Ibu Mertua Baik

1030 Words
"Biar Aya antar Ibu ke kamar ya, buat istirahat," ujarku sambil mendorong kursi roda Ibu untuk menuju ke kamarnya. Aku sedang berusaha membuatnya percaya kalau aku baik-baik saja. Satu-satunya cara adalah menghindari Ibu dulu sampai perasaanku tenang. "Jangan Ya, Ibu mau duduk disana saja," jawab Ibu dengan netra mengarah ke ruang dapur dimana ada meja makan dan kursinya dimana tempat biasa kami makan. "Apa Ibu mau kubuatkan makanan? Ibu lapar?" tanyaku antusias sambil mengarahkan kursi roda Ibu menuju dapur. Ibu menggeleng. "Ibu masih kenyang. Sarapan yang kamu buat masih terasa di kerongkongan Ibu. Nanti saja Ibu makannya. Kalau kamu mau, makan siangnya pesan saja, kan sudah banyak jasa order makanan, nggak perlu repot mikirin makan siang, Ya," ucapnya lagi memberi saran. "Oh, I--iya. Ibu mau pesan apa? Biar nanti Aya pesankan sekalian," tawarku pada wanita paruh baya yang sudah kuanggap seperti ibu sendiri. Ibu tersenyum. "Ibu mau makan lauk pagi tadi saja, masih ada kan? Nggak usah pedulikan Ibu. Kamu urus diri kamu sendiri, kalau ada yang diinginkan, bilang, atau beli saja, jangan dipendam, nggak usah ditahan. Manjakan dirimu Ya, kamu menantu Ibu disini, berhak bahagia, kamu itu bukan pembantu, Ya." Terheran kenapa Ibu bisa bicara seperti itu seolah sedang menenangkanku. Perkataan Ibu barusan membuat mataku berkaca-kaca. Selama ini Ibu memang sangat baik, aku merasa seperti memiliki ibu sendiri. Ibu sangat menyayangiku layaknya anak kandungnya. Beliau memang selalu mengatakan begitu. Mungkin karena dia hanya memiliki anak tunggal dan laki-laki, yaitu Mas Bintang, jadi saat mendapatkanku sebagai menantunya, Ibu selalu menunjukan kasih sayangnya itu padaku. Bahkan terkesan berlebihan karena Ibu lebih memperhatikanku dibandingkan anaknya sendiri, Mas Bintang. "Iya Bu, kalau ada yang Aya mau, nanti Aya beli kok, terimakasih Bu sudah baik sama Aya. Aya bersyukur memiliki Ibu mertua seperti Ibu," ucapku padanya seraya menggenggam kedua tangannya. Kulihat Ibu malah meneteskan air mata. Aku jadi merasa bersalah telah membuatnya menangis. "Kok Ibu menangis, maafin Aya, ya Bu. Aya salah bicara ya?" Kugenggam tangannya dan mencium takzim karena merasa bersalah. Ibu menggelengkan kepala. "Kenapa Aya minta maaf? Nggak tahu nih air mata jatuh dengan sendirinya, mungkin Ibu baperan ya," selorohnya sambil tertawa kecil. Aku ikut tersenyum melihatnya. "Bintang masih sering pulang malam, Ya?" tanyanya sembari menatapku lekat. Ia mengalihkan pembicaraan ke hal lain. Namun tetap saja menyesakkan karena berhubungan dengan nama Bintang. Yang sekarang membuatku menangis adalah dia. Aku mengangguk membenarkan. "Iya, Mas Bintang katanya lembur Bu, banyak kerjaan. Pulangnya juga larut malam, kasihan ya, Bu. Semalam Aya malah tidur duluan, tepatnya ketiduran, Bu, tidak sengaja," ujarku menjelaskan kepada Ibu karena ada sedikit rasa bersalah pada anaknya. Sudah lelah bekerja, istrinya malah ketiduran. Syukurlah suamiku itu bawa kunci sendiri, kunci cadangan rumah ini jadi tidak perlu repot membangunkanku kalau ketiduran. " Ya kamu proteslah, bilang jangan lembur. Kalau bisa bawa saja kerjaannya ke rumah. Jangan diam terus Ya, nanti begitu terus Bintangnya. Istri di rumah masa diangguri, gimana mau punya anak," sewot Ibu dengan muka kesalnya. Namun aku tahu itu bukan untukku. Aku hanya tersenyum menanggapi kekesalan Ibu. Apa yang dikatakan Ibu memang benar. Tapi, aku tak berani melarangnya seperti yang Ibu inginkan. Mas Bintang sangat irit bicara bila denganku. Hanya seperlunya saja. Dia juga bukan suami yang romantis, yang bisa bilang cinta, atau sayang setiap hari dan aku pun malu untuk memulai lebih dulu. Lagipula bagaimana kami mau romantisan, Mas Bintang berangkat ke kantor pagi sekali, katanya takut macet. Siang tidak pulang, katanya mepet waktunya kalau harus makan siang di rumah. Aku juga sering menawarinya bekal makan siang buat dibawa ke kantor, tapi selalu ditolak, padahal kata Ibu masakanku enak. Dan kalau malam, pulangnya diatas jam sebelas malam. Aku bahkan yang berniat ingin menunggunya malah bisa tertidur lebih dulu. "Ya, kamu dengar?" "Hah?" Tatapan Ibu mengarah ke atas. Refleks aku mengikutinya. "I--itu seperti bunyi telepon? Iya kan? Jangan-jangan ponsel kamu Ya, yang bunyi?" tebak Ibu sambil sedikit memiringkan kepala mendongak ke arah atas seolah menajamkan pendengarannya ke sumber suara tersebut. Akupun mengikuti gerak Ibu. "Dari atas Bu, bunyinya. Kayaknya memang ponsel Aya yang bunyi. Aya keatas dulu Bu, sebentar," pintaku ingin berlalu pergi setelah izin dulu dengannya. Ibu mengangguk mengizinkan. Dengan cepat langkah ini berjalan ke lantai atas memastikan bunyi dering tersebut. *** "Mas Bintang," gumamku saat melihat nama yang tertera di layar ponsel. "Halo, assalamualaikum," sapaku lebih dulu mencoba mengendalikan napas yang terengah. "Wa alaikummussalam. Aya, dompet Mas tertinggal di rumah ya?" tanyanya tanpa basa-basi meski terdengar ragu di nada suaranya. "Iya, Mas. Tuh, ada diatas nakas, tertinggal." Mataku melirik sebentar ke arah nakas. "Mas terlalu buru-buru mungkin sampai kelupaan," Imbuhku mencebik. "Oh, syukurlah, hm ..., Kamu nggak buka isinya kan?" Degh. Sekarang malah dadaku yang berdegup kencang. Mas Bintang menanyakan hal tersebut apa instingnya kuat ya kalau aku sudah membukanya? Kok bisa tepat begitu? Atau jangan-jangan ada sesuatu yang disembunyikannya dan tidak ingin aku tahu makanya bertanya seperti itu.Terutama tentang foto itu. Jujur aku sangat penasaran dibuatnya. Tahan, kendalikan dirimu, Ya. Jangan sampai kamu terpancing untuk menjawab sewot. Kamu tidak boleh menampakan kecemburuanmu padanya. " Mas ini, takut amat kubuka dompetnya, jadi penasaran, memang isi uangnya banyak ya Mas? takut kuminta ya? makanya nggak dibolehi aku intip," selorohku berpura-pura bercanda menggodanya agar dia tak curiga. Padahal dalam hati sudah ketar-ketir ketakutan. Keringat sudah membasahi bagian kepala. "Eh, bukan begitu. Ehm, Ya, kamu ada yang mau dibeli? Bilang saja, nanti uangnya langsung Mas transfer biar cepat. Di dompet itu uangnya nggak banyak kok. Hm, anu ... Mas pernah bilang kan kalau Mas nggak terbiasa barang pribadi mas disentuh orang lain, Ibu juga nggak pernah Mas ijinkan buat nyentuh. Cuma itu, sudah jadi kebiasaan saja dari dulu, maaf ya, " ujarnya memberikan penjelasan. "Iya Mas, Aya ngerti kok. Tenang aja, dompet Mas aman kok. Itu aja Mas? Aya mau masak dulu," sahutku dengan berbohong ingin segera menyudahi obrolan tentang dompet. "Iya, itu aja, maaf ganggu kamu masak, Ibu gimana? Baik kan? Nanti malam Mas usahakan pulang cepat." "Ibu baik Mas, sudah ya Mas, assalamualaikum," ucapku mematikan sambungan dengan cepat. Tak peduli kalau ia tersinggung. Aku tak berniat menunggu jawabannya lagi. Aku hanya ingin menenangkan hatiku yang merasa sakit saat dibilang masih orang lain di hidupnya. Apa itu artinya namaku belum ada dihatinya sampai saat ini? Lalu sampai kapan aku harus menunggu?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD