• LIMA •

1014 Words
 Sepuluh hari setelah kematian Karen. SMA Nusantara, Jakarta. Stella meninggalkan kelas setelah bel istirahat berbunyi. Pak Anwar memintanya untuk membawakan buku tugas teman-teman sekelasnya ke ruang guru di jam istirahat karena cewek itu adalah seorang ketua kelas. "Lo nggak ikut ke ruang guru?" tanya Stella pada Samuel yang berdiri di sebelahnya ketika mereka sampai di ambang pintu. Samuel lalu menggeleng. "Gue tunggu di kantin aja, ya?" katanya tak enak. "Males kalau harus ketemu sama guru konseling lagi. Gue jadi kaya tersangka yang lagi diintrogasi soalnya. Dia nanya, tapi udah kaya nuduh orang. Bikin kesel jadinya." Stella hanya memutar kedua bola matanya malas. "Bilang nggak mau aja panjang banget penjelasannya," katanya lalu pergi meninggalkan Samuel. Sementara Samuel langsung pergi ke kantin, Stella justru ke arah lain karena permintaan guru bahasa Indonesia. Mereka mendapatkan sebuah tugas untuk membuat artikel harian dan ketua kelaslah yang bertugas mengumpulkan dan membawanya ke ruang guru. Stella sudah biasa dengan hal-hal seperti ini sebelumnya. Hanya saja, dia biasa pergi ditemani Karen dan Clara dahulu. Bedanya, dia sendirian sekarang. Setelah selesai meletakkan buku-buku tersebut, Stella segera meninggalkan ruang guru dan menuju ke kantin. Seperti yang kita semua sudah tahu, kantin adalah perbatasan antara kelas dua dan kelas tiga di SMA Nusantara. Hari itu, Stella bertemu dengan Clara, Ganisa, Helena dan Sera di depan kantin. Mereka berempat sedang berjalan bersama menuju ke kantin seperti beberapa hari ke belakang. Atau bisa dibilang, Ganisa memimpin di depan sedangkan tiga lainnya mengekor seperti dayang-dayang di belakang. Jika Helena dan Sera tampak sama angkuhnya dengan Ganisa, Clara justru kerap memamerkan ekspresi datar ketika berjalan bersama ketiga seniornya itu. Stella terdiam sembari memerhatikan gerak gerik Clara di antara para senior yang juga dikenal sebagai Queen Bee nya SMA Nusantara. Ia tampak tidak senang dan beberapa kali diabaikan oleh ketiga orang tersebut saat mereka berbincang. Tak lama, suara Ganisa langsung menggema di kantin. Ia berdiri di depan Clara dengan segelas jus jeruk di tangannya. "Lo nggak dengar ya tadi gue bilang apa?" tanyanya sinis. "Gue pesan jus mangga bukan jus jeruk. Lo sengaja ya mau racunin gue padahal lo tahu gue alergi asam?" Clara menatap Ganisa tak percaya. Ia pun buru-buru membela diri. "Tapi tadi lo pesan jus jeruk, Sa." Stella melihat mereka bergantian saat Ganisa kembali berulah. "Sera dan Helen adalah saksi di sini," ucapnya lalu melihat kedua temannya. "Apa kalian berdua dengar gue pesan jus jeruk sama Lala? Gue jelas-jelas pesan jus mangga, 'kan?" Suara Ganisa yang cukup tinggi berhasil menarik perhatian siswa lain yang sedang berkumpul di kantin. Di jam istirahat seperti ini, semua meja telah terisi penuh dan Stella tidak bisa membayangkan betapa malunya Clara karena menjadi bahan omongan orang-orang di kantin karena Ganisa membentaknya. Sera lalu mendorong bahu Clara dengan satu tangannya. "Jangan playing victim gitu, deh. Kita berdua jelas dengar kalau Ganisa pesan jus mangga bukan jus jeruk." "Kayaknya dia memang sengaja deh biar lo sakit, Sa," timpal Helena yang membuat suasana di antara mereka semakin panas. Clara pun berseru. "Gue nggak salah. Gue jelas beli minuman sesuai yang lo suruh." Tanpa basa basi, Ganisa langsung menyiramkan jus jeruk yang ada di tangannya ke tubuh Clara hingga seragamnya basah oleh cairan berwarna kuning itu. Siswa di sekitar langsung memekik kaget sementara beberapa siswa mengambil gambar dan menyebarluaskannya di sosial media. Clara menangis seketika, tapi kakinya seolah tertahan dan tidak bisa pergi kemana-mana. Ia hanya menangis dan berdiri di hadapan Ganisa seperti orang bodoh yang lemah dan tidak berdaya. Cewek yang sengaja mengombre rambutnya dengan warna merah menyala itu kemudian menyeringai penuh kemenangan dan menyilang kedua tangannya di d**a. "Itu karena lo nggak dengar apa yang gue suruh dan karena lo nggak nemenin gue ke salon kemarin," tandasnya tanpa rasa bersalah sedikitpun. "Lain kali, kalau gue suruh sesuatu, lo harus nurut biar nggak ada kejadian buruk kaya gini. Lo paham, 'kan?" Helena dan Sera tampak ikut tersenyum dan ikut melipat kedua tangannya mereka di d**a saat menyaksikan Ganisa menindas Clara. Namun hal ini sudah keterlaluan bagi Stella. Ia tidak masalah jika Clara memang tidak mau berteman dengannya, tapi beda cerita jika nyatanya Clara hanya menjadi bahan perundungan untuk Ganisa dan kedua temannya. Stella kemudian melangkah maju, menerobos kerumunan siswa yang berlomba-lomba mengambil gambar ketika Ganisa membully juniornya yang tidak lain adalah sahabatnya sendiri dan dengan berani, melempar sisa sampah dari meja Juna yang ada di hadapannya ke arah Ganisa. Stella bahkan tidak sadar bahwa Juna ada di sana. Juna justru asyik dengan mie instan miliknya alih-alih ikut campur dalam keributan yang dibuat oleh Ganisa. Namun ketika sampah bekas kerupuk yang dibelinya tadi diambil Stella, barulah perhatiannya teralih. Juna melihat Stella melempar plastik sisa kerupuk tepat ke wajah Ganisa hingga cewek itu benar-benar terkejut. Ia melotot dan wajahnya memerah karena malu. "Apa-apaan nih?!" pekik Ganisa tak terima. Namun Stella sama sekali tidak gentar. Ia justru membulatkan mulutnya hingga membentuk huruf O dan menggaruk tengkuk lehernya yang sama sekali tidak gatal dengan sengaja. "Sori, gue nggak tahu lo ada di situ. Gue pikir tempat sampah, jadi gue coba lempar plastiknya ke tempat yang tepat." Ganisa mendorong Stella hingga cewek itu mundur beberapa langkah. "Lo cari mati, hah?" Stella hanya mendengus geli dan balas menatap Ganisa dengan tatapan tajam. "Jangan pernah sentuh sahabat gue atau gue nggak akan tinggal diam," tukasnya yang membuat Clara langsung menoleh karena tersentuh. "Gue nggak pernah takut sama senior kaya lo." Kemudian Ganisa tertawa dan menghampiri Clara. "Sahabat katanya?" Ia menjambak cewek berambut pendek itu hingga Clara meringis kesakitan dan menangis lagi. " Lala lo tersayang, udah nggak mau sahabatan lagi sama cewek yang nggak punya tata krama kaya lo asal lo tahu aja. Dia lebih milih untuk stay sama gue dan menghindar. Apa lo nggak mengerti, Stella?" Stella melihat Clara. "Benarkah?" batinnya. Namun Clara hanya membalasnya dengan tatapan menyedihkan yang justru meyakinkan dirinya bahwa Ganisa hanya menggertaknya saja. "Masalahnya itu bukan di Clara, tapi di lo. Manusia macam sampah kaya lo, nggak berhak dapetin teman sebaik Clara," ujar Stella dengan berani. "Ayo kita buat ini jadi adil. Gue nggak sahabatan sama Clara karena gue nggak punya tata krama, tapi lo juga nggak bisa sahabatan sama Clara karena lo nggak punya otak ataupun sedikit perasaan. Jadi, lebih parah siapa kira-kira? []
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD