Bab 3

1016 Words
Di pertengahan jalan, mobil Arkan segera berhenti tepat di depan mobil Vanesa. Untung dengan cepat Vanesa mengerem mobilnya, hingga tak terjadi tabrakan antara mobil mereka berdua. "Gila! Apa-apaan sih, Arkan?" gumam Vanesa. Vanesa dengan cepat turun dari mobil, begitu juga dengan Arkan. Dia turun dari mobil lalu menghampiri Vanesa. "Gila lu, ya? Mau cari mati?" Vanesa marah terhadap Arkan karena perbuatannya baru saja. "Van, aku mohon jangan seperti ini. Jangan hiraukan Silvi, dia memang seperti itu. Tapi, aku tak pernah suka dengan dia, apalagi sikapnya yang seperti ini," pinta Arkan mencoba membujuk Vanesa. "Selama kita masih di sana, jangan harap aku mau dekat dengan kamu. Sebenarnya sih, antara kita nggak ada masalah apapun. Aku cuma malas berurusan dengan cewek itu. Aku tak mwu ribet hidup itu," ujar Vanesa dengan enteng. "Tapi dia bukan apa-apa aku, Van." Arkan tetap merengek. "Tapi dia hilang akal sehatnya. Kau bisa negur dia, tapi kau tak bisa mencegah perilakunya. Oke, di depanmu dia bisa berlagak tak terjadi apa-apa, tapi di belakangmu di akan mencoba menyingkirkan yang menurutnya lawan dia. Aku tak ingin punya masalah di kampus itu." Vanesa dengan gigih menjelaskan itu ke Arkan. Arkan, tak bisa memendam amarahnya sebab perlakuan Silvi. Dia merasa terganggu dan tak leluasa dekat dengan siapapun, jika Silvi masih seperti itu. "Terus, mau kamu apq?" tanya Arkan. "Kita tak usah dekat dan berhubungan apapun. Aku cuma mau lihat seserius apa kamu. Aku janji, mau dekat denganmu jika lulus kuliab nanti. Toh, pasti perasaanmu kamu ke aku akan hilang dengan sendirinya, jadi aku tak perlu bersusah payah menjauhimu jika rasa itu hilang. Namun, jika rasa itu tetap ada sampai akhir kuliah nanti, tagih janjiku. Kamu dengar itu semua?" tanya Vanesa. "Kenapa harus begitu? Apa nggak ada cara lain?" tanya Arkan meminta pertimbangan lagi. Vanesa hanya menggelengkan kepalanya, seraya melipat tangannya di atas perut. "Van, tapi aku beneran suka dan sayang sama kamu. Oke, kita bisa jauhan di kampus, tapi izinkan aku untuk tetap menghubungi kamu," pinta Arkan masih nggak terima dengan keputusan Vanesa. "Untuk apa? Nggak usah, aku sudah memikirkan itu matang-matang. Memang keputusan itu yang terbaik untuk kita." Vanesa melangkahkan kaki kembali masuk ke dalam mobilnya. "Tapi, Van?" Arkan tetap kekeh mengejarnya. "Terserah, kau mau atau tidak dengan keputusan itu. Jika kamu memang sayang sama aku, pastinya kamu paham dengan maksudku." Vanesa menutup pintu mobilnya, lalu segera melajukannya kembali menjauh dari Arkan. Arkan hanya sanggup menatap mobil Vanesa menjauh dari pandangannya. Batinya masih mencoba menolak keputusan itu. Sampai akhir kuliah bukan waktu yang sebentar, tepatnya bertahun-tahun. Arkan takut, jika Vanesa malah menyukai orang lain atau bahkan menjadi milik orang lain. ***** Setiap harinya, mereka saling bertemu. Namun, Vanesa kekeh dengan pendiriannya untuk menjauhi Arkan. Seperti apapun usaha Arkan, entah terasa sia-sia. Tepat hari ini, lulusan kuliah. Arkan meminta janji dari Vanesa beberapa tahun yang lalu. Sebab, semakin Arkan mencoba menjauhinya, justru membuatnya sakit hati. Beberapa kali Arkan mencoba mendekati wanita lain untuk melupakan Vanesa, tetapi semua tak ada gunanya. Terkadang ia merasa bodoh, harus berjuang untuk wanita yang belum pasti ia dapatkan. Tapi entah kenapa dia tak paham dengan hatinya, yang selalu yakin dengan pilihannya itu. "Arkan, bertahun-tahun kejadian itu. Kenapa kamu masih mengingatnya? Tak ada wanita lainkah untuk kau sukai?" tanya Vanesa saat tatapan mereka saling bertemu. Arkan membawanya ke suatu tempat, yang ia anggap aman untuk membicarakan itu berdua. Dia tahu, jika Arkan kembali mendekati Vanesa pati Silvi akan mengusiknya. Dia sengaja membawa ke tempat yang mana ia anggap Silvi tak dapar menemukannya. "Aku mau nagih semua janji itu, kamu nggak akan melupakannya kan? Memang aku paham, semua keputusan kembali ke kamu. Aku tahu, aku nggak bisa memaksa kamu juga membalas cintaku, tapi paling tidak aku bisa dekat denganmu," ujar Arkan. Vanesa nggak habis pikir dengam Arkan. Ia kira Arkan sudah melupakan itu dan mampu mencintai orang lain. Namun, tepat hari ini justru kenyataannya berbeda. "Terus aku harus bagaimana? Aku nggak bisa memaksakan perasaanku. Toh, aku milih" ujar Vanesa. Seketika Arkan menghentikan mobilnya. "Gila, kamu, ya. Kalau ada mobil di belakang kita, bisa-bisa kecelakaan." Vanesa kesal sebab Arkan menghentikan mobilnya secara tiba-tiba. Apalagi posisinya tepat di tengah jalan, dia hanya takut terjadi kecelakaan antara mobil mereka dengan yang lain karena kecerobohan itu. Arkan meraih tangan Vanesa, "Apa kamu mempunyai orang lain dalam hidupmu? Apa hatimu sudah menjadi miliknya?" Vanesa tak tega untuk mengatakannya, mata Arkan terlihat berkaca-kaca. 'Aku harus bagaimana? Dia terlihat tulus mengatakannya, kukira semua bakal berubah kala kita saling berjauhan. Aku memilih mencintai orang lain dari pada menunggumu. Aku hanya menyangka kamu tak akan menungguku sejauh ini.' "Vanesa, jawab aku?" tanya Arkan. "Iya, aku mencintai orang lain. Bahkan aku milik orang lain. Bukan waktu yang sebentar menjalin hubungan dengannya, maaf jika aku tak bisa membalas perasaan yang sama denganmu," jawab Vanesa. "Siapa, dia? Aku nggak apa-apa, kok. Asal aku bisa dekat denganmu dan mampu menjadi temanmu lagi, aku sidah senang kok. Jangan pikirkan sakit hatiku. Aku senang mendengar keputusanmu," ujar Arkan mencoba tersenyum. Arkan memilih untuk bijak kala membuat keputusan. Dia sadar, tak bisa memaksakan keadaan. "Arkan, maaf, ya?" tanya Vanesa. Arkan hanya mencoba tertawa untuk menutupi sakit hatinya. "Aku nggak apa-apa, kok. Tenang saja, memang ini keputusanku. Terdengar bodoh memang, tapi hatiku nggak bisa membohongi itu semua. Sudahlah, kita cari makan saja, ya." Arkan kembali melajukan mobilnya. Dengan sakit hati yang berkelut di dalam dadanya, dia mencoba menahan air mata. Dia tak ingin terlihat lemah di depan wanita yang ia cintai itu. Sedangkan Vanesa, hanya menatap Arkan yang fokus menyetir itu. 'Arkan, maafkan aku. Aku nggak tahu, jika kamu akan menagih janji itu. Hah, aku harus bagaimana?' "Arkan, maaf, ya," ujar Vanesa. "Iya, tenang aja. Lupakanlah, aku baik-baik saja, kok. Aku berkali-kali bilang, kamu tak harus membalas perasaanku, dekat denganmu itu cukup bagiku." Arkan menjawabnya, namun enggan menatap ke arah Vanesa. Arkan membelokan mobilnya ke salah satu restoran yang tak jauh dari tempat mereka berhenti tadi. "Kita ke sini, ya." "I-iya," jawab Vanesa terasa canggung. Dia merasa tak enak hati dengan Arkan yang tetap berperilaku baik dengan keputusan itu. Dia menatap Arkan dengan sorot mata yang sayu. Dia tak menyangka, lelaki yang berada di hadapannya terlihat begitu tulus dengan segala ucapnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD