2. Tiba di Ibu Kota

1616 Words
Alvin merasa aneh ketika tiba-tiba saja tubuhnya melayang di udara. Seperti seekor burung, Alvin pun terbang tak tentu arah. Dalam posisinya, Alvin pun bisa melihat suasana di bawah sana. Suasana pedesaan yang masih asri dan sejuk dipandang. Ah, Alvin jadi merasa tentram melihat semua itu dari atas sini. Akan tetapi, Alvin masih tidak mengerti, bagaimana bisa dirinya ada di udara seperti sekarang? Apa yang membuatnya bisa terbang bak seekor burung. Apakah mendadak Alvin dianugerahi sepasang sayap oleh Yang Maha Kuasa? Tapi, apa alasannya? Bukankah hal tersebut hanya akan terjadi dalam film atau novel bergenre fantasi saja? Lantas, kenapa semua kemustahilan itu malah telak dialaminya saat ini? "Sarip, aaahh ... Lebih cepat lagi, Sayang. Aahh...." Dalam sekejap, Alvin pun mengarahkan pandangannya ke pusat suara. Mendadak, sekarang ia telah berada di dalam ruangan dengan tubuh yang menempel di langit-langit sebuah ruangan. "Oh, Tita ... Milikmu sempit sekali. Enakkk. Uhh," racau Sarip yang Alvin lihat sedang bergerak naik turun di atasnya Tita. Melihat itu, Alvin pun buru-buru memalingkan wajahnya. Entah kenapa, rasanya Alvin ingin mencopotkan kedua bola matanya dulu daripada harus melihat pergumulan tak beradab yang tengah terjadi di bawah sana. Namun sepertinya, meskipun kini Alvin sedang berusaha menghindarkan tatapannya dari kedua manusia laknat itu, tapi telinganya masih mampu mendengarkan suara-suara berisik yang begitu menggelikan dirinya. Desahan, lenguhan, erangan bahkan jeritan penuh nikmat itu seakan-akan memenuhi gendang telinga Alvin untuk saat ini. Merasa risi, dia pun mencoba menutup kedua telinganya dengan masing-masing tangannya. Selain itu, matanya pun ia pejamkan rapat-rapat. Berharap kalau semua yang didengar dan dilihatnya barusan hanyalah ilusi semata. Sampai ketika Alvin sudah sangat muak dan ingin enyah saja dari sana, tiba-tiba seseorang datang mendekat dan mencolek-colek bahunya. "Kang, Kang, bangun! Ini sudah sampai terminal," ujar sebuah suara yang menyapa indra pendengaran Alvin. Secepat kilat, cowok itu pun terperanjat dari tidurnya. Untuk sesaat, ia pun menengokkan kepalanya ke kiri dan ke kanan. "Aduh aduh, nyenyak banget, Mas. Berasa lagi tidur di hotel aja kayaknya. Masih untung bisa nyenyak," tutur si kondektur itu menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ini di mana, A?" tanya Alvin tanpa menghiraukan ucapan kondektur barusan. "Ya di terminal kota dong, Kang. Di mana lagi coba pemberhentian terakhir bis ini," jawab pria berambut cepak itu mendecak. "Sudah nyampe?" tanya Alvin lagi sambil mengucek mata. "Ya betul, Kang. Makanya, kalo tidur itu jangan terlalu nyenyak. Udah kayak tidur di atas kasur aja si Akang ini," ucap si kondektur terkekeh. Alvin terdiam. Jika sejak tadi ia tidur di kursi bis yang ditumpanginya, itu artinya pemandangan menjijikan yang sempat dilihatnya tadi hanyalah mimpi belaka? Menyadari hal itu, Alvin pun bernapas lega. "Syukurlah...." bisiknya mengusap d**a. Sontak, si kondektur pun menatap aneh. "Apanya yang disyukuri, Kang?" lontarnya menatap lamat-lamat. Melirik, Alvin pun menggeleng. "Terima kasih ya sudah membangunkan," ucap Alvin menepuk bahu sang kondektur. Lalu, ia pun lekas beranjak dan mulai bergegas untuk menuruni bis tersebut. Meninggalkan si mamang kondektur yang hanya bisa menatap melongo di kala Alvin yang tengah melompat turun menapaki aspal. Desauan angin berhembus menerpa kulit wajahnya. Alvin pun merentangkan kedua tangannya dengan bebas. Akhirnya, ia sudah berada di kota yang dituju. Selanjutnya, ia hanya perlu menghubungi temannya saja untuk mengetahui keberadaannya. Setelah itu, Alvin pun bisa merencanakan tindakan selanjutnya selagi dirinya berada di kota besar yang begitu jauh dari desa tempat tinggalnya. *** Cowok itu melompat turun dari jok motor yang ditumpanginya. Setelah mengetahui alamat tempat kos temannya, Alvin memang menggunakan jasa ojek pangkalan untuk mengantarnya ke alamat yang dituju. Dan kini, Alvin pun sudah tiba di depan bangunan bertingkat yang diyakininya adalah tempat indekos yang dihuni oleh temannya. "Ini, Bang...." ujar Alvin menyerahkan selembar uang dua puluh ribuan. Tanpa banyak berkata, si abang ojek pun langsung menerimanya dan memasukkan uang tersebut ke dalam saku jaket yang dikenakan. Lalu, ia pun lekas melajukan motornya lagi meninggalkan Alvin yang sedang merogoh ponselnya dari dalam saku celana. Ketika ponsel sudah dalam genggaman, Alvin mulai mencari nama kontak temannya yang hendak dihubungi. Sigap, ia pun langsung mendial nomor tersebut seraya menempelkan benda pipih tersebut ke telinga kanannya. Pertama-tama, Alvin hanya mendengar suara dering membosankan sebagai nada tunggunya. Hingga di dering kedua, barulah Alvin mendengar suara beraksen berat yang sedikit serak seperti orang yang baru saja terbangun dari tidurnya. "Halo! Siapa nih?" tanya si pemilik suara menyambut. Sepintas, Alvin pun memutar kedua bola matanya seraya menjawab, "Ini gue Alvin. Lo di mana?" "Alvin? Alvin Sanusi?" pekik si penerima telepon memastikan. "Iya iya. Buruan deh, gue ada di luar nih. Panas," ujar Alvin mendecak. Lalu, tak lama kemudian seseorang berseru memanggil dari teras lantai tiga. "Alvin!" Sontak, si pemilik nama pun mendongak. Mendapati sosok temannya yang kini sedang menggedikkan bahu seraya kembali berujar lewat telepon, "Ke sini! Naik ke tangga yang ada di sisi sebelah kiri tuh." Alvin menoleh dan mencari letak tangga. Lalu, saat ia sudah mendapatkannya, Alvin pun segera berjalan menuju ke sana. Sambil memutuskan sambungan karena orang yang dihubungi sudah menunjukkan dirinya meski tidak langsung turun menemuinya, tapi Alvin saat ini sudah mulai bergegas menaiki tangga. Lalu setibanya cowok itu di lantai tiga tepatnya di depan sosok teman karibnya, Alvin pun menghentikan langkahnya di tengah napasnya yang terengah-engah. "Akhirnya, gue bisa ketemu lagi sama lo! Gimana kabarnya, Brader?" seru temannya itu menepuk bahu Alvin. Sementara itu, Alvin yang masih mengatur napasnya pun belum berniat memberikan balasan terhadap sapaan temannya barusan. Melihat itu, ia pun tahu bahwa Alvin sedang kelelahan setelah menaiki dua tangga dengan undakan yang lumayan banyak. "Tunggu sebentar, mungkin lo butuh minum!" ujarnya sembari melengos masuk ke kamar. Tak lama kemudian, cowok berambut cokelat bernama Anton itu pun kembali lagi membawakan sebotol air mineral yang kemudian ia sodorkan ke hadapan Alvin yang masih setengah membungkuk. "Nih, minum dulu!" seru Anton sembari menggoyang-goyangkan botol di tangannya. Menegakkan posisi tubuhnya, Alvin pun lantas menerima botol mineral tersebut seraya berkata, "Makasih ya. Tangganya banyak banget. Ini sama aja kayak gue lagi telusuri kebun sedesa yang banyak undakan tangganya." Kemudian, Alvin pun membuka penutupnya dan langsung menenggak isinya. Anton tertawa. "Belum terbiasa lo. Gue udah biasa naik turun tangga, jadi gak kerasa capek kayak lo barusan...." tukas Anton terkekeh. Selepas menghabiskan hampir tiga perempat air dalam botol, Alvin kemudian mendelik. "Asli. Gue kira lo ngekos di tempat yang ada eskalatornya. Pake tangga gini sih sama sama aja naik turun pake kaki," cetus Alvin mendengkus kasar. "Eskalator dari Hongkong! Indekos murah meriah ya gini apa adanya. Kalo mau ada eskalator atau lift, itu harus sewa apartemen. Cuma biayanya mahal, upah gue kerja selama tiga bulan juga gak akan kebayar. Ah bukan tiga, setaun gajian juga gak akan tercapai kayaknya," papar Anton mengibaskan tangan. Alvin menggedikkan bahu. Lalu, ia pun menolehkan pandangannya ke dalam kamar indekos Anton. "Ini kamar lo?" tanya Alvin menunjuk. Anton mengangguk. "Yoi. Lo kalo mau numpang dulu silakan. Cuma kalo udah punya gaji ya mau gak mau harus ikut bayar," ujar Anton terkikik. Alvin mengangguk paham. Lalu bersama dengan Anton yang menghelanya, Alvin pun mengayunkan kedua kakinya melangkah ke dalam. "Eh, Vin. Lo yakin mau tinggal dan cari pekerjaan di kota besar ini?" tegur Anton setibanya mereka di dalam. Alvin yang semula sedang melihat-lihat seisi kamar Anton pun lantas melirik. "Yakin lah. Kalo gak yakin, ngapain gue ke sini," ujarnya lantas mendelik. "Ya bagus kalo gitu. Cuma mau ngingetin aja sih urang mah ka maneh. Kalo mau tinggal di kota sebesar ini, maneh harus mau mengikuti zaman," ucap Anton yang membuat Alvin mengernyit. "Maksudnya?" tatap Alvin tak paham. Anton menghela napas. Kemudian ia pun mengempaskan bokongnya ke atas kasur dengan menaikkan sebelah kakinya ke atas paha satunya lagi. "Gini maksud gue. Lo kan dari desa ya, nah gue mau kasih tau lo dari sekarang. Ya siapa tau lo tiba-tiba mundur gitu setelah denger omongan gue ini." "Apa emang?" "Gini, Vin. Hidup di kota besar gini tuh harus butuh modal gede juga. Selain dari lo yang harus kerja, lo juga harus pinter kalo hidup di sini," tutur Anton mulai menerangkan. "Pinter gimana dulu nih?" tanya Alvin terus menatap. "Ya pinter segalanya lah, Vin. Biar gak gampang dibohongin sama orang lain. Entah pinter dari nyari uang, ngatur uang, nyari temen yang bisa dimanfaatin dan yang lainnya. Gue selama hidup di sini juga kayak gitu, Vin. Pedih sebenernya, cuma ya mau gimana lagi kan, mau gak mau harus dilakukan," beber Anton panjang lebar. Sementara itu, Alvin hanya manggut-manggut sembari tak bosan menyimak. "Nanti deh gue ajarin. Yakin sih gue, lo pasti bakal langsung bisa menyerap apa aja yang gue ajarin. Nanti kalo udah bisa, baru gue lepas," ujar Anton memberi titik terang. "Sip deh. Gue percayain ke lo aja, Ton. Sebisa mungkin harus bisa. Mau pahit mau manis gue pasti telan sendiri," cetus Alvin penuh keyakinan. "Bagus dong kalo gitu. Salut deh gue sama lo!" balas Anton mengacungkan ibu jari. "Oh ya satu lagi, Vin...." susul Anton berlanjut. "Apa lagi?" "Berhubung lo udah yakin mau tinggal di sini, lo harus mulai belajar ngomong pake bahasa gaul, Vin. Orang sini rata-rata ngomongnya pake bahasa indonesia gaul. Kalo diajak ngomong pake bahasa daerah, yakin sih gue, paling lo diketawain," tutur Anton memberi tahu. "Oh soal itu. Gak usah takut, gue juga ngerti kok maksud dari penjelasan lo barusan!" seru Alvin cepat tanggap. Sontak, membuat Anton tertegun kaget karena ternyata Alvin sudah jauh lebih luwes dari yang dipikirkannya. "Nah bagus deh kalo lo emang udah paham sama apa yang gue maksud. Jaga-jaga aja, gak usah lah lo pake bahasa daerah pas lagi ngobrol sama orang sini. Tar yang ada mereka malah bingung sendiri karena gak ngerti sama apa yang udah lo ucapin," ujar Anton terkekeh. "Iyalah. Gue juga bisa menyesuaikan diri kali. Gak perlu khawatir, gue kan gak udik udik amat, Ton!" tutur Alvin sembari mendengkus. Anton lantas memuji Alvin. Kemudian, mereka pun saling bertukar cerita tentang kehidupan keduanya yang begitu pelik dan penuh ragam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD