Kecewa

1727 Words
1.      KECEWA  Wanita berhak memilih pada siapa dia melabuhkan hati. Namun bagaimana jika pelabuhannya menolak untuk dijadikan sandaran hati? Sandra duduk di depan cermin, memandangi diri dengan senyum secerah mentari. Matanya berbinar, wajahnya nampak berseri-seri, penampilannya malam ini begitu memukau. Helter dress yang dikenakannya terlihat indah membalut tubuh rampingnya, dengan bagian bahu yang terbuka Sandra benar-benar tampak anggun malam ini. Rambutnya yang lurus berkilau dengan curly di bagian bawahnya sengaja ia gerai dengan jepit rambut berbentuk mutiara menjepit poninya ke samping. "Perfect," gumam Sandra, puas dengan riasan serta dress yang ia kenakan. "Apa ada yang ingin ditambahkan Nona?" Seorang wanita yang sedari tadi berdiri di belakang Sandra buka suara. Wanita itu stylish yang selalu mendadanni Sandra setiap kali Sandra akan pergi ke suatu acara atau saat wanita itu sendiri yang meminta untuk didandani. "Cukup, aku suka. Bawakan aku high heels-nya," kata Sandra, menginteruksi wanita itu agar mengambilkan high heels yang akan ia pakai untuk menunjang penampilannya yang sempurna. "Baik Nona." Wanita itu mengambil high heels di ruang penyimpanan, di mana di dalam sana begitu banyak lemari kaca berbentuk rak-rak berisikan sepatu dan tas, serta di samping kirinya terdapat lemari pakaian berisi berbagai jenis pakaian milik Sandra dari gaun, pakaian formal sampai pakaian santai. "Raisa, sekalian bawakan aku clutch!" Terdengar teriakan Sandra dari luar. Wanita yang dipanggil Raisa menghela napas kasar, kemudian menjawab, "Baik Nona." Sudah jadi tuntutan pekerjaannya, ia harus patuh akan setiap perintah majikan dan memberikan pelayanan yang baik agar tetap dipertahankan. Mengingat Sandra orang yang mudah memecat pelayan di rumah ini jika tidak puas dengan hasil yang diinginkan, itu kenapa Raisa mati-matian memberikan hasil sebaik mungkin atas setiap pekerjaan yang ia lakukan. Raisa mengambil high heels dan clutch bewarna merah terang senada dengan warna gaun yang dipakai oleh Sandra. Setelah itu bergegas kembali ke hadapan majikannya itu. "Apa mama sama papa sudah ada di rumah?" tanya Sandra ketika Raisa sedang memakaikan high heels di kakinya. Raisa yang berjongkok di depan Sandra sedikit mendongak, meski tangannya tetap sibuk mengerjakan pekerjaannya. "Tidak ada Nona. Tuan dan nyonya baru akan pulang besok," jawab Raisa. Sandra tersenyum tipis, kembali sibuk memainkan ponselnya. Beruntung kedua orangtuanya sedang pergi ke luar kota untuk menghadiri suatu acara peresmin untuk mall baru milik papanya. Karena itu Sandra bisa sedikit bernapas lega, ia juga bebas keluar masuk dari rumah ini tanpa pantauan kedua orangtuanya. Tentu saja dengan bantuan para pelayan dan penjaga yang sudah ia sogok dengan uang ditambah dengan sedikit ancaman, sehingga mereka semua turut adil memuluskan rencana Sandra malam ini yang akan pergi makan malam dengan Arga. Arga merupakan sahabatnya sejak duduk di bangku sekolah menengah. Kedekatan mereka yang berlangsung lama menimbulkan benih-benih cinta di hati Sandra, namun entah dengan Arga. Apakah pria itu juga merasakan hal yang sama? Sandra sempat pesimis akan perasaan Arga, mungkin saja pria itu justru tidak memiliki perasaan padanya. Mengingat Arga tak pernah mengutarakan isi hatinya, tapi bagaimana dengan perlakuan manis yang selalu pria itu berikan padanya? Hal itulah yang mendorong Sandra bertekad dengan memberanikan diri untuk mengungkapkannya terlebih dulu, karena ia yakin kalau Arga juga punya rasa padanya hanya saja pria itu mungkin tak berani mengatakannya. Meski Sandra tak begitu yakin dengan hal itu, namun ia akan mencobanya malam ini. Karena Sandra tak punya kesempatan lagi, pernikahannya dengan Leon semakin dekat, tiga minggu lagi mereka akan menikah. Itu sebabnya Sandra tak ingin menyesal karena tak punya kesempatan untuk mengungkapkan perasaan yang telah lama bersemayam dalam hatinya untuk Arga. "Sudah sampai Non." Suara pak sopir menyadarkan Sandra yang sejak tadi termenung melamunkan Arga. Sandra sontak menoleh, menatap bangunan kafe yang nampak begitu mewah dengan interior modern dan dekorasi serba merah, di mana terdapat beberapa rangkaian bunga mawar mewah menghiasi kafe itu. "Makasih Pak," ucap Sandra pada pak sopir yang membukakan pintu untuknya. "Bapak langsung pulang saja setelah ini." "Tapi Non——" "Nggak ada tapi-tapian Pak. Bapak nggak mau 'kan kalau saya pecat, jadi turuti saja perintah saya. Bapak langsung pulang, karena saya nanti akan diantarkan pulang oleh teman saya," ujar Sandra penuh keyakinan kalau nanti Arga akan mengantarkannya pulang. "Baik Non." Akhirnya pak sopir mengalah, walau terlihat enggan karena takut kalau sampai orangtua Sandra tahu ia pasti akan kena omel. Sama halnya jika ia menentang perintah Sandra, dirinya pun beresiko akan kehilangan pekerjaan. Dengan perasaan gamang, pria paruh baya itu menjalankan mobilnya meninggalkan pelataran kafe. Sandra tersenyum lebar, berjalan dengan anggun memasuki kafe. Ketika pintu terbuka, sebuah senyuman yang begitu mempesona menyambutnya dengan wajah ramah seorang pria tampan yang tidak lain ialah Arga. "Hai," sapa Sandra pada Arga yang sedang berada di balik meja kasir. "Hai, kau begitu cantik sekali malam ini, Sandra," puji Arga, mengagumi kecantikan Sandra yang selalu totalitas di setiap penampilannya. "Kau bisa saja, aku jadi malu." Sandra tersipu malu, pipinya bersemu merah karena ditatap intens oleh Arga. "Apa semuanya sudah siap?" Sandra mengalihkan pembicaraan, seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling kafe yang sudah didekor sesuai keinganannya. "Seperti yang kau lihat, semuanya sudah siap. Mari kutunjukkan mejanya." Arga keluar dari balik meja kasir, mengantarkan Sandra ke salah satu meja yang sudah disiapkan. Meja bundar dengan kain putih yang membalut meja dan kursi, serta dilengkapi dengan lilin aroma terapi dan vas bunga dari kaca bening dengan setangkai bunga mawar di dalamnya. "Bagaimana, kau suka?" "Ya, aku suka," jawab Sandra, terpana akan keindahan tempat itu. Semuanya begitu sempurna, bahkan ini lebih dari ekspetasinya. Ditambah dengan suara musik yang mengalun dengan merdu menambah kesan suasana yang begitu romantis. "Terima kasih, Arga. Karena kau telah menyiapkan semunya. Ini benar-benar indah, aku sangat suka." Sandra tersenyum lebar pada Arga yang juga menyunggingkan senyumnya. "Sama-sama." Arga mengedipkan mata dengan senyum yang masih terpatri di wajahnya, membuat Sandra sampai tak berkedip memandanginya. "Ngomong-ngomong, untuk apa kau mempersiapkan semua ini?" tanya Arga. Ia heran kenapa Sandra sampai menyewa kafenya dan meminta untuk didekor dengan suasana yang romantis, Arga pikir Sandra akan makan malam dengan orang spesial. Namun melihat Sandra datang sendiri membuat ia jadi bingung. "Duduklah, temani aku." Sandra menarik kursi untuknya duduk, ia meremas tangannya yang begitu dingin, wajahnya nampak gugup namun ia tetap memaksakan diri untuk tersenyum pada Arga. Arga yang jelas kebingungan menurut saja, ia duduk berhadapan dengan Sandra. Ditatapnya wanita itu dengan serius. "Ada apa Sandra? Kenapa kau terlihat gugup? Apa kau gugup karena menunggu seseorang yang spesial? Baiklah, aku akan menemanimu agar kau tak gugup sampai orang itu tiba," ucap Arga diselingi kekehan kecil. Sandra mengela napas dalam, menyugesti dirinya agar berani dan percaya diri. "Aku tidak sedang menunggu seseorang Arga." Penuturan Sandra membuat Arga heran, pria itu menaikkan sebelah alisnya. "Lantas? Apa yang membuatmu sampai terlihat gugup?" tanya Arga, penasaran. "Kau," jawab Sandra. "Kau yang membuatku gugup dan kaulah orang yang aku tunggu." Mendengar jawaban Sandra sontak Arga tertawa, seakan ada yang lucu dari perkataan wanita itu. "Kau becanda? Sungguh tidak lucu Sandra, ada-ada saja." Arga menggelengkan kepalanya, ia memang sudah hapal dengan kelakuan Sandra yang sering membuat humor garing atau prank. Jadi ia tak begitu kaget ketika Sandra mengucapakan hal itu karena ia menganggapnya sebagai guyonan semata. "Aku tidak sedang becanda Arga, aku serius." Tawa Arga seketika reda, matanya menatap lekat Sandra yang nampak serius memandang iris matanya. "Sebenarnya sudah lama aku ingin mengatakan ini padamu, Arga. Hanya saja aku tak memiliki keberanian dan aku juga takut kalau hal itu akan membuat persahabatan kita jadi renggang. Aku tidak siap untuk itu." Arga menaikkan sebelah alisnya, semakin bingung. "Apa maksud kamu, Sandra? Jelaskan lebih detail, aku tak mengerti apa yang sedang kau bicarakan." Sandra menghela napas panjang, meremas jemari tangannya yang basah kian kuat. Matanya menatap lurus Arga, bibirnya bergetar namun tekadnya sudah bulat. "Aku mencintaimu Arga, aku sudah memendamnya sejak lama, aku menyukaimu sejak dulu saat kita masih berada di bangku SMA. Bahkan perasaan itu kini semakin dalam, Arga. Aku benar-benar mencintaimu." Akhirnya Sandra mampu mengatakan isi hatinya, ia merasa lega setelahnya. Meski kecemasan melanda saat melihat Arga tak bereaksi atas pengakuannya, pria itu hanya diam nampak syok. "Arga," panggil Sandra, tangannya menyentuh tangan pria itu yang ada di atas meja. Namun dengan cepat pria itu menariknya, tentu saja itu membuat Sandra terkejut dan heran. "Ar———" "Nggak, nggak mungkin." Arga menggelengkan kepalanya, seakan tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar dari mulut Sandra. "Nggak San, ini salah. Kita sahabatan sudah lama, tak seharusnya ... ini salah, San." Arga sampai terlihat seperti orang linglung. Ia beranjak dari duduknya. "Maaf Sandra, aku tak bisa." "Arga." Sandra spontan berdiri, menahan pergelangan tangan Arga yang akan pergi. "Dengarkan aku terlebih dahulu——" "Nggak San, maaf aku tidak bisa menerima———" Arga tercekat ketika Sandra menghambur memeluknya begitu erat, bahkan ia bisa merasakan  kemejanya basah oleh air mata wanita itu. "San." "Please, aku nggak bisa hidup tanpa kamu Arga. Jangan tinggalkan aku, kumohon. Butuh waktu dan keberanian untukku mengungkapkan ini padamu, Arga. Tak bisakah kau mengerti, tak bisakah kau rasakan apa yang aku rasakan." Sandra mendongak, matanya menatap iris mata Arga dengan sendu. Tak peduli jika air mata telah membanjiri pipinya, Sandra memberanikan diri menangkup kedua pipi Arga. Pria itu terdiam, sama sekali tak berekasi, terlihat jelas kebingungan dari ekspresi wajahnya. "I love you so much, Arga." Dan detik berikutnya, Sandra menarik wajah Arga, berjinjit agar ia bisa meraih bibir pria itu. Arga membeku ketika Sandra mendaratkan ciuman di bibirnya. Ia tak tahu harus bereaksi seperti apa, seakan ada yang menarik nyawa dari raganya hingga ia hanya mematung tanpa merasakan apa pun bahkan saat wanita itu memagut bibirnya dengan lembut. Sandra menikmatinya, tapi tak berlangsung lama sebelum Arga mendorongnya sampai ciuman mereka terlepas karena suara seseorang menginterupsi. "Arga!" Mendengar suara seorang wanita, Arga dan Sandra menoleh ke sumber suara. Di belakang Sandra, berdiri seorang wanita cantik dengan mata berkaca-kaca memandang nanar aksi keduanya barusan. "Aku nggak nyangka kamu seperti ini. Menjijikkan!" teriak wanita itu lalu pergi dari hadapan Arga. "Moza!" Arga yang sudah sadar pun bergegas mengejar wanita itu yang bernama Moza, tak peduli dengan Sandra yang meneriaki namanya. "Arga!" Seakan tuli, Arga terus berlari keluar mengejar Moza dan meninggalkan Sandra sendirian. "Arga, kamu jahat." Sandra tak kuasa menahan tangisnya, rasa kecewa kian menggerogoti hatinya secara perlahan. Rasanya begitu sesak dan menyakitkan seolah ada batu besar yang menekan jantungnya sampai tak mampu berdetak. Sandra seperti kehilangan arah, ia tak tahu ke mana lagi hati ini akan berlabuh. Jika pelabuhan yang ia tuju ternyata menolaknya tanpa memberikan kesempatan untuknya singgah barang sebentar saja.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD