Bab 2 Runyam

1002 Words
Berkali-kali Silvi mengerjai Vanesa agar dia mau menjauhi Arkan. Mulai ban dikempeskan saat pulang kuliah dan beberapa kali ia diperlakukan hal yang sama. Akhirnya, dengan terpaksa Vanesa memilih untuk menjauh. Bukannya dia takut dengan Silvi, tetapi dia tak ingin berlarut-larut berurusan dengannya. Dia terlalu capek, untuk menghiraukan wanita itu. "Heh, Silvi. Dengar ya, ingat baik-baik. Aku mulai hari ini, tak akan mau berdekatan dengan Arkan. Bukan karena aku takut denganmu, tapi aku malas berurusan dengan wanita gila sepertimu. Hanya karena cowok kamu jadi dangkal pikirannya, kasian, ya. Jangan sampai bunuh diri, kalau suatu saat nanti Arkan menikah dengan yang lain!" Vanesa memilih untuk pergi menjauh sebelum Silvi menjawabnya. Silvi hendak mengejarnya, namun beberapa temannya berhasil untuk menghentikannya. "Sil, sudahlah. Dia mengakui kekalahannya, buat apa ngurusin dia lagi. Nggak mau jadi panjangkan, berjuanglah demi Arkan kembali." Temannya mengatakan itu. Silvi pun menyeringai, merasa tak ada saingan lagi untuk mendapatkan Arkan. ____ Sejak saat itu, Vanesa perlahan mencoba menjauh dari Arkan. Dia cewek yang tak mau ribet dan ribut, sehingga dia memilih untuk menjauh yang menurutnya menyebalkan. Arkan berkali-kali bertanya ke Vanesa apa alasannya menjauhinya, tapi tak pernah sekali pun mendapatkan jawaban yang pasti darinya. "Van, kenapa kamu jadi begini? Kenapa kamu menjauhiku?" tanya Arkan saat berjalan di koridor kampus itu. "Aku nggak mau ribet dan ribut sama orang. Jangan dekati aku, atau aku bakal laporkan ini semua ke dekan," ujar Vanesa mengancam Arkan. "Maksudnya gimana?" tanya Arkan. "Nggak perlu kamu cari tahu, apa yang sebenarnya sudah kamu ketahui. Aku ke sini hanya ingin menempuh pendidikan, tak ingin mencari musuh!" Vanesa semakin cepat melangkahkan kakinya. Arkan memilih untuk menghentikan langkahnya saat itu juga, sebab dia tak ingin mendapat masalah di kampus ini. 'Aku tahu, ini pasti perbuatan Silvi. Mau apa sih, itu cewek!" Karen kejadian ini tak hanya sekali, sehingga membuat Arkan hafal siapa penyebab kejadian ini. Dia tahu, jika Silvi menyukainya tapi bukan begini caranya. Arkan mendatangi Silvi yang sedang duduk di kantin bersama teman-temannya. "Silvi, ikut aku!" Arkan menarik tangan Silvi dengan kuat. Silvi malah tersenyum walaupun diperlakukan Arkan dengan kasar. Arkan menghentikan langkahnya di halaman kampus itu. "Maksud kamu apa, sih? Kenapa kamu melakukan ini semua?" tanya Arkan. Dengan pertanyaan Arkan yang tiba-tiba, membuat Silvi bingung dengan maksudnya. "Maksudnya gimana, Arkan? Aku nggak paham." Silvi bingung "Jangan pura-pura nggak tahu. Kamu apakan Vanesa, sehingga dia menjauhiku. Dia memblokir semua sosial mediaku, maumu apa, sih?" bentak Arkan. "Aku hanya mau, kamu. Aku nggak rela jika Vanesa mendekatimu, Arkan," ujar Silvi dengan lembut. Arkan mengepal tangannya, lalu memukulkan tangannya itu ke tembok pagar hingga berdarah. "Hah! Aku muak dengan semua itu!" teriak Arkan. "Arkan, jangan seperti ini. Aku sayang sama, kamu. Aku nggak rela, jika orang lain terlihat dekat denganmu," ujar Silvi dengan seenaknya. Dia mencoba meraih tangan Arkan. "Kalau kau masih mau temenan sama aku, jangan seperti itu. Aku muak! Aku bilang, aku hanya menganggapmu tak lebih dari seorang teman. Nggak ada hak kamu untuk menjauhkan aku dari siapapun!" Arkan mengatakan itu dengan penekanan. Dia tak ingin emosinya meluap di hadapan seorang wanita. "Tapi, Arkan. Aku sayang banget sama, kamu. Aku mohon, izinkan aku untuk memiliki kamu," rengek Silvi. "Nggak bisa, tak mungkin aku memaksakan perasaanku. Aku sayang sama Vanesa, Sil. Aku mencintai dia, jangan buat aku marah sama kamu karena mencoba menjauhkanku dengannya," jawab Arkan. "Nggak boleh, Arkan. Aku nggak rela, dia bukan wanita baik-baik. Hanya aku yang boleh memilikimu." Silvi tetap kekeh dengan pendiriannya. "Ingat perkataanku! Kamu, tak berhak melarangku dekat dengan siapapun, termasuk Vanesa juga. Kalau kau berani macam-macam, jangan harap kita bisa dekat lagi," ancam Arkan, lalu dia melangkahkan kaki kembali kekelasnya. Arkan sadar, dia terlalu kasar dengan ucapannya tetapi dia juga sadar si Silvi tak berhak untuk mengatur hidupnya. Apalagi masalah pasangan, itu semua hak penuh keputusannya. Arkan berjalan menuju kelasnya. Saat masuk, dia melihat Vanesa duduk sendiri sembari memainkan barang kecik yang disebut ponsel. "Van," panggil Arkan dengan lembut. Vanesa yang sebelumnya tersenyum sendiri menatap ponselnya, saat ini melirik ke arah Arkan. Saat mengetahui Arkan beranjak dari tempat duduknya, Vanesa sontak berdiri dan hendak pergi dari sana. Namun, dengan cepat Arkan menarik tangan Vanesa. "Van, aku tahu ini semua kerjaan Silvikan. Aku sidah bicara sama dia, jika tak pantas mengatur hidupku." Arkan mencoba menjelaskan. Vanesa menoleh ke arahnya, lalu menyeringai. "Semudah itu kamu mengatakan itu, atas apa yang sudah mereka lakukan terhadapku, hah! Ingat, aku tak akan memaafkannya." Vanesa menghempaskan tangan Arkan dengan kuat. "Vanesa," panggil Arkan kembali. Vanesa tetap berjalan, entah kenapa dia merasa sedih kala melihat Arkan sungguh-sungguh mengatakannya. 'Maaf Arkan, aku hanya tak ingin bermusuhan dengan siapapun. Aku hanya ingin bersungguh-sungguh mencari ilmu.' Hingga jam pulang mereka, Vanesa tetap kekeh menjauhinya. "Van, kamu boleh menjauhiku, tapi jangan blokir semua sosial mediaku. Aku mohon," rengek Arkan. "Please, Arkan. Jangan ganggu aku." Vanesa memohon ke Arkan. "Aku suka sama kamu," ujar Arkan sembari meraih tangan Vanesa. "Arkan!" teriak Silvi yang mendengar perkataan Arkan. "Maaf, aku nggak bisa." Vanesa mencoba pergi meninggalkan Arkan. "Van, aku mohon," pinta Arkan. "Arkan, apa-apaan, kamu? Jangan dengan wanita jal@ang ini. Dia hanya mencoba merayumu!" Silvi mengatakan itu, sontak membuat hati Vanesa sakit karena itu. Plak! Vanesa menampar pipi Silvi dengan kuat. "Jaga ucapanmu, aku tak seperti yang kau katakan. Ambil saja laki-laki itu!" Vanesa segera masuk ke dalam mobil. "Silvi!" teriak Arkan. Arkan mencoba menggedor kaca mobil Vanesa. "Van, tunggu. Dengarkan aku." Arkan merengek. "Arkan, berhenti! Nggak usah kejar dia, untuk apa?" tegur Silvi. "Silvi! Kamu kelewatan. Jangan dekati aku lagi, aku muak dengan sikapmu!" Arkan pergi meninggalkan Silvi sendirian di parkiran. 'Vanesa, gara-gara ini semua. Kau menghancurkan hubunganku dengan Arkan, kenapa kau harus datang?' Arkan bergegas masuk ke dalam mobilnya hendak menyusul Vanesa. Sedangkan Vanesa menangis terisak di dalam mobil. "Arkan!" teriak Vanesa di dalam mobilnya. Dia merasa tak ada masalah apa-apa, namun harus bermusuhan dengan Arkan. Dia tahu, Arkan orang yang baik tapi gara-gara Silvi yang egois membuat semua menjadi runyam seperti ini. "Aku nggak habis pikir dengan Silvi, kenapa dia bisa seperti ini?" gumam Vanesa, berbicara sendiri di dalam mobilnya. Tangannya tanpa ia sedari memukul-mukul pahhanya sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD