BAGIAN 3

1063 Words
"Baik, karena semua sudah berkumpul saya mulai saja rapat kali ini. Saya selaku wakil bapak Kepala Sekolah yang tidak bisa hadir memohon maaf dengan sebesar besarnya terutama kepada pihak ibu Linda. Kesalahan ini murni dari kelalaian kami, tapi sekali lagi kami memohon maaf." Pak Sigit mengawali rapat, sedangkan Silvia hanya mampu diam sesekali meremas jarinya yang sudah mengeluarkan keringat dingin dengan kasar. Tai dengan kasarnya ibu Rido, menggebrak meja rapat didepannya, "Maaf maaf bagaimana, saya jelas tidak terima anak saya sampe babak belur kaya gitu. Hidungnya berdarah, anda ini pihak sekolah. Dan kejadian ini berlangsung saat sedang jam pelajaran." Selesainya dengan pengucapan kalimat yang di iringi nada amarah. "Maaf bu sebelumnya, ini mungkin kesalahan saya. Karena saya, anak ibu seperti itu. Saya memang meninggalkan kelas saat sedang jam pelajaran. Flashdisk saya tertinggal di kantor, lalu saya ambil tapi sebelum itu saya sudah kasih mereka tugas dan peringatan supaya mereka diam selama saya keluar kelas." Balas Silvia, dengan sisa keberanian yang ia punya. "Betul bu, kami benar-benar minta maaf atas kejadian ini." Timbal pa Sigit "Maaf mah gampang, tapi apa kata maaf kalian cukup bikin cucu saya sembuh?" Neneknya Rido rupanya semakin menjadi, Silvia baru sadar jika ada seorang Nenek yang sampai segitu ngototnya padahal pihak sekolah sudah meminta maaf. "Mah, udah donk." Ucap Rendy, pria ini dan suara ini adalah suara yang pernah mengisi masa putih abu Silvia dengan begitu indah kemudian akhirnya membuat masa itu seketika gelap gulita. "Saya minta maaf, untuk ucapan ibu saya. Anak-anak sudah biasa seperti ini, maaf ibu saya terlalu berlebihan dalam menyikap hal ini." Mohon Rendy yang berseragam lengkap anggota kepolisian. Silvia kenal jelas siapa Rendy ini. Cita-cita Rendy dahulu menjadi polisi rupanya tercapai, tapi sayang saat ini wanita yang mendampinginya bukan dirinya. "Diam bang, mamah tau siapa yang salah. Kamu dan kamu." Tunjuk ibunya Rendy pada Silvia dan ayahnya Devano yang duduk di sebelahnya. "Gara-hara anak kamu anak saya jadi jatuh," lanjut ibunya Rendy, yang di balas senyum simpul pria berseragam TNI itu. Pria itu nampak begitu santai menghadapi cacian yang dilontarkan ibu-ibu tersebut yang tidak lain adalah ibunya Rendy. "Jika anak saya salah saya minta maaf buk, yah namanya juga anak kecil sedang masanya mereka aktif. Dan saya sudah tanya Devano dan teman temannya, dia tidak bersalah. Jelas anak ibu yang jatuh sendiri, hingga mengenai meja anak saya." Sungguh pria ini benar benar bijak, Silvia kagum pada ayahnya Devano ini. Benar-benar memiliki jiwa yang penyabar. "Tuhkan mah, mending kita bawa Rido pulang. Biar dia bisa istirahat di rumah." Bujuk Rendy pada ibunya, Silvia tersadar rupanya Rido adalah adiknya Rendy dan ibu-ibu rempong itu adalah ibunya. Wanita yang telah memakinya dirinya juga beberapa tahun lalu. Hanya saja sekarang wajahnya sedikit berubah dan membuat Silvia sedikit sulit mengenalinya "Ayok." tanpa basa basi, ibunya Rendy pergi bersama Rendy pria yang saat itu sedang bertugas. Karena terlihat dari pakainnya yang masih menggunakan pakaian dinas lengkap. Tentu saja cerita ini akan menarik dengan menghadirkan dua sosok abdi negara. "Kalau begitu saya pamit pa bu, maaf atas sikap ibu saya." Ucap Rendy permisi kemudian sosoknya tenggelam di balik pintu. Silvia mengela nafas pasrah, ia jelas akan menerima ceramah gratis dari pak Sigit kali ini. "Maaf pa, gara-gara keteledoran kami. Bapak jadi harus diikut campurkan." Ucap pak Sigit pada Iqbaal ayahnya Devano. "Tidak apa apa, namanya juga anak kecil. kitanya saja yang harus pandai menghadapi mereka. Kalau begitu saya permisi dulu pak, kebetulan saya masih ada tugas." Ucap Iqbaal sambil menyalami pak Sigit kemudian guru-guru yang lain dan uluran tangan itu sampai di depan Silvia, sejenak Silvia terdiam memaki dirinya sendiri. "Jangan sampai di saat sepeti ini, aku suka sama laki laki orang." tekannya dalam hati. * Silvia menghempaskan tubuhnya di atas kasur kamarnya, pusing sudah mendera sejak tadi. Bagaimana tidak kejadian hari ini benar benar menguras emosi dan pikirannya. Yang paling ia takutkan menjadi kenyataan , di saat yang benar benar tidak tepat. Sosok Rendy datang di saat situasi yang salah. Di saat ia sudah menghapus wajah Rendy untuk selama lamanya dalam ingatannya. Gagal move on? Benar Silvia masuk kedalam salah satu orang yang gagal move on. Oleh pria yang kembali Tuhan pertemukan dengannya. "Kak, makan dulu." Silvia kenal suara yang memanggilnya. Ia adalah ibunya, sosok tegar yang membuat Silvia mampu bangkit seperti sekarang ini. "Kok gak nyaut." Ada tangan halus yang membelai rambut Silvia, tanpa aba aba Silvia berhambur memeluk erat ibunya. Rasanya ia benar benar rapuh, dengan semua kejadian hari ini. "Kenapa sayang? Coba cerita sama ibu," tangan yang dulu kencang kini sudah mulai berkeriput itu. Tangan itulah yang selalu setia menghapus air matanya, mengulurkan tangan ketika Silvia terjatuh. Silvia mencoba menceritkan semua kejadiannya dari awal, ia meluapkan semua emosinya. Ibunya menghela nafas melihat Silvia anak perempuan satu satunya yang sedang menangis di pelukannya. "Ini ujian dari Allah, anak ibu pasti kuat. Masalah hari ini harus kamu jadiin pelajaran, gimana kedepannya kamu harus bersikap. Jangan jadiin ini ajang untuk kamu berputus asa, kamu itu seorang guru. Panutan untuk semua muridnya, jadi kamu harus bisa jadi yang terbaik." Silvia selalu merasa lega setiap mendengar nasihat ibunya, karena baginya tak ada lagi sosok motivator dalam hidupnya selain ibunya. "Aku ngerasa gagal bu," timbal Silvia "Semua orang pernah bikin kesalahan, tapi bukan berarti ia gagal. Percaya sama ibu, kamu bakalan dapat hikmah dari kejadian ini." "Tapi tadi yang marahin aku ibunya Rendy." Silvia mendadak demam, pagi ini ia tidak mampu bangun dari tempat tidurnya. Setelah semalam ia menghabiskan waktu dengan menangis hingga akhirnya kepalanya seperti pecah. Surat ijin sudah Silvia siapkan, untung saja ia punya ibu yang hebat. Ibunya yang dengan sigap menghubungi pihak sekolah mengabarkan jika anaknya sakit dan tidak bisa mengajar untuk hari ini. "Udah lah kak, ngapain masih terus mikirin Rendy orang dia udah bahagia sama tunangannya." Silvia bukan memikirkan Rendy, yang ia pikirkan adalah rasa sakit yang Rendy berikan. Rasa sakit itu seolah menjadi trauma berat yang selalu membuatnya menyerah untuk membuka hati pada pria lain. Jika bertanya perihal Rendy, dia adalah cinta pertamanya sewaktu SMA. Kenangan tercipta disana, waktu yang terlalu indah untuk sekedar dilewati sendiri. Di sana Silvia merasa menjadi manusia paling beruntung dan bahagia. Karena hampir seratus persen hidupnya tak mengenal luka kecuali sedikit saja. Setiap hari mereka hampir menghabiskan waktu bersama, dari mulai berangkat sekolah hingga kembali pulang. Banyak kenangan indah yang tak mampu Silvia lupakan meski ia sudah bersusah payah mencobanya. Mungkin jawabanya hanya satu ia butuh hati yang lain untuk menebusnya. bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD