• TUJUH •

1046 Words
 Sebelas hari setelah kematian Karen. SMA Nusantara, Jakarta. Stella bangkit dari kursinya setelah selesai membereskan semua buku-bukunya dari atas meja. Sejak sebelas hari yang lalu, atau setelah kabar kematian Karen tersebar di sekolah, Clara memutuskan untuk bertukar tempat duduk dengan Samuel. Clara duduk dengan Sinta sementara Samuel tidak keberatan untuk duduk dengan Stella. Selain karena Stella dapat membantunya mengerjakan tugas, Samuel memang selalu merasa nyaman di dekat cewek itu. Clara, Stella dan Karen pertama bertemu di kelas tiga SMP. Lalu mereka bertiga bisa mengenal Juna, Samuel dan Dimas ketika melewati masa orientasi di SMA dan berteman baik sampai sekarang. Sayang, satu peristiwa telah mengubah segalanya. "Mau langsung pulang?" tanya Samuel. Stella mengangguk dan membawa ransel kecilnya di punggung. Cowok dengan sedikit poni pada rambutnya itu pun beranjak dari kursi dan menarik tasnya dari atas meja. "Mau bareng?" Namun cewek itu menggeleng cepat. Membuat rambutnya yang diikat dan dibiarkan menjuntai ke belakang itu bergerak mengikuti gerakan kepala sang empunya. "Gue harus ketemu sama Juna dulu," katanya memberi tahu. Yang justru membuat Samuel berkerut kening karena penasaran bercampur bingung. "Juna? Ada apa?" Stella tersenyum tipis dan mendorong perut Samuel. "Kepo, ya?" tanyanya dengan nada menggoda. Membuat Samuel tertawa geli di tempatnya. Wajah Stella yang sedang menggodanya benar-benar menggemaskan dan Samuel tidak dapat mengendalikan perasaannya karena hal itu. "Oke whatever. Ayok gue antar ke kelasnya," tandas Samuel. Ia lalu merangkul bahu Stella dan mengajaknya keluar meninggalkan kelas. Begitu Stella dan Samuel sampai di luar kelas, sosok Juna dan Dimas tiba-tiba muncul di sana. Mereka berdiri sambil melihat tangan Samuel yang masih bertengger di pundak Stella dengan pandangan penasaran. Membuat Samuel merasa tak nyaman dan segera menurunkan tangannya dari cewek itu. "Kalian di sini?" tanya Samuel berbasa-basi. Dimas tersenyum dan menyerahkan lembaran flyer kepada Samuel dan Stella. Dengan suara penuh percaya diri, ia berkata, "Selain ikut lomba nasional, gambar gue juga bakal ikut di pentas seni nanti." Ia melihat Stella dan menepuk-nepuk lembut puncak kepala cewek itu hingga membuat kedua pipi Stella merona seketika. "Jangan lupa dukung gue di pentas seni nanti ya, Stell." Samuel dan Juna memberikan tatapan tak suka pada sikap Dimas barusan. Sedangkan Stella hanya mengangguk dan menyeringai tipis untuk merespons permintaan Dimas barusan. "Gue mau ambil tema tentang persahabatan, terus gue kepikiran gitu sama lo," sambung Dimas bangga. "Kalau misalnya nanti gue ngejadiin lo sumber inspirasi gue dan gue tulis nama lo, boleh nggak?" Namun Juna menyela. "Sahabat lo bukan cuma Stella kali," lalu menyilang kedua tangannya di d**a. "Lo bisa gambar muka gue, kalau nggak ya mukanya si Samuel tuh." Cowok bermata sipit itu lantas mendelik jijik pada Juna. "Udahlah, gue balik duluan ya, Stell," katanya lalu pergi begitu saja. "Dasar nggak sopan!" seru Juna pada punggung Dimas yang perlahan mulai menjauh dan menghilang. Ia kemudian melihat Stella dan mengangkat dagunya. "Ayok!" "Kalian mau kemana?" tanya Samuel penasaran. "Gue boleh gabung?" Juna sontak mencondongkan wajahnya kepada Samuel dan berkata, "Enggak." dengan lugas sebelum akhirnya melenggang pergi lebih dahulu. Sebelum Stella menyusul, Samuel langsung menahan tangan cewek itu dan mata mereka beradu sekarang. "Ingat, Stell. Pembunuhnya bisa salah satu di antara sahabat-sahabat kita juga. Lo harus waspada. Ok?" Dan Stella pun mengangguk paham. "Duluan ya, Sam." Cewek itu berjalan menyusuri koridor dan berhasil menyusul Juna yang juga memperlambat langkahnya. Mereka kini berjalan beriringan menuju area parkir, tempat dimana Juna memarkirkan motor sportnya. Butuh waktu sekitar dua menit sampai Juna selesai mengeluarkan motornya dari pelataran parkir yang penuh dan menemui Stella di gerbang sekolah. "Pakai," suruh Juna sembari menyodorkan helm kepada Stella. "Gue doyannya ngebut, jadi nggak bisa tanggung jawab kalau lo sampai jatuh dan gegar otak gara-gara dibonceng sama gue." Stella memutar kedua matanya malas dan menerima helm yang diberikan oleh Juna. Ia memakainya dan naik ke atas motor hitam milik Juna sesegera mungkin. Kemudian motor yang dikendarai berandalnya SMA Nusantara tersebut melaju dengan kecepatan tinggi ke suatu tempat. *** Stella akhirnya sampai di depan rumah Juna. Rumahnya memang terbilang cukup besar untuk ditinggali oleh dua orang saja. Namun tampaknya, Juna tidak terganggu dengan hal itu. Bahkan rumornya, Juna memang jarang pulang ke rumahnya. "Lo mau berdiri di situ sampai kapan?" Juna melepaskan helm setelah selesai memarkirkan motornya di dalam garasi. "Ayo masuk." Stella pun ikut melepaskan helmnya dan meletakkannya di atas spion motor Juna sebelum mengekor di belakang cowok bertubuh tinggi itu dan masuk ke dalam rumah. Dulu, mereka berenam sering datang dan berkumpul di rumah Juna untuk menghibur cowok itu setelah kedua orang tuanya bercerai. Juna hanya tinggal dengan ibunya sekarang, sementara ayahnya ... sudah menikah lagi dengan perempuan yang diduga sebagai selingkuhan ayahnya saat ayah dan ibunya masih menjadi suami istri. "Udah lama ya, Jun," tutur Stella sedih. Matanya yang hitam dan besar menyapu seluruh ruangan dengan cepat. Membangkitkan kembali ingatan tentang kenangan mereka berenam sebelum semuanya berubah. "Nggak banyak yang berubah dari rumah lo ternyata." Juna tersenyum pahit. "Nyokap sibuk di kantor dan gue lebih sering nginep di rumah temen," terangnya. "Kalian juga udah jarang datang. Jadi, ya, gitu deh." Stella menepuk bahu Juna dua kali. "Sori. Gue janji bakal lebih sering datang dan main ke sini nanti." Membuat cowok itu tertegun untuk beberapa saat. Ia kemudian mendengus geli dan berjalan menuju dapur yang tidak jauh dari ruang utama. Juna mengambil dua kaleng soda dan menyodorkan salah satunya pada cewek yang kini duduk di sofa bersamanya. "Jangan minum soda terus, nggak baik buat kesehatan," kata Stella sembari menerima minuman yang diberikan Juna. "Iya, iya. Bawel juga lo kaya nyokap gue," balas Juna malas. "Oiya, soal Karen. Ada sesuatu yang mau gue tunjukkin sama lo." Stella mengangguk paham setelah meneguk soda miliknya dan meletakkannya di atas meja. "Itu kan memang tujuan awal gue datang ke sini. Anyway, sebenarnya apa yang mau lo tunjukin ke gue?" "Sebentar." Juna menyimpan kaleng soda miliknya yang belum dibuka di sebelah kaleng milik Stella sebelum beranjak dan pergi mengambil kotak kecil dari kamarnya. Ia kembali dan memberikan kotak kecil tersebut kepada Stella. "Apa, nih?" "Buka aja," titah Juna. Stella pun menurut dan membuka kotak kecil berwarna biru itu. Matanya yang hitam sontak melebar kaget saat menemukan gelang yang ia tahu milik Karen ada di dalamnya. Stella membeli tiga gelang dengan masing-masing namanya, Clara dan Karen di bagian dalamnya sebagai kenang-kenangan sepulangnya ia dari Yogyakarta. Ia tidak mungkin lupa karena sampai saat ini, Stella sendiri masih menggunakan gelang tersebut. "Juna, kenapa gelang Karen bisa ada di tangan lo?" []
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD