Buah bibir

1529 Words
Olivia, Rena, dan Ardi kini tengah berada di kantin. Mereka tengah menikmati waktu istirahat mereka. Mereka memang terbiasa pergi bertiga untuk makan siang. Rena dan Ardi melihat ke arah Olivia yang sejak tadi terlihat murung. Apalagi setelah meeting selesai siang tadi. “Vi, apa yang lo pikirin? Apa lo nggak lapar? Dari tadi makanannya cuma lo aduk-aduk gitu?” tanya Rena. “Apa lo masih memikirkan soal atasan baru kita?” tebak Ardi. “Gue cuma takut, pengganti Pak Farhan nggak suka sama kinerja gue. Kalau sampai semua itu terjadi, gue pasti akan dipecat,” ucap Olivia sambil menundukkan wajahnya. Rena mengusap punggung Olivia. “Lo jangan berburuk sangka dulu. Kan tadi lo juga sudah dengar, kalau yang akan menggantikan Pak Farhan itu putra tunggalnya. Pasti dia 11 12 dengan Pak Farhan sifatnya. Kan mereka ayah dan anak.” “Mana ada sih cowok yang nggak suka sama lo. Apalagi melihat body lo itu. Gue yakin, atasan baru kita nanti akan semakin betah berada di kantor,” canda Ardi. Olivia menatap tajam ke arah Ardi. Sedangkan yang ditatap hanya menyengir kuda. Olivia, Rena, dan Ardi mendengar suara-suara yang tidak mengenakan untuk di dengar. Para karyawan wanita yang juga tengah menikmati makan siang mereka di kantin kantor. Kini tengah membicarakan status baru Olivia. “Aku yakin, suami Olivia menceraikan Olivia karena dia nggak bisa melayani suaminya dengan baik.” “Untuk apa punya badan seksi, kalau nggak bisa muasin suami.” “Aku dengar mantan suaminya itu kaya raya. Pasti Olivia mendapat harta gono gini nih.” Rena dan Ardi merasa panas saat mendengar celotehan yang sama sekali tidak enak di dengar. “Apa mulut mereka nggak pernah di sekolahin apa? punya mulut kok lemes!” seru Rena kesal. “Biar gue beri pelajaran mereka semua!” Ardi pun tak kalah emosinya seperti Rena. “Jangan!” seru Olivia saat melihat Ardi yang akan beranjak dari duduknya. “Biarin aja, terserah mereka mau ngomongin gue apa. Gue nggak peduli. Toh, mereka hanya berani bicara di belakang gue,” lanjutnya kemudian. “Tapi Vi, kali ini mereka udah keterlaluan. Mereka harus di kasih pelajaran agar tu mulut nggak lemes lagi!” seru Rena semakin kesal. “Lo itu jangan hanya diam aja. Mereka lama-lama bisa ngelunjak tau nggak!” timpal Ardi. “Lo mau kemana?” tanya Rena saat melihat Olivia beranjak dari duduknya. “Gue mau balik kerja dulu. Gue udah nggak selera makan.” Olivia lalu melangkah pergi keluar dari kantin itu. "Apa salahnya menjadi seorang janda? Toh itu juga bukan keinginan gue. Andai gue bisa memilih, gue juga tak ingin menjadi janda diusia muda kayak gini," gumam Olivia dalam hati. Olivia menghela nafas panjang. “Semangat Olivia. Semangat!” Rena masih menatap kepergian Olivia. Ia lalu mengepalkan kedua tangannya. “Semua ini gara-gara mereka!” Rena beranjak dari duduknya. Ia lalu melangkah mendekati meja tempat 4 orang wanita yang tadi membicara kan Olivia. Ia tidak akan terima jika sahabatnya sampai di hina hanya karena status janda nya. Rena menggebrak meja mereka, hingga membuat keempat wanita itu terkejut. “Apa-apaan sih kamu!” seru salah satu wanita itu. “Apa maksud kata-kata kalian tadi, hah! Kalian itu jangan asal bicara ya! Kalau nggak tau apa-apa itu jangan lemes tu mulut!” bentak Rena dengan emosi yang memuncak. “Kenapa kamu marah! Memang kenyataannya kayak gitu kan? Olivia kan baru 6 bulan menikah. Sekarang suaminya menceraikan dia. Masa baru 6 bulan menikah, dia sudah menjadi janda,” hina wanita itu. “Jaga ya mulut lo! Kalau nggak, jangan salahkan gue kalau mulut lo gue robek-robek nantinya!” acam Rena dengan geram. “Sayang. Lebih baik kita pergi dari sini. Jangan membuat keributan,” bujuk Ardi. Salah satu wanita menyunggingkan senyumannya. “Sudah sana pergi, kayaknya pacar kamu udah minta disusui tuh,” sindirnya. Ardi mengepalkan kedua tangannya. “Jaga ya mulut lo! Gue diam bukan karena gue takut sama kalian. Tapi, karena gue nggak mau membuat masalah di kantor. Seandainya sekarang kita nggak sedang berada di area kantor, udah gue habisin kalian semua!” ancamnya. Ardi lalu menggebrak meja. “Sekali lagi gue denger kalian menggosipkan Olivia, gue nggak akan tinggal diam seperti sekarang. Kali ini, gue biarkan kalian tetap selamat, tapi tidak akan ada lain kali!” ancamnya. Ardi lalu menarik tangan Rena untuk pergi menjauh. “Ar, kenapa sih lo melarang gue memberi pelajaran kepada mereka?” kesal Rena. Ardi menggenggam tangan Rena. “Bukan begitu, Sayang. Gue hanya nggak ingin sampai lo kena masalah nantinya. Apa lo lupa, kalau sekarang kita masih ada di area kantor? Lo nggak mau sampai kehilangan pekerjaan lo hanya gara-gara mereka ‘kan?” Rena mendecak kesal. “Awas aja kalau sampai mulut mereka lemes lagi. Nggak akan gue ampuni lagi!” “Gue juga akan bantu lo untuk memberi mereka pelajaran. Gue juga nggak terima kalau sampai ada orang yang menghina Olivia kayak tadi.” Rena menarik tangan Ardi dan mengajaknya ke tempat yang sepi. Ardi tersenyum. “Sayang, kenapa lo ngajak gue kesini? jangan bilang lo mau ngajak gue in the hoy ya,” godanya. “Ar. Gue mau lo jujur sama gue.” Ardi mengernyitkan dahinya. “Jujur? Soal?” tanyanya bingung. “Gue tau, kalau selama ini lo suka sama Olivia. Dan gue juga tau, kalau gue cuma lo jadikan pelarian. Gue mau terima lo, karena gue juga butuh seseorang untuk dijadikan tempat pelarian sakit hati gue.” Ardi tersenyum. Ia lalu menangkup kedua pipi Rena. Ia lumat bibir Rena dengan sangat lembut. Rena pun membalas ciuman yang diberikan oleh Ardi. Meskipun hanya sesaat, mereka sangat menikmatinya. Ardi menggenggam tangan Rena. “Kita jalani aja dulu apa adanya. Jika suatu saat lo menemukan pria yang lebih baik dari gue. Gue akan lepas lo. Gue nggak akan pernah mengikat lo untuk selalu bersama gue,’ ucapnya dengan senyuman di wajahnya. Rena menganggukkan kepalanya. Ia juga menyadari, jika ia belum bisa mencintai Ardi dengan sepenuh hati. Saat ini Olivia sedang berada di ruangan Farhan. Farhan sengaja meminta Olivia untuk ke ruangannya, karena ada sesuatu yang ingin ia bicarakan dengan wanita yang sudah menjadi sekretarisnya selama 2 tahun terakhir ini. “Silahkan duduk,” pinta Farhan saat melihat Olivia yang kini tengah berdiri di depan meja kerjanya. Olivia menganggukkan kepalanya. Ia lalu menarik salah satu kursi yang berada di depan meja kerja Farhan. “Kamu pasti merasa penasaran, kenapa saya meminta kamu untuk datang ke ruangan saya.” Olivia hanya mampu menganggukkan kepalanya. “Saya hanya ingin meminta satu hal sama kamu. Saya ingin kamu tetap bekerja seperti sekarang ini, meskipun bukan saya yang akan menjadi atasan kamu. Saya juga ingin kamu tau, kalau anak saya itu mempunyai sifat yang jauh bertolak belakang dengan saya.” Olivia tidak mampu menjawab. Hanya kedua matanya yang membulat dengan sempurna, saat mengetahui kenyataan, jika setelah ini ia akan bekerja dengan pria yang jauh dari angannya. “Saya berharap kamu bisa bertahan dengan segala sikap keras kepalanya. Meskipun begitu, sebenarnya anak saya itu mempunyai hati yang baik.” “Kalau saya boleh tau, siapa nama anak Pak Farhan yang akan menjadi atasan baru saya?” Olivia akhirnya memberanikan diri untuk bertanya. Farhan tersenyum. “Akhirnya kamu menanyakan namanya. Nama anak saya adalah Devan. Sekarang dia masih berada di Amerika. Seminggu lagi dia akan kembali ke Indonesia. Dan saat itu juga, dia akan bekerja di kantor ini dan menjabat sebagai CEO perusahaan ini,” jelasnya. Olivia mengangguk mengerti. “Saya akan berusaha semampu saya, Pak. Saya juga tidak ingin sampai mengecewakan Pak Farhan yang selama ini sudah sangat baik terhadap saya.” Farhan tersenyum, ia lalu mengambil sebuah amplop dari dalam laci meja kerjanya. “Ini sebagai ucapan terima kasih saya atas kerja kerasmu selama ini,” ucapnya sambil menyodorkan amplop itu kepada Olivia. “Tapi, Pak....” Olivia tidak langsung menerima amplop itu. “Terimalah, saya akan merasa kecewa kalau kamu tidak mau menerimanya.” Dengan sangat terpaksa, Olivia akhirnya menerima amplop itu. “Terima kasih, Pak,” ucapnya kemudian. Farhan menganggukkan kepalanya. “Sekarang kamu bisa kembali bekerja.” Olivia menganggukkan kepalanya. Ia lalu beranjak dari duduknya dan pamit undur diri. Olivia tengah duduk di kursi kerjanya. “Pak Farhan memang bos yang paling baik,” ucapnya saat melihat isi amplop yang tadi diberikan oleh Farhan. "Akhirnya akhir pekan nanti gue bisa shopping," gumam Olivia dalam hati. Olivia menghela nafas. Ia teringat akan kata-kata yang tadi atasannya ucapkan kepadanya. “Devan. Gue jadi penasaran seperti apa sih orangnya. Kenapa juga sifatnya bertolak belakang dengan Pak Farhan? Apa dia lebih mirip dengan ibunya ya?” Olivia menggeleng-ngelengkan kepalanya. “Astaga! Untuk apa juga gue memikirkan tu orang. Kenal juga nggak! Mendingan gue memikirkan baju apa yang akan gue beli nanti. Bonus dari Pak Farhan lumayan banyak nie. Untuk biaya hidup gue satu bulan aja masih sisa banyak.” Olivia sudah memikirkan barang apa saja yang akan dibelinya dengan uang yang baru saja ia dapat sebagai bentuk ucapan terima kasih atas kerja kerasnya selama ini. “Em... gue juga akan mentraktir Rena dan Ardi. Udah lama juga gue nggak pergi jalan sama mereka. Selama ini mereka selalu ada disaat gue butuh teman untuk berkeluh kesah. Mereka memang sahabat terbaik yang pernah gue miliki, selain si Rian!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD