Bab 2. Ana

1360 Words
Ana, perempuan yang lahir dan tumbuh besar di sebuah pedesaan di Pulau Jawa, dibesarkan secara sederhana oleh orang tuanya. Anak pertama dari dua bersaudara, hanya ia dan adik laki-lakinya. Karena kesederhanaannya itu, Ana memutuskan untuk tidak melanjutkan perguruan tinggi dan mengikuti tes pramugari yang sedang dibuka di kota kelahirannya. Tes menjadi pramugari sangat sulit, harus tinggi semampai dengan berat badan yang proporsional. Kebetulan Ana juga kembang desa yang lebih tinggi dibandingkan gadis-gadis lain, dengan diberkahi tubuh yang padat berisi. Otomatis, Ana lulus tes menjadi pramugari dan harus berpindah ke Ibukota untuk mencari uang. Dilepas oleh tangisan dari keluarganya, Ana berangkat ke Jakarta dengan uang seadanya. Dewi Fortuna seakan berpihak kepada Ana, hanya selang 2 bulan semenjak bekerja Ana sudah mulai memiliki uang yang sangat banyak untuk ukuran gadis dari desa sepertinya. Sontak ia pun terbawa arus pergaulan Jakarta, mulai dari sering absen ke klinik kecantikan, salon sampai ke tempat hiburan malam. *** 5 tahun sudah berjalan, tak terasa Ana sudah menjadi pramugari senior di maskapai itu, tentunya senior dari segi pekerjaan dan senior dari segi pengalaman menjadi pramugari, baik dari sisi positif dan sisi negatifnya. Ana sudah merasa lebih senior dari pramugari pramugari baru, banyak pilot dan pramugara jatuh ke pelukan Ana si mantan kembang desa. Ana yang modis selalu bisa menggunakan pakaian yang pas dengan badannya yang seksi. Di luar parasnya yang cantik, ia juga supel dan tahu cara berkomunikasi dengan lawan jenis sehingga wajar ia disenangi para kru kabin. Sudah banyak kru kabin yang terjerat dalam pesona tubuh Ana, setiap kali landing dan menginap di hotel. Dari awalnya yang malu-malu masih petak umpet menginap di kamar beda jenis, sampai sudah menjadi rahasia umum bahwa Ana adalah ‘pemain’. Bagaimana tidak? Semua pilot habis disikat, tidak hanya pilot maskapainya sendiri, kru kabin maskapai kompetitor bahkan kru kabin maskapai luar negeri juga sudah pernah dirasakannya. Ana menjadi sombong, dibalik paras cantiknya tersimpan Ana yang lain dengan kehidupan liarnya. *** Mobil jemputan maskapai menjemput Ana dari mess pramugari, tidak jauh dari bandara tempatnya harus memulai hari. Ia sudah rapi dan wangi ketika dijemput dan hanya menikmati perjalanan sambil mengecek handphonenya. Ia melihat chat dari Steven, FWB-annya yang merupakan seorang pilot senior di maskapai Timur Tengah. Ana tengah menjalin hubungan spesial dengan Steven meski terpisah benua, tentu tidak jadi masalah karena Ana memiliki kesempatan untuk membuka hubungan dengan laki-laki lain disini. Sesampainya di bandara, lantai dingin bersatu dengan hawa sejuk khas membuat Ana sedikit bergidik, tak lama ia melihat Dito, co-pilot yang akan bekerja bersamanya hari ini sedang berjalan di depannya. “Mas Dit…Mas Dit,” panggil Ana. Namun sepertinya Dito terlalu asyik dengan handphonenya sehingga tidak mendengar panggilan Ana. Tidak enak untuk mendahului, Ana berjalan di belakang Dito. Sembari berjalan, Ana memperhatikan Dito dari belakang. Sudah beberapa kali terbang bersama, Ana dan Dito belum juga akrab. Padahal menjalin keakraban bukan hal yang sulit bagi Ana, namun Dito seperti menutup diri. Setiap terbang bersama, Dito selalu terfokus kepada handphonenya. Tidak jelas apakah Dito sibuk bermain social media, bermain game atau membalas pesan, yang jelas Dito selalu seperti tidak fokus ketika sedang tidak bekerja. Ana sedikit penasaran dan bertekad akan mencoba akrab dengan Dito, hitung-hitung menambah relasi, atau menambah pundi emas. Karena ketika pilot sudah dekat dengan pramugari, pilot itu akan bisa memilih pramugari mana yang akan terbang bersamanya. Banyak terbang sama dengan banyak uang. *** Penerbangan selesai, Ana sudah merasakan kakinya pegal karena berdiri terlalu lama di pesawat. Ia ingin segera sampai di hotel, mandi dan lanjut berpesta. Hidup Ana tanpa pesta seperti sayur tanpa garam. Ana berjalan cepat di koridor sampai akhirnya lagi-lagi terhenti karena Dito. Dito berhenti di tengah koridor dengan koper yang menutupi jalan, karena asyik dengan handphonenya. “Ah pilot ini kecanduan handphone banget sih,” ucapnya dalam hati. Kakinya yang pegal ditambah bawaannya yang banyak membuat Ana mau tak mau menegur Dito untuk memberi jalan padanya. “Mas Dito, maaf permisi mau lewat,” ujar Ana sambil berjalan cepat. “Eh maaf ya Na,” sahut Dito, Ana yang sedikit tidak peduli ingin berjalan mendahului Dito. Tak disangka, mungkin karena rasa tidak enaknya Dito menghalangi jalan, ia malah jalan beriringan dengan Ana ke arah bis jemputan. “Hahaha nggak apa Mas Dit, lelah pasti ya? Habis perjalanan panjang,” tanya Ana untuk membuka basa-basi sembari menarik koper bawaannya. “Nggak sih, biasa ada urusan di rumah. Heran ya kalau lagi kerja begini pasti ada aja masalah di rumah,” timpal Dito sambil cemberut. “Yah Mas, coba dingertiin aja mas. Pekerjaan seperti kita ini kan pasti banyak matikan handphone, jarang komunikasi. Pasti banyak miss komunikasi juga,” tutur Ana pelan, ia sudah kesakitan dengan kakinya rasanya sudah tidak sanggup berbasa-basi. Dito mengangguk dan melihat ke atas, entah mungkin karena terlalu banyak masalah atau tidak sabar ingin kembali bermain handphone, mereka tetap berjalan beriringan dengan saling diam. *** Sesampainya di hotel, Ana menaruh barangnya di lemari. Ia lalu melompat ke kasur melepaskan penat, sambil rebahan sesekali Ana memijat kakinya yang sakit. Merasa bosan, ia merogoh handphone dari kantongnya dan mencari tempat di Bali yang biasa ia kunjungi untuk berpesta nanti malam. “Tih, mau ke beach club nanti malam? Yuk lah. Nggak bisa nih gue anteng gini,” tulis Ana kepada Ratih, rekannya sesama pramugari. Tak disangka Ratih membalas dengan cepat, “Nggak enak Na berdua doang, gue komporin Aryo ya supaya dia ngajak yang lain. Jago si Aryo kan,” ucapnya. “Yaudah yang penting party, kabarin ya gue mau mandi,” balas Ana. Ia segera melepas bajunya dan berlari kecil ke kamar mandi untuk bersiap. *** Selesai mandi ia pun bersolek, ia sudah membawa banyak baju ala pantai karena tau akan bermalam di Bali setelah terbang. Mumpung di Bali, Ana tak ketinggalan berencana untuk memamerkan badannya yang montok dengan menggunakan baju ‘kurang bahan’ tapi tetap kekinian. Setidaknya meskipun sudah menjadi rahasia umum dia suka berganti pasangan di maskapai itu, dia bisa menjadi dirinya sendiri. Dia tidak peduli dengan reputasinya bahkan dengan omongan orang. Ana mengecek handphonenya dan benar saja kata Ratih, Aryo yang merupakan pramugara berhasil mengajak yang kru kabin lain untuk berangkat pergi bersama-sama. Ana sangat senang, tak bisa menunggu lagi ia mengirim pesan di grup chat, “Yuk gue ikut ya, gue tunggu lobby nih sekarang..,” katanya. Ana bergegas ke bawah, di dalam lift ia mengecek notifikasi grup chat, “Gue juga turun deh,” balas Dito singkat di grup chat. Ana sedikit heran, Dito jarang sekali ikut pergi makan atau bahkan berpesta, beberapa kali bekerja bersama Dito, pasti Dito akan berdiam diri di kamar dan memesan makanan secara online. “Ya mungkin Dito bosan,” pikir Ana. *** Waktu berlalu, sekitar setengah jam Ana berdansa bersama teman-temannya di pinggir kolam renang, Ana sudah sedikit mabuk sehingga semakin terbawa dengan irama musik. Pada pergantian DJ, Ratih dan Aryo mengajak Ana kembali ke sofa untuk sedikit beristirahat sambil mengisi tenaga dengan minum alkohol, Ana pun setuju dan kembali bersama-sama temannya. Saat kembali ke sofa, Ana mendapati Dito melihat ke arahnya, Ana sedikit kaget karena tak menyangka Dito tidak asyik dengan handphonenya. Ana melempar senyum terbaiknya ke Dito, dan berjalan ke arah Dito. “Mas Dito tumben mau ikut party sama kita? Hahaha,” tanya Ana “Masa sih, gue ikut terus kali. Lo-nya aja nggak sadar..Haha,” ucap Dito salah tingkah. Ana tersenyum mendengar jawaban jawaban khas anak rumahan dari Dito. Ana memperhatikan Dito dengan cepat, Dito memegang bir yang masih penuh tak diminum sedikitpun, dengan jawaban awkward dan sikap yang salah tingkah. Ana langsung bisa menebak bahwa Dito jarang - bahkan hampir tidak pernah pergi untuk melakukan hal yang menyenangkan seperti berpesta atau minum-minuman keras.. “Gimana mas urusan rumahnya? Sudah beres?,” tanya Ana sedikit berteriak sambil sedikit berjoget mengikuti irama lagu yang bervolume kencang. Dito terkesiap, tidak menyangka bahwa Ana ingat apa yang dikatannya tadi siang, “Gitu deh biasa perempuan,” katanya. “Loh kenapa mas? Kalau ada yang mau diceritain cerita aja mas, siapa tau bisa memberi masukkan sebagai perempuan,” ujar Ana. Merasa perasaannya diperhatikan, Dito pun mulai terbuka kepada Ana, disini Dito salah langkah, suatu hal tabu yang seharusnya semua orang tau dilanggar oleh Dito. Dito menceritakan perihal Tita kepada Ana dengan harapan perasaannya divalidasi.. ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD