• EMPAT •

1042 Words
 Sembilan hari setelah kematian Karen. Sungai Harapan. Stella dan Samuel turun dari mobil begitu sampai di depan jalan setapak menuju sebuah sungai di ujung jalan. Mereka berdua memutuskan untuk datang ke tempat dimana jasad Karen setelah kemarin menerima pesan misterius dari seseorang yang menggunakan nomor Karen. Kebetulan hari itu adalah hari Sabtu, sekolah libur dan Stella tidak ada jadwal les seni. Ia pun sepakat untuk pergi bersama Sam ke tempat itu sekarang. Matahari tidak terlalu terik karena pohon-pohon besar di pesisir jalan setapak yang mereka lewati tumbuh dengan subur. Batang mereka kuat sementara dedaunannya lebat. Angin yang berembus menerpa rambut-rambut panjang Stella pun terasa cukup besar karenanya. Samuel lalu menghentikan langkahnya ketika sampai di pinggir sungai. Matanya menyapu seluruh aliran air yang deras di hadapannya dengan sedih sebelum menatap rerumputan di bawah kakinya. "Malam itu, Karen di sini. Gue nemuin jasad Karen di tempat ini," katanya lirih. "Dari sekian banyak tempat, kenapa harus sungai harapan?" Stella pun melempar tangkai lili putih yang dibelinya di toko bunga kesukaannya ke permukaan sungai. "Karen, apa kabar? Gue bawa bunga kesukaan lo." Mata hitamnya mengikuti kemana arah bunga tersebut hanyut terbawa arus sungai. "Semoga lo suka, ya." "Stella?" Suara tak asing menyapanya dari arah belakang sehingga Stella dan Samuel sontak berbalik. "Dimas?" Cowok bermata sipit itu melihat Stella lalu ke Samuel bergantian. Ia menggunakan kemeja biru kotak-kotak pendek dan celana jeans hitam pagi itu. "Hey, Sam. Udah lama nggak ketemu, ya," kata Dimas berbasa-basi. "Lo ngapain ke sini?" tanya Samuel penasaran. Cowok bernama Barata Dimas itu mengangkat bahunya dan tersenyum tipis. "Menurut lo kenapa? Gue juga ada di grup chat kali." Stella memicing curiga. "Lo kesini karena ... Karen?" "Dia pasti bukan Karen," tandas Juna yang muncul dari arah lain. Stella, Samuel dan Dimas kini terkejut karena kehadiran Juna dan Clara di sungai harapan. Bagaimana seorang Juna, premannya sekolah mau datang jauh-jauh ke tempat yang sudah lama mereka lupakan sekarang bersama Clara. Ah, Clara, Stella menatapnya penuh rasa ingin tahu. Kira-kira alasan apa yang membawa sahabatnya itu juga datang ke sungai harapan dan Juna menyadarinya. Ia pun menyilang kedua tangannya di d**a dan berkata, "Jangan salah paham. Gue datang sendiri dan nemuin anak ini di depan kaya anak ilang. Jadi gue bawa kesini sekalian." Clara mendelik sinis pada Juna. "Anak ilang?" Juna mengangguk dan menunjuk wajah Clara seenaknya. "Lo tadi mondar-mandir sambil lihatin hape terus kaya orang linglung gitu," ucapnya asal. "Apa coba namanya kalau bukan kaya anak ilang?" Stella tersenyum lebar dan meloncat ke arah Clara. Memeluknya dengan erat seolah ia bisa saja kehilangan sahabatnya itu kapan saja. "Gue kangen banget sama lo, La," katanya berterus terang. "Kenapa sih lo harus jauhin gue dan temenan sama si busuk itu?" Namun tiba-tiba Clara mendorong Stella. Menepis dengan kasar rengkuhan yang diciptakan khusus oleh Stella untuk Clara. Ia lalu memandang cewek berambut panjang itu serius. "Nama dia itu Ganisa, bukan si busuk. Hati-hati kalau bicara tentang dia, Stell." Stella tercengang. "Hah?" Clara lalu melemparkan bunga lili putih di tangannya ke permukaan sungai. Persis seperti apa yang dilakukan Stella tadi. "Gue ke sini buat Karen bukan buat siapapun," katanya ketus. Ia bahkan langsung berbalik dan meninggalkan keempat temannya yang masih keheranan di sana. "Lala kenapa jadi berubah gitu?" tanya Dimas pada Stella. "Dia juga kayaknya lebih suka sama Ganisa sekarang. Ada masalah apasih?" Belum sempat menjawab, Juna sudah menurunkan satu pukulan keras di bahu Dimas hingga cowok yang sering dipanggil 'Cina Bule' itu meringis kesakitan. "Nggak usah ikut campur urusan orang. Lo sendiri ngapain datang ke sini, bukannya lagi sibuk persiapan lomba lo, Cin?" Samuel terkekeh. "Lo nggak bisa manggil dia pake kata-kata yang lengkap apa? Jangan 'Cin' juga kali." "Tau nih si Preman," imbuh Dimas tak terima. "Lagian suka-suka gue kali mau datang kemana juga." Juuna hanya mengangkat bahunya tak acuh dan berbalik ke arah sungai. "Satu yang pasti, gue yakin banget itu bukan Karen." Matanya yang tajam seperti elang mengamati aliran sungai yang deras siang itu dengan saksama. "Gimana caranya orang mati ngirim pesan coba? Itu pasti seseorang." "Waktu gue nemuin jasadnya Karen, ponsel sama dompetnya memang hilang." Stella, Dimas dan Juna sontak menarik perhatian mereka ke arah Samuel. "Belum ketemu sampai sekarang." Dimas mengerutkan kening dan menimbang-nimbang sesuatu. "Apa mungkin Karen dirampok dan dibunuh sama penjahat?" Stella menyibak rambut panjangnya yang tersapu semilir angin ke punggung. Menampakkan tulang-tulang lehernya yang jenjang dan indah. "Penjahat mana yang iseng ngirim pesan misterius ke grup chat korbannya? Nggak ada kerjaan banget." Samuel mengangguk setuju. "Memang sedikit nggak masuk akal, tapi di dunia ini nggak ada yang nggak mungkin." Juna lalu kembali dan ikut berdiri di antara teman-temannya yang lain. "Karen itu orangnya berani dan kuat. Tapi, apa mungkin rumor dia dirisak sama senior itu benar?" Ia melihat Stella lalu ke Samuel dan Dimas. "Kalaupun dia memang dibully sama seseorang, gue yakin banget Karen nggak akan nutup mulut sampai mutusin buat bunuh diri. Apalagi dia punya teman yang sebar-bar Stella. Iya, 'kan?" Stella melotot. Netra hitamnya langsung menghunus tajam ke arah Juna karena kata-katanya yang sembarangan barusan. Ia tidak terima. "Bar-bar?" Samuel menyela. "Juna benar. Karen itu nggak sendirian. Dia punya kita, tapi kenapa dia harus mati dan nyembunyiin semuanya sendirian?" Keheningan terjadi selama beberapa detik sampai akhirnya cowok kelahiran Bogor dengan kemeja birunya yang mewah membuka suara. "Mungkin Karen tahu sebuah rahasia," bisiknya. "Rahasia?" Stella mengangkat satu alisnya bingung. "Rahasia macam apa maksud lo?" Dimas mengedikkan bahu. "Nggak tahu juga. Tapi kalau di komik-komik misteri yang gue baca, seseorang atau saksi yang tahu rahasia besar biasanya dibunuh." Ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana dan melihat ketiga temannya satu persatu. "Kalian emangnya nggak tahu? Kematian itu sering dianggap sebagai satu-satunya cara untuk menutup rapat sebuah rahasia. Makanya, orang-orang yang tahu rahasia besar biasanya selalu berakhir tewas." "Tapi, rahasia apa yang Karen tahu sampai seseorang harus repot-repot bunuh dia?" tanya Stella. "Kalau gue jadi pelakunya, sekalian aja gue tenggelamin tuh si Karen di dasar sungai," timpal Juna kesal. "Ngapain juga dia ninggalin jasad Karen di pinggir sungai coba." "Mungkin dia memang sengaja," tukas Samuel. Membuat Stella, Juna dan Dimas menoleh ke arahnya dengan penasaran. "Biar seseorang seperti Karen yang tahu rahasia besar di luar sana juga nggak berani buka mulut atau dia bisa berakhir mengenaskan kaya Karen." Stella mencondongkan wajahnya pada Samuel. "Maksud lo, mungkin di luar sana ada yang tahu tentang rahasia itu juga, Sam?" []
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD