dia saja yang sudah dewasa belum kepikiran untuk menikah, malah anak kecil sudah mau mencuri start. “Reza, kita cari kontrakan untuk Syahilla!” ajak Manda. “Bu, tidak perlu. Saya bisa sendiri,” cegah Syahilla. “Syahilla, ngikut apa kata ibu, ya. Ibu gak tega kalau kamu luntang-lantung sendirian. Kamu perempuan, bahaya,” ucap Manda menarik Syahilla untuk berdiri. Reza menatap wajah Syahilla lekat-lekat, sekali pun Syahilla tidak menatapnya. Apa Syahilla tidak tau kalau ada laki-laki tampan di dekatnya? Karena penasaran, Reza mendekatkan wajahnya ke wajah Syahilla. Syahilla hanya mengerjap tanpa merespon. “Ma, apa dia gak kenal sama penyanyi terkenal sepertiku?” tanya Reza berbisik. “Hust! Ini bukan waktu yang tepat menanggapi kepercayaan dirimu yang tinggi itu!” tegur Manda. Manda menuntun Syahilla untuk keluar masjid. “Kak, dia tidak bisa melihat dengan jelas,” bisik Darel. “Tidak mungkin, tadi dia seperti membaca kitab suci.” “Kakak hanya fokus sama wajahnya, tapi tidak dengan tangannya,” jawab Darel. Reza menatap punggung Syahilla yang menjauh bersama mamanya. Iya, dia hanya fokus pada wajah wanita itu yang sangat memukau. Dan bagaimana bisa tadi saat pertama kali wanita itu datang, dia tidak sadar kaau cara berjalannya tertatih-tatih. “Wajah itu sudah berhasil mengalihkan tatapanku.” Bisik Reza pada dirinya sendiri.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD