bc

DOMPET SUAMIKU

book_age16+
1.5K
FOLLOW
6.0K
READ
love-triangle
family
HE
arranged marriage
arrogant
kickass heroine
drama
bxg
secrets
like
intro-logo
Blurb

Cahaya yang telah hampir dua tahun hidup berumah tangga bersama Bintang belum pernah sekali pun menyentuh barang pribadi suaminya itu termasuk dompet. Hal yang aneh untuk sebuah hubungan suami-istri. Bintang melarang Cahaya menyentuh benda pribadinya seperti dompet, ponsel, bahkan pakaiannya dengan alasan risih kalau barang pribadinya disentuh orang lain meskipun itu istrinya sendiri. Apalagi dulu mereka menikah karena dijodohkan. Ditambah Bintang meyakinkan Cahaya kalau ibunya pun tak pernah menyentuh barangnya tersebut membuat Cahaya percaya begitu saja alasan tak logis Bintang. Hingga suatu hari salah satu benda terlarang itu tertinggal. Dompet yang selalu dibawa serta Bintang saat pergi ke kantor ternyata tertinggal di dalam kamar tepat di saat Cahaya butuh uang untuk belanja buat makan siang mereka. Dengan alasan meminjam sebentar, Cahaya memberanikan diri membuka dompet suaminya, dan hal mengejutkan pun terjadi

chap-preview
Free preview
Dompet yang Tertinggal
"Astaghfirullah, aku kesiangan." Segera bergegas bangun beranjak dari tempat tidur setelah melihat jam digital menunjukkan pukul 07.00. Mas Bintang sudah tak terlihat di sebelahku. Sepertinya dia sudah bangun, tapi kenapa tidak membangunkanku? "Mas, kok tidak bangunkanku?" Kulihat suamiku itu masuk ke dalam kamar sudah rapi mengenakan pakaian kerjanya. Dia mengambil tas kerja yang berada di atas meja. "Kamu tidurnya lelap, aku tak enak bangunkan," ujarnya terlihat sangat datar seperti bicara sama orang lain saja. Begitulah sikapnya selama menikah denganku. Dingin. Lalu suamiku itu berjalan menuju pintu untuk keluar. Aku menghela napas berat. Sampai kapan hubungan kami terlihat kaku begini? "Mas, tunggu! Tidak sarapan?" Aku mencegahnya pergi. Mas Bintang menoleh seraya menatap arlojinya. "Di kantor saja. Lagipula kamu belum masak. Aku takut telat." Astaga! Gara-gara kesiangan suami jadi tidak sempat sarapan. "Iya, maaf Mas," balasku dengan suara lirih. "Aku pinjam motormu lagi, ya? Motorku masih di bengkel. Nggak papa kan?" Dengan cepat aku menggeleng. "Iya pakai saja Mas, aku juga jarang pergi," Jawabku dengan mengulas senyum tipis padanya. Namun laki-laki itu hanya menatapku sekilas, tak terlihat jua menaikan kedua sudut bibirnya ke atas. "Aku pergi. Nanti malam tak perlu menungguku lagi. Aku selalu bawa kunci kok," ucapnya sebelum beranjak pergi. "I–iya." Tak bisa membantah, walaupun sebenarnya aku ingin bilang, "tak apa Mas, aku suka kok menunggumu." Namun sayang kalimat itu hanya sampai di tenggorokan, tapi mampu terucap lewat bibir. Laki-laki berkemeja warna putih itu sudah keburu pergi. *** "Yur ... sayur ...! Ibu ... Ibu ... sayur ...! sayur segar baru dipetik dijamin fresh, ada ikannya juga." Sayup jauh kudengar Abang tukang sayur sedang teriak menawarkan dagangannya. "Bu Aya!" "Bu Aya, ada Bang Wiro, mau belanja nggak? Tuh Abang sayurnya sudah di depan rumah Bu Hani, bentar lagi katanya mau pergi!" Seru Bu Tuti berteriak memanggilku. Bu Tuti adalah tetangga sebelah rumah. Benar, ternyata pendengaranku tidak salah. Ada Bang Wiro. Sayangnya masih jauh. Masih di depan kompleks. Cukup jauh kalau harus ke sana hanya dengan jalan kaki. Rasanya enggan berjalan di tengah matahari yang sudah naik dan membiaskan sinarnya di hari yang sudah tidak pagi lagi. Aku capek karena baru saja selesai membersihkan rumah. Sedang motor dibawa Mas Bintang ke kantor. Aku turun tergesa-gesa dari lantai dua rumahku untuk menemui Bu Tuti. Hari ini rencananya ingin membeli satu kilo ayam kampung dan dua ikat sayur kangkung pada Abang Sayur, tidak lupa tahu-tempe sebagai tambahannya. Makanan kesukaan Mas Bintang. Tidak biasanya kesiangan seperti ini. Pukul 10 pagi, aku baru selesai membersihkan rumah. biasanya selesai lebih awal, dan bahkan seharusnya aku sudah bisa duduk santai menunggu kedatangan Abang sayur. Di lantai bawah aku grasak-grusuk mencari keberadaan dompet panjangku. Dompet khusus mengatur belanja harian tiap bulannya. Namun tidak ada, entah dimana tangan ini meletakkannya. Sedangkan hati mulai takut Abang sayurnya keburu pergi. Kuputuskan menemui Bu Tuti, memenuhi panggilannya. "Iya Bu, saya belanja, tapi kok tumben jam segini Abang sayurnya masih di sana?" jawabku sambil membuka pintu pagar dimana Bu Tuti masih berdiri di sana. Mataku mencoba mencari keberadaan Abang sayur yang ternyata memang benar masih di depan kompleks sana, dan berharap ia akan berjalan menuju kemari biar aku tidak kejauhan mendatanginya. "Nggak katanya. Bang Wiro-nya mau langsung balik, ada urusan mendadak, tadi bininya telpon, Bang Wiro kayak panik gitu, entah apa. Kita juga nggak tahu. Pas kami tanya, Bang Wiro nggak mau cerita. Nggak papa katanya. Tapi kamu tenang saja, tadi aku sudah nyuruh dia buat nunggu kamu sebentar di depan rumah Bu Hani, siapa tahu kamu mau belanja, cus cepatan sana, keburu pergi!" jelas Bu Tuti menoleh jauh ke arah rumah Bu Hani di depan kompleks memintaku segera pergi. "Oh begitu, Bu. Terima kasih ya, kalau begitu saya cari dompet dulu bentar," ujarku berlalu masuk kembali ke dalam rumah dengan berlari. "Jangan lama-lama, ntar ditinggal!" Terdengar teriakan Bu Tuti mengingatkan. Mendengarnya, aku cepat-cepat naik ke lantai dua menuju kamar. Siapa tahu benda itu ternyata di sana. Dengan napas terengah naik ke lantai atas sambil menyisiri tiap sudut kamar. Namun belum kutemukan keberadaannya. Aneh, seharusnya ada di kamar ini. Namun saat netraku menatap atas nakas ada yang menarik di sana. Ada dompet. Namun, itu bukan milikku melainkan milik Mas Bintang. Sepertinya dia meninggalkan dompetnya. Mungkin tidak sengaja tertinggal karena sebelumnya tidak pernah ketinggalan. Dompet itu sudah berpindah ke tanganku. Batinku bergejolak antara ingin membuka atau meletakkan kembali ke tempatnya. Kuputuskan membuka dan meminjam uangnya dulu, nanti setelah dompetku ketemu, baru kuganti dengan diam-diam. Mas Bintang tidak akan tahu. Daripada ditinggal Abang sayur, bakal tidak bisa makan siang, karena tidak ada lauk dan bahannya. Aku gugup melakukannya karena selama ini tidak pernah menyentuh atau lebih tepatnya membuka barang pribadinya Mas Bintang, termasuk dompet tersebut. Itu perjanjian kami di awal pernikahan. Bukan aku yang meminta perjanjian itu, tapi itu keinginan Mas Bintang. Katanya risih kalau barangnya disentuh orang lain, walaupun itu istrinya sendiri. Dia minta waktu untuk membiasakan diri, meski itu sudah lebih dari setahun. Ternyata jarak itu masih ada. Mataku langsung tertuju ke slot ruang tempat penyimpanan uang. Ada beberapa lembar uang seratus ribu dan Lima puluh ribu. Kuambil satu lembaran seratus ribu. Lalu dompetnya kututup kembali, kuletakkan di tempatnya. Namun baru saja meletakkannya, hatiku tergelitik. Aku menatap dompet Mas Bintang sekali lagi dengan kening mengernyit. Lalu tanganku refleks membukanya kembali. Ini dia. Ada warna putih menyembul di selipan slot kecil berjejer kartu-kartu di bagian sampingnya. Entah kenapa aku penasaran dengan hal itu. Sepertinya itu pas foto ukuran kecil, tapi arahnya menghadap terbalik. Jadi aku tidak bisa melihat apa dan siapa dibalik foto tersebut kalau tidak mengambilnya. Kupikir itu foto Mas Bintang waktu kecil atau pas foto zaman sekolahnya dulu. "Pasti lucu," pikirku seraya tersenyum mengingat foto jadul selalu lucu untuk diamati. Wajah polos dan culun Mas Bintang sudah terpatri di benakku. Namun tiba-tiba seulas senyum yang sempat terbit di bibirku ini lenyap seketika setelah melihat siapa yang berada di balik foto tersebut. Bukan foto Mas Bintang, melainkan ….

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

My Secret Little Wife

read
95.5K
bc

Siap, Mas Bos!

read
12.4K
bc

Tentang Cinta Kita

read
189.3K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
204.4K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.4K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook