3

1423 Words
Bibi, ditunggu nenek di ruang makan. Cepet keluar, katanya nenek." Aku yang tengah duduk melipat pakaian menoleh sekilas memperhatikan Adnan yang berdiri di ambang pintu. Setelah aku mengangguk kecil, bocah berumur 6 tahun lewat dua bulan itu langsung ngeloyor pergi. Kuhela napas dalam saat tatapanku terpacak pada foto Mas Rofi di atas meja. Di sebelah foto yang tersenyum lebar dengan tatapan menggoda itu, ada beberapa bingkisan kado warna-warni yang ditumpuk memanjang ke atas, membuatku lagi-lagi menghela napas dalam. Walau sudah empat bulan berlalu sejak kepergian Mas Rofi, tetap saja rasanya masih begitu sesak. Kado ulang tahun pemberian teman-teman Mas Rofi di hari suamiku merenggang nyawa itu, tak pernah dibuka sama sekali. Tanganku terus bergerak melipat pakaian lalu memasukkannya ke dalam koper. Di luar, terdengar Qila yang tengah tertawa riang dengan Adnan. Sesekali, Ibu mertua dan Bapak menimpali. HP yang berdering nyaring, membuatku dengan cepat mengangkatnya. Menempelkan ke telinga dan berkata dengan suara sepelan mungkin agar Ibu tak mendengarnya. "Halo, Kak." "Sudah siap belum? Sebentar lagi mas datang." Ya. Setelah memikirkannya masak-masak semingguan ini, aku memutuskan pulang ke rumah. Tinggal di rumah mertua terus, lama-lama membuatku tak nyaman karena lelaki jutek itu sering kemari menengok anaknya. Seperti biasa, Mas Rasya selalu sinis. Ibu tak membiarkanku tinggal di rumahku sendiri yang dibeli oleh Mas Rofi. Katanya, emosi menantunya ini tak stabil, mereka takut Qila tak terurus. Jadi, aku memutuskan pulang saja. Siapa tahu dengan begitu, aku bisa sedikit mengubur kenangan yang hingga detik ini masih menimbulkan nyeri saat dikenang. "Puus, ayo makaan!" Terdengan suara Ibu memanggil. Kumasukkan baju-baju Qila ke dalam koper kemudian menemui Ibu dan Bapak yang tengah menunggu di ruang makan. Adnan tengah bermain ciluk ba dengan Qila yang duduk di karpet bunga-bunga dengan banyak mainan di depannya. Bocah berpipi gempil itu tersenyum saat bersitatap denganku. "Kok lama, tho, bapakmu sudah lapar tungguin kamu dari tadi," kata Ibu saat aku menggeser kursi lantas mendudukinya. "Iya nih, Bibi." Adnan menimpali. Bocah berpipi tirus seperti ayahnya itu langsung beranjak meninggalkan Qila kemudian duduk di sampingku. Ia mengambil nasi dan sayur bening, ia letakkan ayam goreng, setelah itu menyerahkannya padaku. "Bibi bisa sendiri, Ad," kataku sambil menerimanya. Bocah ini memang dekat denganku. Sebelum Qila lahir, ia lebih sering bersamaku dan Mas Rofi karena kami tak juga mempunyai anak. Ayahnya juga selalu sibuk kerja. Terkadang, Adnan malah menginap di rumahku timbang di rumah Mas Rasya. "Bu ...." Ibu mertua yang tengah menyuap langsung menatapku. Sorot mata tuanya terlihat penasaran. Aku sudah mengutarakan niat pada Ibu ingin pulang ke rumah seminggu lalu. Namun, waktu itu Ibu tak menanggapi. Sorot matanya terlihat keberatan, tapi tak mengatakan apa-apa. "Kenapa, Pus?" Lelaki tua bertubuh tinggi kurus mengerutkan kening, membuat alisnya yang berwarna putih seperti rambutnya nyaris bertaut. "Aku mau pulang, Pak." Kurasakan jantungku berdetak kencang saat keduanya berpandangan. Sementara Adnan terus menyuap dengan lahap. "Kalau bibi pulang, aku ikut bibi, ya?" tanyanya dengan tatapan berharap. Bapak dan Ibu menghela napas panjang. Sorot keberatan memancar jelas di kedua mata tuanya. "Kenapa, Pus? Kamu tak senang tinggal di sini?" tanya Ibu dengan wajah tersinggung. "Apa ibu terlalu galak?" Lanjutnya, dengan mata berkaca-kaca seperti hendak menangis. Ia letakkan sendoknya ke piring lalu menatapku lekat. Aku menghela napas. Tujuh tahun menjadi menantunya, aku sudah hafal benar tabiat Ibu yang kalau bicara selalu keras walau sebenarnya maksudnya baik. Meskipun aku hanya menantu, tapi ia begitu menyayangiku. Empat bulan sejak kepergian Mas Rofi, Ibu selalu bawel menyuruhku makan yang banyak agar ASI tetap lancar. Tak jarang, ia mengoceh saat melihatku hanya makan dengan kuah sayur, yang penting tertelan, begitu. Kepergian Ma Rofi yang mendadak, membuatku tak semangat melalui hari. Hampa. Juga kosong. Qila adalah alasan kuat aku mencoba bangkit dari keterpurukan, melupakan semua meskipun sangat sulit. "Pokoknya ibu tak ijinkan kamu pulang. Apa kamu tega pisahin ibu dan Qila?" Aku menatap bocah yang terus asyik bermain. Bibirnya melekuk senyum saat mata bocah itu berpandangan denganku. "Uuuuh. Uuuuh." Dengan tangan terjulur ke arahku. Itu artinya, Qila minta digendong. Aku memberanikan diri menatap Ibu. "Ibu bisa datang kapan saja. Hanya berjarak tiga jam saja, Bu," sahutku sambil menyuap. Langsung menelannya tanpa mengunyah. Ayam goreng tetap utuh di bibir piring. Mataku merebak saat teringat Mas Rofi yang terkadang menyuapiku saat makan. Duhai, alangkah indah saat-saat itu. "Ibu tetap tak ijinkan." "Kamu, Pus, bilang mau pulang kok mendadak!" Wajah Bapak tampak kesal. Bapak mertuaku ini jarang marah. Bahkan saat Mas Rofi pergi dulu, ia sama sekali tak menyalahkanku. Hanya menyesalkan kenapa hal itu sampai terjadi. Berbeda dengan Bapak yang tak bisa menunjukkan kesedihannya, Ibu tampak begitu tabah. Katanya, setiap yang bernyawa pasti akan mengalami mati. Setiap takdir manusia sudah ditulis di atas Arsy. Jodoh. Rejeki. Mati. Aku sama sekali tak pernah melihat Ibu menangis atau sedang meratap setelah Mas Rofi dikebumikan. "Aku udah bilang sama ibu seminggu lalu, Pak." "Tapi ibu tak mengijinkan. Ibu tak mengiyakan." "Tapi, Pak, Mas Rofi sudah tak ada." "Kami ini juga keluargamu, Pus!" Ibu berkata sedikit membentak. Perempuan berjilbab lebar itu berdiri lantas menggendong Qila yang langsung tertawa padanya. Ibu menciumi anakku itu sambil menangis. "Jangan pisahkan ibu dan Qila, Pus. Kalau kamu mau pergi, pergi saja. Tapi jangan bawa Qila." Aku sudah tak berselera makan. Kuletakkan sendok di piring lalu menghela napas dalam mencoba sabar. "Ya gak bisa kalau aku gak bawa Qila, Bu. Dia anakku. Butuh ASI dan kasih sayang ibunya." Ibu menggeleng-gelengkan kepala, tampak tak bisa dibantah. Aku mendekat padanya hendak meraih Qila, tapi Ibu mendekap bocah itu di dadanya, membuat Qila menangis kencang. "Bu, tolong jangan begini." "Sampai kapanpun, Qila tetap cucu ibu. Satu-satunya jejak Rofi." Mata ibu berkaca-kaca saat mengatakannya. Rasa pedih berdenyar di dadaku. Aku mengulurkan tangan hendak meraih Qila tapi Ibu dengan cepat menepis tanganku. "Pak! Pak eee! Cepat tho, ambil HP." Aku membeliak menatap Ibu. Ibu pasti mau mengadu pada anaknya yang semena-mena itu. Tidak akan kubiarkan. "Ibu, tolong jangan begini. Kan ada Adnan. Adnan cucu ibu juga." Aku menatap bocah berambut hampir menyentuh bahu itu. Katanya, dia ingin seperti penyanyi siapa itu ... yang rambutnya panjang, aku lupa namanya, setiap dibujuk potong rambut. "Adnan dan Qila sama-sama cucu ibu. Tak ada yang boleh pergi. Pak, ayo cepat telponkan." Saat mendengar suara Mas Rasya dari HP yang diloads speaker, aku memilih bersandar di kursi. Lelaki menyebalkan itu pasti akan senang jika aku pergi. Aku memutuskan ke kamar saat mendengar dering HP. Kali ini, yang menghubungi bukan Mas Hanif, tapi Mas Fadil saudara kembar Mas Hanif. "Halo, Mas." "Mas udah sampai depan rumah. Ibu mertuamu ada? Ini ada oleh-oleh dari mama." "Ada, Mas. Masuk saja." Terdengar bunyi bel. Lalu suara salam. Aku menuju ruang tamu di mana Ibu dengan Qila di gendongannya tengah berbicara dengan Mas Hanif dan Mas Fadil. Kedua kakak lelakiku itu bicara pada Ibu dengan nada hati-hati. "Puspita ingin menenangkan diri, katanya." Mas Fadil berkata sambil menatapku yang berjalan mendekat. "Si Puspita di sini tak pernah diusik. Di kamar seharian aja ibu diamkan!" Ibu menyahut sinis. Ibu kalau sedang kesal ya begini, teelihat tak bersahabat. Mas Hanif menggaruk rambutnya, wajahnya terlihat bingung mau bicara apa. Aku duduk di samping Ibu, memandangnya. "Bu, Mas Rofi sudah tak ada. Aku di sini buat apa? Aku ingin cari suasana baru." Wajah Ibu tersentak kaget. "Jadi mentang-mentang Rofi sudah tak ada, kamu berniat melupakan ibu juga, Pus! Tak menganggap kami keluarga lagi?" Ibu jelas salah faham. Bukan itu maksudku. Coba pikir. Aneh, kan, aku tinggal di sini sementara Mas Rofi sudah tak ada? Saatnya aku memulai hidup baru. Aku harus mencari pekerjaan untuk masa depan Qila. Baru saja aku hendak menjelaskan, terdengar suara salam. Mas Rasya melangkah masuk dan duduk di seberang Mas Hanif. "Kalau mau pergi, pergi saja. Jangan bawa Qila," katanya, menatapku dingin seperti biasa. Adnan mendekat lalu duduk di pangkuannya, melingkarkan tangan di leher lelaki dewasa itu dan mengecup keningnya. "Ayah sudah makan?" Mas Rasya mengangguk pada bocah itu, membelai rambutnya, lalu mengecup keningnya. "Ibu bisa ngurus Qila," imbuh Ibu dengan tatapan tak bisa dibantah. "Qila butuh ASI, Bu. Butuh kasih sayang ibunya," ucapku sambil memandang Ibu takut-takut. "Ibu bisa membelikannya s**u. Ya, kan, Pak?" Ibu menatap lelaki bertubuh kurus yang berjalan mendekat. Wajah itu yang tadi di ruang makan terlihat sangat marah, kini sangat ramah saat memandangku. "Kamu dan Rasya nikah saja." Bukan hanya aku yang tersentak kaget, tapi Mas Rasya juga. Ia menurunkan Adnan dari pangkuannya lalu menudingku. "Aku menikah dengnnya, Pak? Dia itu aib." Aku aib katanya? Maksudnya apa, yaa?! Seolah aku mau menikah dengannya saja. Bahkan hanya duduk seruangan dengannya saja aku tak ingin lama-lama.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD