2. Berikan kekuatan

1824 Words
“Reza … Reza … Reza ….” Teriakan menggema dari gadis berbagai usia memenuhi studio luas yang sedang ada penampilan dari salah satu musisi tanah air, Reza. Laki-laki berusia hampir kepala tiga itu selalu menjadi best musisi dengan lagu-lagunya yang sangat indah. Orang yang menghayati lagu Reza, sudah pasti akan menilai kalau Reza adalah orang yang religius. Namun, kenyataannya sangat berbanding terbalik. Reza tidak menganut kepercayaan apapun. Reza lahir dari rahim ibu yang menganut agama Islam, tapi minimnya pengetahuan agama yang diajarkan ibunya, membuat Reza tidak mengerti apa itu Islam yang sebenarnya. Jadilah dia besar tidak menganut agama apa-apa. Namun sebenarnya, Reza sedang mencari. Mencari jati dirinya dan mencari siapa Tuhannya. Lagu-lagu yang Reza ciptakan hampir seratus persen terinspirasi dari tata surya, bulan, bintang, matahari, Reza mengagumi itu, dan Reza percaya kalau itu tidak akan ada tanpa ada yang menciptakan.  Reza turun dari panggung dan langsung disambut teriakan ricuh. Para Fans ingin menyapa langsung sekaligus berjabat tangan. Reza yang merupakan musisi ramah, juga menjabat tangan mereka tak kalah senang. Bahkan senyum manis pria itu terus terusung. Bersama fans, dia merasa mempunyai segalanya. Harta, tahta, kedudukan, juga wanita. Reza punya itu semua, tapi saat dia kembali ke rumah, dia merasakan hatinya sangat hampa. Saat di depan kamera, Reza sosok yang dinilai sangat luar biasa, dan dia sendiri pun mengakuinya. Namun, saat di rumah, Reza merasa kalau dirinya adalah orang yang harusnya dikasihani. Laki-laki yang mempunyai nama besar itu, nyatanya hanya laki-laki lemah yang sangat menyedihkan. Setiap saat dia menerka, apa yang membuat hatinya sangat hampa. Reza meninggalkan para fans-nya saat dirasa cukup. Pria itu juga langsung digiring untuk segera pergi. Hari ini, jadwalnya Reza untuk berkunjung di salah satu sekolah khusus anak d*********s. Tentunya tanpa kamera yang mengikutinya. Reza paling tidak suka saat kamera terus menyorot kehidupan pribadinya. Prinsip hidup pria itu, kenali dan kagumi karyaku, jangan aku. “Yang, gimana perfome-nya? Lancar, kan?” tanya Audi saat Reza masuk ke ruang rias. “Lancar dong, sayang!” jawab Reza mencium pipi pacarnya. Reza sangat menyayangi Audi karena Audi yang selalu menemaninya saat ada kerjaan. “Hari ini mau ke mana lagi?” “Ke sekolah anak.” “Yang, aku ikut, ya!” ucap Audi sembari tersenyum manis. “Ayo, sayang!” ajak Reza merangkul bahu Audi. Audi adalah perempuan beruntung yang bisa menjadi pacar Reza. Sebenarnya, dulu Reza dijodohkan oleh mamanya dengan Audi. Karena Audi orang yang cerdas, Reza pun merasa nyaman karena setiap ada pembicaraan selalu nyambung. Audi bukan dari kalangan artis atau musisi, tapi dia sudah dikenal karena berpacaran dengan Reza dan membuat patah hati serta rasa iri para kaum hawa. “Setelah dari sekolah, kita ke club malam, yah!” ajak Audi dengan senyum manisnya. “Kamu mau minum lagi, ya?” tanya Reza mengerutkan alisnya. Sebenarnya, dia tidak suka gadis pemabuk. “Enggak. Lagi ada pesta ulang tahun teman.” “Gak usah ke sana, ujung-ujungnya pasti mabuk.” “Yang, aku udah nemenin kamu masak ganti kamu yang harusnya nemenin aku aja gak mau.” ujar Audi dengan sebal. “Okey, aku pikirkan.” jawab Reza akhirnya. Setelah perjalanan yang memakan waktu kurang lebih satu jam, mereka sampai di Sekolah Ar-rahman. Baru pertama kali Reza ke sekolah ini. Dia dapat info dari managernya kalau sekolah ini sangat memerlukan biaya, karena selain anak-anak yang kekurangan buku, ada bu guru yang tidak mendapat honor apapun. Pendiri sekolah ini pun sudah meninggal, yang ada hanya pengurus aktif dan beberapa relawan guru. “Yang, kok tempatnya kumuh banget.” Komentar Audi saat kakinya memijak di tanah. “Jauh dari Kawasan perkotaan juga. Apalagi di sini dekat pembuangan sampah.” jawab Reza. Reza melihat sekitar. Kawasan ini memang sangat kumuh dan jauh dari pemukiman warga. Dekat tempat pembuangan sampah. Reza memencet hidungnya, tidak habis pikir dengan keadaan yang seperti ini. Ini lah alasan Reza ingin menyalurkan bantuan dan melihat langsung agar tau keadaan yang sesungguhnya. Kalau lewat orang lain, Reza takut uangnya disalah gunakan. “Ayo-ayo kita lempari yang di sana dengan batu!” teriak segerombol anak kecil yang membuat Reza dan Audi menolehkan kepalanya. “Lempari anak-anak cacat itu!” “Lempari pakai batu dan ranting. Mereka anak-anak cupu gak bisa balas kita!” Anak-anak kecil berbondong-bondong melempar batu ke dalam Yayasan yang banyak anak d*********s sedang belajar menggambar. Para anak d*********s itu langsung memberesi bukunya dan berlari menuju kelas. Ada yang naik di kursi roda sedang didorong temannya agar cepat. Ada juga yang jalannya tidak normal langsung dipapah temannya. Reza dan Audi yang melihat itu lantas terkesiap. “Ahahahaha gak bisa lari!” ejek anak-anak dari luar pagar yang seolah puas melihat anak d*********s tersiksa. “Yang!” panggil Audi pelan. “Kita pulang saja. Kita kembali kapan-kapan!” ajak Reza menarik tangan Audi untuk masuk ke mobil. “Yang, tapi kenapa?” tanya Audi bigung. Reza diam. Dia juga tidak mempunyai alasan kenapa dia mengajak balik. Perasaannya sangat sakit saat melihat anak-anak yang normal fisiknya, menganiyaya teman sebayanya yang bahkan harusnya lebih disayangi. Dunia yang dipijak Reza adalah dunia nyaman, beda dengan adik-adik kecil yang tadi dilempari batu. “Aku tidak tega melihat wajah-wajah mereka.” jawab Reza pada akhirnya. Audi menatap kagum Reza. Laki-laki idaman yang pantas diperjuangkan, “Kamu gak salah ke sini, sayang! Adek-adek tadi butuh bantuanmu, semoga rejeki kamu lancar terus biar bisa membantu orang-orang yang membutuhkan.” ucap Audi mengusap bahu pacarnya. Reza tersenyum tipis. Setidaknya walau Audi pemabuk, dia masih mendukungnya. “Audi, kenapa hatiku terasa sangat hampa, ya? Sepertinya ada yang kurang dari ku.” ucap reza. “Apa? Kamu punya segalanya, kok. Apa itu masih kurang? Kalau kamu merasa kurang, kamu cari lagi!” Reza diam. Bukan soal kurang mencari lagi. Namun masalahnya dia tidak tau apa yang kurang. Semua seolah ada pada genggamannya. Mata Reza melirik dashboar berisi minuman alkohol kaleng. Tanpa pikir panjang dia mengambilnya dan menegagnya hingga tandas, hawa panas langsung merayapi tenggorokannya. “Kamu nyuruh aku berhenti minum, kamu sendiri juga minum.” Protes Audi. “Aku butuh tenang, Audi. Aku tidur dulu, kalau sudah sampai bangunkan aku!” ucap Reza menyenderkan kepalanya di sandaran kursi. Untung dia pakai sopir, tak bisa dia bayangkan bagaimana harus menyetir dalam keadaan yang sangat kalut seperti ini. Untuk ukuran orang mudah perasaan seperti Reza, pastilah melihat kejadian yang seperti tadi sangat mengganggu perasaan dan otaknya. Semua manusia sama, kenapa manusia tidak bisa memanusiakan manusia lain. Itu lah yang terus terngiang-ngiang di kepala Reza. Reza memantapkan hatinya, besok dia akan ke sana lagi membawa tukang bangunan dan material, agar bisa membangunkan tembok besar agar tidak ada anak-anak yang mengganggu kenyamanan murid si sekolah d*********s itu. **** “Mbak ini aku ganti seratus ribu boleh gak?” tanya seorang pria kepada Syahilla. Syahilla tengah menjajakan lukisannya di Aloon-aloon kota. Selebihnya ada dua puluh lukisan yang dia bawa. “Tambahin lima puluh ribu lah, mas!” jawab Syahilla seraya tersenyum manis. “Jangan majang senyum lah, mbak. Bikin saya luluh.” ujar mas-mas asing itu. Syahilla hanya memamerkan senyumnya menanggapi godaan, “Yaudah tiga ratus ribu untuk dua lukisan gimana?” “Boleh-boleh. Silahkan milih, mas!” ucap Syahilla ramah. Alhamdulillah, pembeli pertama membeli dua lukisan. “Mau yang gambar abstrak sama yang bunga ini aja, mbak. Pasti ruang tamu saya bagus kalau dikasih lukisan kayak gini.” "Tentu akan bagus dong, mas," jawab Syahilla yakin. Ini lah yang disukai orang-orang dari Syahilla, Syahilla manis dan murah senyum. Syahilla mengikat dua lukisan yang dipilih pria itu dengan tali, agar mudah dibawa. Berapapun rejeki yang Syahilla dapat, gadis itu tak pernah lupa untuk terus bersyukur. Syahilla sampai malam berjualan di aloon-aloon kota, tapi sayang rejekinya memang lagi seret. Syahilla pulang hanya membawa uang tiga ratus ribu, itu pun yang sepuluh ribu minus buat makan nasi pecel. Karena Syahilla yakin kalau nantinya di rumah tidak akan ada sesuap nasi pun yang tersisa. Rasa Lelah dan ingin mengeluh itu pasti ada, tapi Syahilla berpikir ulang bila menyerah dengan hidupnya. Orang tuanya sudah membesarkannya sampai saat ini, tidak mungkin kalau gara-gara dia terdzolimi oleh kakaknya, dia tiba-tiba bunuh diri. Kalau sudah suntuk, Syahilla akan menyumpal telinganya dengan headset yang memutar lagu-lagu kesukaannya, lagu yang dinyanyikan musisi idolanya, Reza. Syahilla memang sangat tergila-gila dengan musisi tampan itu, Kadang, kehaluannya juga menjadi-jadi saat melihat perfome Reza di siaran televisi-nya. Syahilla menyebut Reza sebagai pangeran Disney, karena parasnya yang tampan juga suaranya yang sangat lembut. Syahilla bahkan mempunyai keinginan untuk bertemu musisi idolanya suatu saat nanti. Bulan depan Musisi Idolanya mengadakan konser, dan Syahilla sudah bertekad akan mengumpulkan uang untuk melihat Reza secara live.  Sampai di rumah, sudah pasti uang Syahilla akan dia berikan pada ibunya dan sebagian ia tabung. Syahilla belum pernah merasakan rasanya main Bersama teman-temannya, nongkrong di café, ataupun pergi ke tempat wisata untuk liburan. Karena gadis itu sibuk mencari uang demi menyukupi kebutuhan dapur dan tabungan. Ingin hati menyisahkan sedikit uangnya untuk merawat wajah, tapi selalu tidak bisa. Untuk membeli bedak saja, Syahilla harus berpikir ribuan kali, takut kalau besok tidak ada lukisan yang terjual dan membuatnya tak punya uang. “Katanya cari duit, mana?” teriak Narenda saat Syahilla baru masuk rumah. Syahilla tidak menanggapi, perempuan itu meletakkan lukisan-lukisannya di lantai. “Kamu kenapa sih pakai acara resign dari kerjaan? Udah berasa kaya kamu?” sentak Narenda lagi. “Kenapa sih kakak ngurursin hidupku? Kalau kakak kekurangan uang, silahkan kerja sendiri. Jangan aku terus yang kakak tuntut!” Plakkk! Syahilla mengepalkan tangannya erat. Ini lah yang paling dibenci dari kakaknya, kakaknya selalu main tangan saat dia membantah. Bisa saja dia membalas, tapi sudah pasti ibunya akan memarahinya. Dia yang menjadi korban, tapi kakaknya yang merasa terdzolimi. “Jadi cewek jangan munafik! Kerja udah bagus dapat uang banyak malah jadi pelukis yang bahkan gak ada uangnya sama sekali. Kamu bisa apa selain itu, hah?” teriak Narenda melempar cat kaleng ke arah adiknya. “Akhhhh ….” Pekik Syahilla memegangi matanya yang terkena cat. “Ayah tolong!” ringis Syahilla yang merasakan perih teramat sangat. "Gak usah manja gitu aja nangis!" "Ayah tolong! mataku sakit!" teriak Syahilla kencang berharap orang tuanya akan datang menolong.. Para tetangga yang mendengar teriakan Syahilla berbondong-bondong untuk melihat. Mereka kaget saat mendapati Syahilla yang jatuh ke lantai dengan memegangi matanya. Belum lagi cat yang berceceran di mana-mana. Sedangkan Narenda sang penyebab kegaduhan, langsung melenggang pergi. “Innalillahi, ayo kita bawa ke rumah sakit!” ucap salah seorang warga. Mereka mengangguk dan membopong tubuh Syahilla. Untung saja Syahilla mempunyai tetangga yang rata-rata baik. Mungkin hanya beberapa yang agak judes dan sinis. Syahilla terus berdzikir di sepanjang jalan.Matanya memang sakit, tapi lebih sakit lagi hatinya. Diperlakukan seperti anak tiri di keluarganya sendiri. Kenapa kakaknya sangat tega melukainya. Kemunginan buruk berseliweran di benak Syahilla. Syahilla takut kalau matanya kenapa-napa. Yang membuat hati Syahilla nelangsa, kemana ibu dan ayahnya. Apa mungkin kalau mereka di kamar tapi tidak mendengar teriakannya? Dan kakaknya malah langsung kabur begitu saja. Tangan kiri Syahilla meremas dadanya yang teramat nyeri. “Tuhan, berikan aku kekuatan untuk menjalani hidup ini," 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD