• ENAM •

1090 Words
 SMA Nusantara, Jakarta. Kantin. Mata hitam Ganisa sudah hampir lepas dari tempatnya karena sangat kesal dan tersinggung dengan ucapan Stella barusan. Ia lantas menghunuskan tatapan tajam yang dingin, seperti singa yang siap menerkam mangsanya kapan saja. Namun bukan Ganisa namanya jika ia menyerah hanya karena seorang junior seperti Stella. Lagipula, cewek di hadapannya ini tidak jauh berbeda dengan Karen. Apa yang terjadi pada Karen, Ganisa mengharapkan hal yang sama terjadi pada Stella sekarang. Cewek liar ini harus dikasih pelajaran. Ganisa pun mendorong bahu Stella sekali, "Maksud lo apa?" dua kali, "Lo berani nantang sekarang?" dan ketiga kali hingga Stella melangkah mundur. "Apa lo nggak takut hidup lo bakal berakhir seperti Karen?" Deg. Jantung Stella merasakan debaran keras di dadanya ketika nama sahabatnya disebut. Matanya kini tak lagi tertunduk cemas melainkan balik menatap Ganisa. "Kenapa? Lo takut sekarang?" Ganisa tertawa puas. "Anak itu mati karena kelakuannya sendiri." Stella langsung mendorong tubuh Ganisa hingga ia terhuyung ke belakang. Tidak sampai jatuh karena Helena dan Sera dengan sigap menangkap tubuh Ganisa, tapi cukup kuat untuk membuat cewek dengan rambut ombrenya yang khas itu terkejut. "Sialan lo, ya!" Ganisa mengangkat satu tangannya ke udara, hendak melepaskan satu tamparan di pipi Stella yang sudah berani melawannya. Namun dengan cepat, seseorang muncul dan menahan lengan Ganisa saat itu juga. Ganisa dan Stella sontak menoleh ke arah orang tersebut. Mereka menemukan Juna berdiri di sana, melihat sang senior dengan tatapan dingin yang mengerikan. Ia lalu melihat Stella yang tercenung di tempatnya berdiri sekarang. "Jangan sentuh dia atau gue bikin tangan lo patah juga kaya si Bani." Seisi SMA Nusantara tahu bahwa Juna diskors selama beberapa karena berduel dengan Bani, senior sekaligus pacar Ganisa hingga membuatnya masuk rumah sakit karena patah tulang dan suara Juna yang begitu dalam juga mengintimidasi berhasil membuat Ganisa melepaskan tangannya dari Juna dan pergi meninggalkan mereka saat itu juga. Begitupula dengan siswa lain yang berkerumun, Juna mengedarkan pandangan tajam miliknya dan kerumunan penonton itu bubar seketika. Lagipula, siapa juga yang berani melawan Juna sekarang? Cowok tampan dengan kepribadian mengerikan. Ia seperti psikopat dengan pesona tak terbantahkan. Diam, tapi menghanyutkan. Sayang, Stella sama sekali tidak merasakan salah satu dari hal tersebut. Ia justru mendaratkan pukulan ringan di puncak kepala Juna hingga cowok itu mengeluh dan memandangi Stella dengan heran. "Lo nggak tahu caranya berterima kasih ya? Kok gue malah dipukul sih." Stella menyeringai tipis dan menyilang kedua tangannya di d**a. "Lain kali, nggak usah ikut campur urusan cewek," katanya ketus. "Gue bisa selesain masalah gue sendiri asal lo tahu, Jun." Juna hendak membalas ucapan Stella barusan, tapi Clara yang berdiri di antara keduanya tiba-tiba berlari dan meninggalkan kerumunan. Menarik perhatian Stella untuk segera mengikutinya dan melupakan Juna yang bahkan belum sempat menyelesaikan kalimatnya tadi. Stella melihat Clara berlari masuk ke dalam toilet. Sahabatnya itu pasti berniat membersihkan minuman dari seragamnya yang basah. Lalu, Stella teringat akan sesuatu. Ia meninggalkan jaket di dalam lokernya kemarin, mungkin jaket itu dapat digunakan Clara sekarang. Stella pun berlari secepat yang ia bisa untuk mengambil jaket tersebut dan segera masuk ke dalam toilet. Benar saja, Clara sedang berusaha mengeringkan bagian seragamnya yang terkena cairan kuning dengan menggunakan tissue toilet. Clara menoleh ke arah Stella yang kini berdiri di hadapannya sesaat sebelum kembali menunduk dan pura-pura sibuk dengan kegiatannya. "Jangan lakuin itu lagi," pinta Clara. "Gue nggak mau lo terlibat sama dia." Cewek bertubuh kurus dengan rambut panjangnya yang menjuntai ke punggung itu kemudian teringat akan tujuan awalnya tadi. Stella lalu menyodorkan jaketnya pada Clara. "Pakai ini. Baju lo nggak cuma kotor, tapi basah. Cowok-cowok bisa lihat daleman lo nanti," ucapnya lalu berbalik. Hendak pergi meninggalkan Clara karena atmosfer tak menyenangkan di antara keduanya. Tampaknya, Clara benar-benar sudah berubah. Clara tidak ingin menjadi temannya lagi, kira-kira begitulah yang Stella pikirkan sebelum tubuhnya berhenti bergerak di saat memegang kenop pintu toilet, "Jangan mau ditindas terus sama Ganisa. Gue nggak mau kehilangan sahabat lagi, gue nggak mau kehilangan lo sama seperti kita kehilangan Karen." Lalu tubuh rampingnya melenggang meninggalkan toilet. Sementara Clara menatap jaket berwarna merah milik Stella dan menangis sejadi-jadinya di toilet. Ia bahkan mendekap jaket tersebut dan membiarkan derasnya air mata menjadi saksi betapa sedihnya perasaan Clara hari itu. Stella berjalan melewati koridor sekolah dan langkahnya terhenti seketika saat Juna dengan tiba-tiba muncul di hadapannya kemudian menarik tubuh cewek itu tanpa izin menuju ke arah berlawanan. "Hey! Lo mau bawa gue kemana?!" seru Stella. "Kelas kita ada di sana." Juna mendengus geli tanpa sedikitpun melepaskan tangan Stella. Ia membawa cewek itu duduk di salah satu bangku taman yang ada di SMA Nusantara hingga membuat Stella kebingungan sekarang. "Ngapain lo ngajak gue kesini?" Stella mengangkat satu alisnya dan bersedekap. "Lo mau gue nemenin lo bolos juga?" Juna mengangguk. "Pengennya sih gitu. Tapi ada sesuatu yang lebih besar dari membolos yang benar-benar bikin gue penasaran sampe sekarang," jelasnya. Dahi Stella pun berkerut dalam. "Penasaran tentang apa?" "Karen." Kedua netra hitam milik Stella melebar seketika. Tampaknya hanya dengan mendengar nama Karen disebut, Stella bisa merasakan banyak reaksi yang tidak terduga dari tubuhnya. Ia pun melihat Juna heran. "Ada apa sama Karen?" "Kok ada apa sama Karen, sih?" Kini giliran Juna yang menyilang kedua tangannya di d**a. "Gue diskors dan jadi orang yang paling nggak tahu apa-apa soal kematian Karen. Dan lo bilang ada apa? Ya seenggaknya lo atau Samuel bisa ceritain ke gue apa yang sebenarnya terjadi malam itu. Gue mau nanya tentang ini kemarin, tapi keburu lupa karena--" liat lo sama Samuel. Juna menggantung ucapannya di udara sehingga membuat Stella penasaran. "Karena apa?" "Karena ... karena gue kebelet boker!" bohong Juna. "Udah, jangan bahas yang kemarin. Sekarang lebih baik lo ceritain ke gue tentang kematian Karen. Lo masih nganggap gue ini sahabat kalian, 'kan?" Stella mengembuskan napas berat. "Gue juga nggak ngerti dengan apa yang terjadi sekarang. Satu hari setelah jasad Karen ketemu, lo tiba-tiba diskors, Samuel nggak masuk karena syok, Dimas sibuk sama persiapan lomba dan Clara ... adalah salah satu yang paling sulit gue tebak sampai sekarang. Entah kebetulan atau enggak, hari dimana Karen ditemukan meninggal, juga jadi hari dimana persahabatan kita berubah, Juna." Cowok bertubuh tinggi dengan rambut yang sedikit berantakannya itu menggaruk tengkuk lehernya karena canggung. "Gue diskors karena ada alasannya." "Apa alasannya?" tanya Stella ingin tahu. "Kepo, lo." Stella mendesah kesal dan memukul kepala Juna sekali lagi. "Ngeselin." "Bodo amat." "Intinya, hari dimana Karen meninggal, semua misteri itu mulai bermunculan dan mengganggu pikiran gue," ungkap Stella sedih. "Setelah seminggu nggak ketemu Samuel, dia cerita tentang kejadian malam dia nemuin jasad Karen. Tapi dia bilang, Karen mungkin meninggal bukan karena bunuh diri." Kedua alis Juna yang tebal pun bertaut. "Maksudnya?" "Karen mungkin ... dibunuh sama seseorang." "Wait, what?!" []
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD