BAGIAN 2

1039 Words
"Bu guru dateng." "Hey ada ibu." "Fauzan diem ada ibu." Itulah sedikit bisik bisik muridnya yang Silvia dengar, dengan tergesa gesa mereka duduk di bangku masing masing memasang wajah polos dan diam seolah takut dan pura pura menjadi anak penurut. "Oke anak anak, lain kali kalau ibu belum dateng kalian harus duduk di bangku masing masing. Baca buku atau buka tugas, jangan sampe berisik kaya gini. Paham??" Sudahlah mereka hanya manggut manggut saja, percuma Silvia mengoceh panjang lebar toh hasilnya akan sama seperti ini juga. "Sekarang lanjut bab berikutnya, buka buku halaman 12 kerjain nanti ibu periksa tugasnya satu satu." Lanjut Silvia Selagi muridnya diberi tugas, Silvia melanjutkan mengisi data siswa yang belum ia bereskan. Padahal waktu sudah menunjukan pukul delapan dan ia masih berkutat dengan puluhan data yang belum selesai. Semua murid nampaknya serius dengan tugas yang ia berikan. Entah karena mereka suka atau takut. Tapi ada juga murid yang dengan asiknya menatap kosong ke arah depan santai santai, sudahlah biarkan saja. Silvia melirik tempat pensilnya kemudian membukanya, ia terdiam mencoba mengingat suatu barang yang ia letakkan di dalamnya. Karena rasanya tadi ia meletakan flashdisk di dalam tempat pensilnya. Satu persatu barang ia amati, menggeledah isi dalam tempat pensilnya. Tapi nyatanya nihil barang berharga itu tak ia temukan dalam tempat pensilnya. Ia mencoba mengingat kembali, mungkinkah barangnya tertinggal di kantor? Mungkin jawabanya adalah ia. "Anak anak, ibu mau ngambil dulu flashdisk kalian jangan berisik di sini." Silvia mulai melangkah keluar kelas menuju ruang guru, semoga saja flashdisknya benar tertinggal di meja kerjanya. Jika tidak mampuslah dirinya, bagaimana ia kan mengulang semua data dari awal, sudah terbayang manis dalam pikirannya. Wahai tugas enyahlah aku rindu kebebasan. Sampai di ruang guru nampak kosong, hanya ada beberapa guru yang tersisa mungkin jam mereka sedang kosong. "Tumben balik ada apa bu?" Tanya bu Firda guru yang sebentar lagi akan melepas masa lajangnya itu, kini sedang bersenang senang menghabiskan masa masa bebasnya sebelum mulai berganti status. "Ini mau ngambil flashdisk, untung aja ada." Balas Silvia sambil mengacungkan flashdisk di tanganya. "Aku permisi balik lagi bu." Lanjutnya kemudian Tidak ada jawaban dari bu Firda entah benar tidak ada atau karena Silvia sudah menjauh. Baru saja sampai di koridor kelas enam, suara gaduh dan teriakan terdengar menjadi satu dari lorong kelas dua. Ibu ibu berhamburan, suara gaduh semakin pecah, Silvia dengan cepat berlari memastikan apa yang terjadi di sana. Baru saja ia sampai di koridor kelas tiga, seorang siswa dengan berlumuran darah dari hidungnya keluar di gendong oleh pa Sigit, tak ada ucapan apa pun dari pa Sigit. Silvia gemetar jantungnya berpacu sepuluh kali lebih cepat dari biasanya. Dengan langkah yang terseret Silvia masuk ke dalam kelas, semua mata memandang ke arahnya. Hingga, "ibu ini bagaimana sih, ceroboh sekali rupanya." Seorang ibu ibu menyentak Silvia dengan sadis "Maaf bu, saya tadi keluar sebantar ngambil flasdisk." Ucap Silvia, tanpa mengacuhkan ucapan ibu ibu tadi Silvia mendekat pada seorang anak yang menangis dikerumuni teman temannya. "Ini kok bisa kaya gini? Ibu kan udah bilang tunggu ibu sebentar." Tanya Silvia emosinya sudah tidak bisa terbendung, merasa takut mereka hanya menunduk tidak berani menatap wajah sang guru. "Ayo jujur siapa yang bikin Rido sampe kaya gitu?" Tanya Silvia, "Rido jatuh dari meja, dia lari larian di atas meja. Terus jatuh kena ini." Salah seorang murid akhirnya bicara sambil menunjukan ujung meja Devano. "Bukan Devano pelakunya?" Selidik Silvia "Eng..enggak Devano gak tau apa apa." Jawab anak itu sambil terisak dengan wajah pucat. "Sekarang kalian istirahat ibu mau liat Rido di UKS." Tanpa memikirkan tugasnya Silvia berjalan tergesa gesa menuju UKS, sampai di uks pa Sigit sudah siap untuk mengintrogasi Silvia, namun niatnya ia urungkan karena sadar tempatnya tidak sesuai. "Nanti ibu menghadap saya di ruang guru." Benar dugaan Silvia apa yang ia takutkan benar benar terjadi, meski ia tidak ikut andil dalam masalah ini tetap saja ia akan terkena imbasnya. "Iyah pa, saya mau liat Rido dulu di UKS." Silvia, berlalu menuju ruang UKS. Rido terbaring lemah seperti makhluk yang tidak bersalah, hidungnya terlihat berdarah dengan baju putih yang sudah berganti warna yang menyisakan banyak bercak darah. Rido terdiam, ketika dokter petugas UKS membersihkan hidungnya. "Rido." Bu Linda ibu dari Rido perempuan paruh baya itu berhambur memeluk Rido, Silvia tau satu persatu orang tua wali murid muridnya. Tanpa banyak bicara Silvia membalikan badan, maksudnya ingin menemui pa Sigit. Hingga, sosok pria berbadan tegap dengan seragam yang khas sedang berdiri di belakangnya dengan wajah mengintimidasi. Jantung Silvia berdetak lebih cepat, hitungan perdetiknya sudah tak mampu ia kontrol. Wajah itu, badan tegap itu, semua seolah kembali pada lima tahun yang lalu. JANGAN!! mungkin ia hanya bermimpi, Silvia terdiam kaku. Seluruh urat sarafnya berhenti berfungsi. Mengapa saat seperti ini dia harus kembali, membawa duka yang sudah ia kubur dalam dalam. "Mana wali kelasnya?" Sontak Silvia terkejut saat ibunya Rido bertanya dengan volume kemarahan yang tinggi. Silvia berbalik arah, memutar kembali tubuhnya untuk menghadap orang tersebut. "Maaf saya bu, wali kelasnya Rido." Jawab Silvia sembari mencoba menetralkan detak jantungnya, jangan sampai ia terlihat gugup karena jelas ia tidak bersalah dalam masalah ini. "Permisi bu, pa Sigit menunggu ibu di ruang rapat." Bu Rita datang dengan wajah yang sama tegangnya. Suasana terasa mencengkam, sungguh Silvia benar benar takut di hadapkan pada situasi seperti itu. "Saya ke sana bu," Tatapan sinis langsung Silvia dapatkan "Ayo Kak, kita ikut rapat. Kita liat siapa di sini yang bersalah." Ucap wanita paruh baya itu sambil berlalu dari hadapan Silvia Ruang rapat adalah ruangan yang paling Silvia tidak suka, di tambah sekarang semua orang terasa mengintimidasi dirinya. "Asalamualaikum, permisi ijin masuk pa.. bu.. Saya ayahnya Devano," Seorang pria dengan seragam loreng khas prajurit TNI tersenyum di ambang pintu, Iqbaal ayah dari Devano. Dan bagaimana mungkin ayah Devano sekeren itu?? "Pa Iqbaal, mari masuk." Sapa Sigit, di balas anggukan oleh Iqbaal sembari masuk dengan langkah tegap yang membuat siapa saja terlalu sayang untuk melewatkannya. Oh ayolah Silvia ini bukan moment untuk kamu terpesona Jika di pikir rapat kali ini kurang apalagi ? Seorang polisi sudah duduk di sebelah kanannya di tambah lagi seorang tentara yang duduk pula di sebelah kirinya. Ya Tuhan apakah Aku akan di penjara atau di proses di jalur hukum. Silvia tak henti menjerit dalam hati, ketakutan? Ya itulah keadaan dirinya sekarang. Menyedihkan bukan? bersambung... semoga makin suka
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD