2. Noda di Seprei

727 Words
Aku masih harus meeting hingga jam sembilan malam, tetapi pikiranku tidak tenang karena obat kuat yang disebutkan Esti sebagai vitamin dan obat kolesterol. Untuk apa obat itu diminum Esti? Tidak mungkin Esti yang begitu patuh dan baik berani main belakang. Apa dia punya pacar? "Oke, terima kasih untuk hari ini semuanya. Sampai jumpa hari Senin. Selamat berakhir pekan." Kepala divisi menutup rapat malam ini. Aku menyalami sebelum beliau keluar dari ruangan. Tak sabar rasanya ingin segera aku ceritakan pada suamiku. Aku menelponnya, tetapi tidak juga diangkat. Aku mengecek jam terakhir w******p-nya aktif, tadi sore jam lima. Aku menghela napas karena tidak juga bisa menghubungi suamiku. Kantor sudah sepi. Aku menunggu di lobi depan, masih ditemani dua petugas keamanan. "Malam, Bu Kikan, nunggu dijemput ya, Bu?" tanya David berbasa-basi. Satpam senior di kantor yang begitu ramah padaku. Usianya mungkin baru empat puluh tahun, tetapi wajahnya terlihat seperti tiga puluh tahun. Masih segar dan juga sangat bersih. Aku bisa katakan, satu-satunya satpam kantor yang kulitnya kuning langsat adalah Pak David. "Ah, iya, Pak David, suami saya mau jemput. Ini sedang saya telepon." "Baik, Bu Kikan. Ibu tunggu di dalam saja, nanti jika mobil bapak masuk lobi, saya kabari Bu Kikan." "Oh, gitu ya, makasih Pak David." Aku pun masuk kembali ke lobi depan sambil terus menghubungi Mas Galih, tetapi sudah setengah jam menunggu, panggilanku tidak juga diangkat. "Halo, Esti, apa suamiku udah pulang?" "Halo, Ibu, sudah, Bu. Bapak tidur sejak sore. Belum ada keluar kamar untuk makan. Apa lagi kurang sehat, saya gak tahu juga, Bu. Mau saya tanyakan, saya sungkan." "Ya Allah, makasih kamu udah info ke aku. Aku nunggu di kantor, katanya dia mau jemput. Ya sudah, aku pulang sekarang. Siapkan aja minyak urut ya, Es, biar nanti suamiku langsung aku kerik." "Baik, Bu. Saya siapkan juga tolak angin nanti di meja ya, Bu." "Iya, makasih." Langsung aku memesan taksi online untuk pulang. Pikiran soal obat kuat menguap begitu saja mendengar Mas Galih sakit. "Bu, taksinya udah di depan." Aku tersenyum pada Pak David. "Makasih, Pak." Aku bergegas masuk ke dalam mobil. "Agak lebih cepat ya, Pak. Suami saya lagi sakit," kataku pada sopir taksi online. "Baik, Bu." Mobil melaju dengan cepat menuju rumah. Jalanan sudah agak lengang di jam sepuluh malam. Esti sudah di teras menungguku. Ia membuka pagar setelah mengetahui aku yang turun dari mobil. "Suamiku masih belum keluar kamar?" "Iya, Bu. Bapak di kamar terus." "Udah makan sore?" "Belum, Bu. Apa mau saya ambilkan?" "Gak usah, saya tanya dulu saja. Sini minyaknya!" Aku setengah berlari naik ke kamarku yang berada di lantai dua. "Mas, kamu kenapa?" aku menghampiri Mas Galih yang tengah berbaring miring sambil memegang ponsel. "Sayang, maaf, aku baru bangun dan baru baca pesan kamu. HP aku silent karena kepalaku sakit. Vendor neror terus bikin tambah mumet. Jadinya aku silent. Kamu pulang sama siapa?" aku memeriksa keningnya dengan punggung tanganku. Suhunya biasa saja, bahkan suamiku menggunakan baju tidur piyama bahan satin warna hitam. "Aku kira kamu ke mana. Untung aku telepon Esti, kalau nggak, aku gak tahu kamu sakit, Mas. Sebentar aku bersih-bersih dulu ya. Setelah itu biar aku kerik. Kamu pasti masuk angin." "Apa, kerik? Gak usah, Sayang, aku gak papa. Tidur dari sore kepalaku udah gak sakit lagi. Apalagi setelah lihat kamu pulang ke rumah dalam keadaan sehat, cuma kayaknya lelah banget ya. Sana, mandi dulu! Setelah itu biar aku pijitin kamu." Tentu saja aku merasa aneh dengan suamiku. Sebentar terlihat lemas, sebentar lagi sudah berubah semangat. "Kenapa, udah sana, mandi! Bau asem nih! Kamu dari luar dan langsung duduk di kasur. Pasti banyak kuman yang nempel." Ucapan Mas Galih benar juga. Aku langsung berjalan masuk kamar mandi untuk membersihkan diri. Pakaian kotor aku masukkan ke dalam keranjang cucian depan kamar mandi yang hampir penuh. Bukannya Esti selalu mengosongkan keranjang cucian pagi hari? Kenapa sudah penuh lagi? Aku mengangkat pakaian kerja yang suamiku pakai tadi pagi. Loh, seprei yang baru dua hari diganti Esti, kenapa sudah sudah dicuci lagi? Aku mengangkat kain putih besar itu, belum bau apek. Aku mendekatkan ke hidungku untuk membauinya. Uek! Aku merasa mual karena ada aroma khas lelaki menempel di seprei putihku. Ada bercak berwarna krem. Aku menggeser posisi kain dan aku kembali menemukan tiga titik noda krem, tetapi tidak banyak. Ini seperti bekas cairan milik lelaki. "Mas, ini apa ya? Kenapa seprei ini bau punya kamu?" tanyaku sambil menunjukkan seprei bernoda pada Mas Galih.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD