Bab 2

1078 Words
Surat keputusan kelulusan akan diumumkan lewat pemberitahuan lewat pos yang di kirimkan pihak sekolah kepada para orang tua ke rumah-rumah, sehingga hari ini sekolah terlihat cukup sepi, karena yang masih efektif belajar adalah anak-anak kelas 10 dan 11, itu pun mereka sebentar lagi akan mulai melaksanakan ujian semester. Kebijakan ini di keluarkan oleh pihak sekolah untuk meminimalkan aksi-aksi tidak bertanggung jawab, pasca pengumuman kelulusan itu, seperti corat-coret pakaian seragam, mewarnai tembok dengan cat semprot, atau konfoi yang jauh dari kata berfaedah. Sekarang anak-anak kelas 12 sedang harap-harap cemas menunggu surat keputusan itu, deg-degannya lebih-lebih dari menunggu notifikasi aplikasi chat dari gebetan di handphone -SATYA- Tapi aku tidak. Aku sama sekali tidak berdebar menunggu hasil kelulusan SMA. Aku bukannya terlalu yakin, tapi sepertinya kalau hanya berbicara ujian akhir sekolah, aku pasti lulus. Karena yang aku tunggu bukan itu. Aku menunggu apakah aku bisa pergi ke Surabaya dengan status Taruna AAL. Aku jadi teringat beberapa bulan lalu, saat memasukkan berkas-berkas administrasi. Berkasnya telah lengkap, dan begitu sumringah saat nomor pendaftaranku disebut, sebagai salah satu yang maju ke tahap tes kesehatan. Aku juga diberi semacam kartu tanda pengenal peserta. Terdapat tulisan “Calon Cadet”. Itu saja sudah senang bukan main, seperti mimpi jadi kenyataan, apa lagi jika lolos. Lebih senang dari seorang anak kecil yang diberi permen. Aku sampai-sampai tidak percaya, hilal menjadi Kopaska sudah muncul, meski masih samar-samar tak jelas. Masih sangat jauh perjalanan. Waktu itu Bapak saja yang mengantar, kami berpamitan di gerbang Mako Lantamal III, Jalan Gunung Sahari. Saat sampa di sana, sebelum pamit untuk masuk, aku bisa melihat raut wajah Bapak yang bangga dengan mata berkaca-kaca melepasku. “Udah, Pak, pake nangis segala,” candaku. Aku memang sangat dekat dengannya. Bisa dibilang kami seperti lahir satu angkatan, maksudnya Bapakku seperti layaknya teman sekolah saja, dengan tampilan luar yang tentu saja berbeda, karena usia kami berbeda, aku masih belasan tahun, beliau itu sudah puluhan tahun. “Semoga berhasil ya, Nak!” katanya. Jarang-jarang aku melihat Bapak seserius ini. “Pak, ini masih di Jakarta, masih tahap administrasi, belum sampai Surabaya,” kataku mencairkan suasana yang terasa menjadi sangat mengharukan. Ia hanya tersenyum. Di depan gerbang, setelah berpamitan dengan Bapak, aku berjalan masuk dengan jantung berdebar. Aku bukan satu-satunya anak yang mendaftar jadi calon Taruna, mungkin ada sekitar ratusan anak lain yang memenuhi sebuah pelataran yang disiapkan panitia. Postur mereka kebanyakan tinggi tegap, dengan model rambut cepak, belum jadi Taruna saja penampilannya sudah seperti tentara asli. Mungkin hanya aku satu-satunya anak yang datang dengan rambut ber-style Boyband K-Pop, aku sama sekali tidak berpikir sampai ke situ, sampai memotong rambut dengan model cepak, saat menyerahkan berkas administrasi. “Nama? Daerah?” seorang tentara entah apa pangkatnya “menyapaku”. “Satya, Pak! Dari Jakarta,” mendengar jawabanku, tentara itu seperti kaget, lalu tersenyum namun ditahan, kemudian kembali memperlihatkan mimik yang datar. Aku sempat bingung, jangan-jangan aku salah jawab, dan belakangan aku tahu–setelah melirik ke anak lain, yang juga sedang ditanya-tanya oleh seorang panitia, ternyata intonasi suaraku sama sekali tidak mencerminkan seorang tentara. Lagi-lagi, aku baru tahu cara bicara pun ada aturannya di sini. “Ulangi! Nama? Daerah?” tanyanya lebih tegas. “Siap! Satya Wira Dharma Adi Sucipto, usia 18 tahun, asal Jakarta!” kataku dengan sangat lengkap dan tegas. Maaf jika namaku panjang, dan sama sekali tidak berbau-bau Betawi, misal Jampang atau Abdul atau apa lah. Bapakku orang Jawa asli, Ibuku peranakan Jawa-Betawi. “Silakan, baris di sana!” perintahnya, sambil mencatatkan namaku entah untuk apa. Sesuai perintahnya aku berbaris di tempat yang ditunjukkan, di sana juga sudah ada beberapa anak yang sedang mengantre sambil tangannya membawa map, yang sudah dipastikan berisi dokumen. Antreannya cukup panjang, ternyata menuju sebuah lorong di mana sedang ada proses pengukuran tinggi badan dan berat badan. Setelah selesai giliranku, aku dipersilakan ke sebuah meja untuk menyerahkan berkas, dan diberi nomor, mirip nomor antrean di Bank, atau semacamnya. Setelah semua beres, nomor yang tadi itu diganti dengan tanda pengenal peserta, yang di atasnya ditempel fotoku. Sekitar satu atau dua jam kemudian, calon peserta seleksi diperintahkan berkumpul, saat itu matahari terasa sangat terik menyengat, kami berkerumun di sebuah lapangan, berpanas-panas. Aku yakin, pecinta skin care akan menangis melihat ini. Seorang tentara bertubuh tegap berdiri di depan, tentara yang berbeda dari yang di gerbang tadi. Ia memberikan wejangan-wejangan, yang intinya seorang prajurit jangan mudah menyerah. Dan tak lama setelah itu, panitia lainnya datang, lalu mengumumkan kepada kami, bahwa minggu depan kami harus kembali ke sini untuk menjalani serangkaian tes lanjutan. Sore hari proses administrasi selesai, tak terasa aku berada di Markas TNI ini sudah seharian. Tubuh lengket oleh keringat, perut lapar, tubuh lungse, sulit dideskripsikan. Tapi yang terpenting, aku lolos tahap administrasi, paling tidak pintu sudah terbuka, perkara nantinya aku lolos ke tahap selanjutnya hingga ke Surabaya, atau aku gugur di tengah jalan, itu urusan takdir Tuhan. Yang pasti Aku akan berusaha semampu yang aku bisa. “Lolos, Nak?” tanya Mamak waktu itu. “Alhamdulilah, Mak!” jawabku lewat telefon. “Alhamdulillah, kamu kapan berangkat ke Surabaya?” “Belom, Mak, masih jauh. Ini baru lolos administrasi, Mak, nanti datang lagi buat tes kesehatan,” “Oh gitu ya,” *** -AYU- Aku memandangi layar handphone, sudah hampir satu jam, mendadak gadget ini menjadi sepi dan senyap, aku berharap ada sebuah notifikasi dari Satya, paling tidak ia tanya kabarku atau apa, ini tidak. Semenjak kami putus, Satya benar-benar menghilang bagai di telan bumi, bahkan di sekolah saja anehnya kami jarang berpapasan. Entahlah, mungkin ia sama-sama menghindar seperti aku. Kemarin surat dari sekolah sudah tiba di rumah dengan selamat. Yang terima adalah ibuku, kami berdua membuka bersama-sama isi amplop itu, dengan perasaan campur aduk, seperti sedang menunggu pengumuman lotre. Sengaja Ibuku membuka amplop itu dengan lambat, pertama ia bolak balik setiap sisinya, kemudian ia pergi ke kamar mengambil gunting, kemudian merobek sisi bagian atasnya, yang sebelumnya diterawang dulu seperti mengecek apakah sebuah uang lembaran palsu atau asli, baru setelah itu mengeluarkan isinya perlahan. Aku hampir gemas dibuatnya. “Bu, lama amat sih?” tanyaku kesal. “Sabar dong, Nak, ini kan surat penting, jadi kudu hati-hati dan sama perasaan bukanya!” katanya penuh syarat. “Ya udah, terserah… yang penting cepet,” kataku ketus. Akhirnya ibu berhasil membuka dan mengeluarkan isinya, ada secaraik kertas terlipat tiga dibagian dalamnya. Dia merentangkan kertas itu, mirip seperti akan membacakan pengumuman. “Jangan mengintip!” perintahnya. “Dengan ini, ananda Ayu Ajeng dinyatakan ‘LULUS’!” teriaknya setelah membacakan keseluruhan isi surat pengumuman itu. Kami berpelukan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD