• TIGA •

1002 Words
 SMA Nusantara, Jakarta. Samuel dan Stella berjalan bersama meninggalkan kelas ketika bel terakhir akhirnya berbunyi. Sudah waktunya untuk pulang. Biasanya, Stella akan pulang bersama Karen dan Clara. Menumpang di mobil Om Antoni atau menggunakan jasa taksi daring. Namun semenjak Karen hilang dan Clara menjauh, Stella selalu datang dan pulang sekolah sendirian. Dunia seolah berputar 180° derajat hanya dalam waktu semalam. Persahabatannya yang erat bersama Karen dan Clara tiba-tiba rusak dalam sekejap. Karen pergi dan Clara mulai bersikap antipati. "Kita mau nunggu Dimas sama Juna dulu nggak?" tanya Samuel begitu mereka sampai di lorong utama sekolah. Dimas dan Juna memang berada di kelas yang berbeda dengan Samuel dan Stella sejak mereka naik ke kelas dua. Berpacu pada nilai dan minat, Dimas dan Juna justru masuk ke kelas sosial. Katanya, kelas sosial di SMA Nusantara itu tempatnya orang-orang malas, kreatif dan nggak waras berkumpul. Maklum, kebanyakan dari siswa di kelas sosial adalah teman satu perkumpulan dengan Juna--preman, tukang bolos, tukang palak, pemalas--yang sudah dicap buruk oleh para gurunya sendiri. Padahal, tidak sedikit dari siswa di kelas sosial yang berhasil menembus kejuaraan nasional bahkan internasional dan memiliki nilai akademik yang lebih tinggi dibandingkan siswa dari kelas sains. "Apa mereka mau ditunggu?" kata Stella tak yakin. Belum sempat Samuel menjawab pertanyaan sahabatnya itu, Clara tiba-tiba melintas di hadapan mereka. Menarik sisi nekat dalam diri Stella untuk berlari menyusul dan menghentikan langkah kaki cewek berambut pendek itu. Clara mengerutkan keningnya bingung, meski mulutnya tidak mengucapkan apa-apa. "La, pulang sendiri?" Stella tersenyum ramah. "Gimana kalau lo bareng sama kita aja?" Clara melihat Samuel yang berjalan menghampiri mereka dan membuang wajah ke sembarang arah untuk beberapa detik. Ia kemudian menatap Stella dingin dan menggeleng. "Nggak bisa." Stella mengernyit. "Kenapa?" Ganisa lalu muncul di sana dan merangkul Clara akrab. Ia menyunggingkan senyumnya dan melambai pada Samuel. "Karena Clara mau antar gue ke salon." Ganisa dan Clara saling beradu pandang. Ada tatapan berbeda yang dilemparkan ratunya Nusantara kepada sahabatnya itu dan Stella tidak berhasil memahaminya. "Iya, 'kan, Lala?" Clara menarik napas dan mendengus jengah sebelum kembali melihat Stella dan Samuel di depannya. "Sori, mungkin lain kali," katanya lalu berbalik. Clara pergi sementara Ganisa melihat Stella dengan pandangan meremehkan dari tempatnya. "Poor, Stella." Ia lantas menyibak rambut ombrenya ke belakang dan menyeringai penuh kemenangan, "I just stole your bestfriend." lalu pergi mengikuti kemana arah Clara pergi tadi. Stella mengepalkan kedua tangannya saat melihat punggung Ganisa yang semakin lama semakin hilang dari pandangannya. Seniornya itu benar-benar ingin membalas dendam rupanya. Bukankah Ganisa seharusnya sudah puas dengan satu kematian saja? Ataukah cewek itu berniat membunuh Karen yang lain? Samuel menepuk-nepuk bahu Stella pelan. "Udahlah, nggak usah dipikirin." Mencoba meredakan suasana panas yang terjadi di hadapannya. "Kita pulang aja, yuk?" Stella menoleh. "Naik apa?" "Mobil," kata Samuel. Ia mengangkat kedua sudut bibirnya dan mengacak-ngacak puncak kepala cewek berambut panjang di depannya gemas. "Lo lupa kalau gue selalu bawa mobil ke sekolah, ya?" Juna tiba-tiba saja melintas di tengah-tengah mereka, membelah jarak hingga keduanya minggir beberapa langkah ke samping dan pergi begitu saja tanpa mengucapkan kata maaf. Membuat Samuel dan Stella terkejut sekaligus heran dengan kelakuan preman sekolah yang pernah menjadi sahabat mereka itu. Keduanya lalu bertukar pandang. "Dia kenapa?" tanya Samuel. Cewek yang cukup popular di SMA Nusantara karena wajahnya yang cantik itu hanya mengangkat kedua bahunya singkat. "Satu, dia punya dendam pribadi sama kita atau dua, dia memang udah nggak punya otak." Samuel terkekeh geli. "Lo memang siswa terkeren di SMA Nusantara. Yaudah, yuk!" Samuel kemudian membiarkan Stella duduk di jok depan sebelum akhirnya meninggal pelataran sekolah. Untuk memecah keheningan, sang pemilik mobil sengaja menyalakan radio yang kebetulan tengah memutar lagu Sephia milik Sheila on 7. "Lagunya--" "Lagu kesukaan Karen, 'kan?" sela Samuel percaya diri. Ia melirik Stella sesaat sebelum kembali fokus pada kemudi. "Dia suka lagu ini karena maknanya yang cukup dalam." Stella mendengus pendek. "Dalam apanya? Dari sekian banyak lagu, kenapa harus tentang perselingkuhan, coba?" Ia kemudian melipat kedua tangannya di d**a dan menggeleng tak habis pikir. "Gue lebih suka lagu-lagu yang upbeat dan modern biar lebih semangat." Namun Samuel justru tertawa. Ia melihat Stella dan mengangkat kedua alisnya. "Okay, Nona Penuh Semangat. Apa sekarang kita langsung pulang atau mau cari makan dulu?" "No," ucap Stella cepat. "Gara-gara Ganisa, gue jadi nggak berselera makan. Gue beneran penasaran, alasan kenapa Clara akhirnya menghindari gue dan lebih milih temenan sama musuh bebuyutan kita dulu. Menurut lo kenapa?" Cowok berkulit putih itu menggelengkan kepalanya. "Entahlah. Kenapa nggak cari tahu aja? Sekarang lo nggak sendiri, gue bisa ikut bantu." Cewek itu menoleh antusias. Wajahnya yang sebelumnya memberengut kini terlihat sumringah. "Serius lo mau bantu?" "Yap. Gue bantu lo cari tahu soal Clara dan lo bantu gue nemuin pembunuh Karen." Garis senyum di bibir Stella turun seketika. Matanya membulat tak percaya. "Gimana? Setuju?" "Sam, kasus Clara dan Karen itu beda," kata Stella berhati-hati. "Kematian Karen itu udah masuk ke ranah kriminal. Kalau kita salah langkah, bisa berbahaya tahu." "Gue nggak bisa nerima kematian sepupu gue gitu aja sementara pelakunya masih ada di luar sana." "Sam, jangan coba-coba melewati batas," tukas Stella mengingatkan. "Stella, please." "Sam--" "Kalau bukan minta bantuan lo, gue harus percaya sama siapa lagi?" Kali ini suara Samuel terdengar naik satu oktaf. Ia kemudian menepikan mobilnya dan menyeka wajahnya frustrasi. "I really need your help, Stella. I really need." Stella membalas tatapan Samuel dengan pandangan prihatin. Entah bagaimana, tiba-tiba saja perasaan iba itu muncul begitu saja dalam benak seorang Stella. TRIIIING! Sebuah dering notifikasi muncul di ponsel Stella dan Samuel dalam waktu yang bersamaan. Sebuah pesan di dalam grup chat yang pernah mereka buat ketika Karen masih hidup. Bahkan nomor dan Nama Karen yang lamapun masih tersedia di sana, tidak ada siapapun yang berani menendangnya keluar. "Grup, ya?" Samuel baru mengeluarkan ponselnya beberapa detik setelah Stella. Dan raut muka keduanya langsung berubah syok saat mereka selesai membaca isi pesan dan mengetahui siapa yang mengirim pesan di grup chat tersebut. Stella meneguk salivanya dengan susah payah. "Ka--karen?" "Karen kirim pesan di grup chat yang udah lama banget kita lupain." Samuel dan Stella lalu beradu pandang. "Sekarang bagaimana?" [] Karenina : Someone please help me.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD