Itu Bukan Fotoku

1169 Words
Foto orang lain. Di ujung tepi foto tersebut terdapat tulisan angka yang terdiri dari tanggal, bulan dan tahun. Seperti menunjukkan kapan gambar itu diambil. Itu awal yang membuatku penasaran ingin mengambilnya. Kukira itu pas foto waktu kecilnya Mas Bintang, ternyata bukan. Dahiku berkerut banyak mengamati foto yang wajahnya tidak kukenal sama sekali. Tampak potret dua orang tercetak di sana. Satu, gambar seorang perempuan cantik, dewasa, dan satunya lagi anak kecil yang sedang digendongnya dalam pangkuan dan anak kecil itu terlihat masih bayi. Tampak dari tangan mungilnya yang digenggam perempuan tersebut dan warna kulitnya yang masih kemerahan. Senyum wanita itu merekah sempurna saat di potret, tampak kebahagiaan memancar di wajahnya. Namun aku tidak mengenalnya, dan kenapa foto itu ada di dalam dompet Suamiku? Dia siapa? Pasti seseorang yang sangat penting di hidupnya. Sayangnya sosok itu bukan aku. Hatiku tiba-tiba sesak. Mata ikutan memanas. Aku sampai menghela napas panjang berulang kali untuk menetralisir Kegundahanku. Kubuka slot yang lainnya di dalam dompet tersebut, mencari tahu apakah terdapat foto lainnya selain yang barusan kulihat. Bisa jadi Mas Bintang suka mengoleksi foto-foto lama. Namun sudah kusisir, sayangnya tidak ada, hanya foto itu saja. Bahkan foto Mas Bintang, sang pemilik dompet pun tidak ada di sana, apalagi fotoku, sepertinya mustahil. Sekejap hatiku nyeri kembali, dan mulai meragu padanya. Walau bukan zamannya lagi menyimpan foto di dalam dompet, tapi adanya foto yang sengaja disimpan di sana menjadi bukti bahwa orang tersebut adalah orang yang sangat berarti baginya. Bukan orang sembarangan yang fotonya disimpan tanpa alasan yang jelas. Lalu bagaimana denganku? Apakah aku tidak berarti di hidupnya hingga dia tidak menyimpan fotoku disana? Wajar bukan kalau aku cemburu pada foto wanita tersebut! Kucoba berprasangka baik dan menduga kalau itu adalah foto salah satu keluarga yang tidak sengaja masih tersimpan baik di sana. Bisa jadi itu foto Ibu mertua pada waktu muda. Namun anehnya logikaku berpikir sebaliknya. Benakku membantah keras. Wanita di dalam foto tersebut jelas sekali tidak ada mirip-miripnya dengan Ibu mertua. Garis wajah ibu mertua berbeda dengan wanita muda di dalam foto tersebut. Apalagi faktanya foto itu tak tampak seperti foto jadul yang biasanya akan buram, kusam, dan rusak termakan zaman. Foto ini berbeda. Dia sangat jernih dan jelas, dan masih bagus juga. Lembaran foto itu masih terlihat baru. Ditambah sosok wanita dalam foto itu sangat cantik, sama cantiknya dengan bayi yang ada dalam gendongannya. Membuat hatiku seketika mencelos. Melihat bayi tersebut, refleks tangan ini mengelus ke bagian perut. "Kapan aku diberi amanah olehMu ya Allah," gumamku pelan bersuara lirih. Sesak mengingat sampai sekarang belum dipercaya untuk memiliki anak. Kesehatan reproduksiku dan Mas Bintang baik-baik saja. kami seharusnya bisa mempunyai anak, tapi sepertinya Tuhan belum mengizinkan, hingga membuat suasana rumah tanggaku bersama Mas Bintang makin suram. Namun syukurnya Mas Bintang seolah tak terusik, dia baik-baik saja meskipun menuju dua tahun pernikahan kami, anak belum juga menghiasi rumah nyaman ini. Kembali aku tersadar dari lamunan sesaat dan mencoba fokus membaca angka yang tertera di foto tersebut. Kalau dihitung dengan tahun sekarang, itu artinya hampir setahun setengah jaraknya. Apa maksud dari tanggal tersebut? Benakku menduga-duga, tapi arahnya ke hal negatif. Pikiran-pikiran buruk sudah merayap memenuhi otakku. Keraguan pada Mas Bintang menyeruak keras setelah menemukan foto tersebut. Ya Allah, kenapa hati ini tidak nyaman. Perasaanku gundah memikirkannya. Haruskah kutanyakan pada Mas Bintang? Bagaimana kalau bukan penjelasan yang kuterima, tetapi kemarahannya karena dengan lancang membuka dompetnya. Namun kalau tidak kutanyakan, maka hatiku yang tidak karuan rasa dan tak tenang. Jadi dilema. Foto tersebut kuselipkan kembali ketempat asalnya. Uang yang sudah berada di dalam genggaman tanganku juga kumasukan kembali kedalam slot dompet tersebut. Urung hatiku untuk mengambilnya. Perasaanku sudah buruk, tak ada semangat lagi untuk mengejar Abang sayur dan membeli dagangannya. Bisa kupastikan abang sayurnya juga sudah pergi karena kelamaan menungguku yang terhenti gara-gara memikirkan foto orang asing tersebut. Kutapaki anak tangga menuju ke bawah dengan langkah gontai. lalu kaki berhenti di anak tangga terakhir dan aku duduk disana. Menyandarkan kepalaku di pegangannya. Tidak terasa air mata menetes dengan pelan membasahi kedua pipi. Aku masih kepikiran soal foto itu dan kemungkinan terburuk mengenai hubungan yang di dalam foto itu dengan suamiku. "Aya ...." Aku tersentak kaget. Terdengar ada yang memanggilku. Aku menoleh ke asal suara. "Aya, itu kamu Nak?" tanya ibu mertuaku yang tiba-tiba datang menghampiri dengan kursi rodanya. "Hm," Jawabku berdeham tak mampu bicara. Cepat-cepat segera kuusap jejak air mata di wajah dan segera bangkit dari duduk. "Ada apa, Bu? Ada yang Ibu perlukan? Biar Aya ambilkan!" sigap aku bertanya pada Ibu mertua. Seulas senyum kupaksakan terbit menutupi mendung di wajah. Tak ada jawaban. Ibu menatapku lekat seperti ada yang dipikirkannya. Aku mencoba menghindari tatapannya. "Ibu kira kamu masih di tempat Abang sayur, ini ... Dompetmu ketinggalan," ucap Ibu dengan menyodorkan dompet yang sedari tadi belum kutemukan keberadaannya. "Astaga ..., dicari-cari malah ditemukan Ibu. Ketemu di mana Bu? Aya sudah cari kemana-mana, tapi nggak ketemu," balasku menyambar dompet tersebut darinya. "Di kamar Ibu, ya?" tebakku karena tiba-tiba teringat aktivitasku yang sering ke kamarnya. Ada kemungkinan dompet ini ada di sana karena hanya tempat itu saja yang belum kudatangi. Ibu mengangguk membenarkan dan masih menatapku seperti tadi. Senyumnya terkembang tipis. "Iya, kamu meninggalkannya saat membawakan sarapan pagi Ibu ke kamar. Ibu juga baru lihat, makanya cepat-cepat mau ke depan siapa tahu kamu belum jauh perginya. Soalnya Ibu dengar Bu Tuti teriak manggil kamu, Nak. Pasti kamu butuh dompet ini." "Ya Allah. Nggak perlu, Bu. Ibu nggak perlu bersusah payah mengantarkannya, nanti Aya bisa ambil sendiri. 'kan Ibu bisa panggil Aya dari kamar Ibu, nggak usah repot begini," ucapku tak enak hati. Sisi hatiku pilu mengingat Ibu hanya menggunakan kursi roda itu membantunya berjalan pasti akan menyusahkannya harus mondar-mandir mendatangiku demi dompet ini. Namun Ibu hanya membalasnya dengan tersenyum lagi kepadaku. "Jadi kamu belum belanja, Ya? Dari tadi kamu Masih mencari dompet ini?" Tampak Ibu geleng-geleng kepala menanggapi kecerobohanku. "E--e ..., iya Bu, maaf," jawabku dengan menunduk merasa bersalah. Malu juga jadi campur aduk. Mana tadi habis menangis untuk hal yang belum jelas. "Aya, kok wajahmu begitu. Kayak lagi sedih. Ibu nggak marah kok, Nak. Kamu nggak belanja dan nggak masak pun Ibu nggak masalah." Malah giliran Ibu yang salah paham. Aku segera menggeleng membantah dugaannya. "Nggak Bu, nggak kok, Aya baik-baik saja," jawabku menepis kerisauannya. "Yakin baik-baik saja? Kok, Ibu lihatnya beda." Kembali Ibu menelisik wajahku. Mau memalingkan wajah malah nampak sekali aku mencoba mengelak. "Aya baik-baik saja, Bu," imbuhku mencoba meyakinkannya. "Nggak! Kamu bohong Nak. Ibu tahu ada sesuatu yang berubah darimu. Kamu kenapa? Nggak seperti biasanya. Ada masalah sama Bintang? Cerita sama Ibu," paksa Ibu dengan tebakannya yang tepat sembari mengusap bahuku lembut. "Nggak Bu, Aya baik-baik saja," ulangku lagi menyunggingkan senyum. Aku tidak ingin Ibu tahu tentang kegundahanku, itu hanya akan membebaninya dan membuatnya jatuh sakit. Ibu mertuaku ini gampang sakit kalau banyak pikiran, itu yang dikatakan dokter. Biar masalah ini kuselesaikan sendiri. Aku hanya harus bertanya kepada Mas Bintang tentang foto itu, harus! Apapun jawabannya nanti dan bagaimanapun kemarahannya kepadaku akan kuterima sebagai konsekuensi atas kelancanganku membuka dompetnya. Mas, kuharap kamu jujur. Demi kebaikan rumah tangga kita.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD