Bab 1

1104 Words
-AYU- Pagi-pagi sekali aku siap dengan papan d**a dan pensil 2B di dalam tasku. Pagi ini Ibu membuatkanku bekal sekolah setumpuk roti lapis dengan isian telur mata sapi dan selada, ia juga membuatkan satu lagi untuk Satya. Ia sudah terbiasa membawakan bekal sekolah sebanyak dua porsi, untukku dan satunya lagi untuknya, biasanya aku berikan nanti kepada Satya di sekolah saat jam istirahat. Ibuku belum tahu kalau kami sudah putus sejak 2 bulan lalu. “Nah, yang di wadah biru ini untuk Satya, ya!” katanya riang seperti biasanya. Ibuku memang menyukai Satya. Menurutnya anaknya sopan dan gak macam-macam. Aku tak pernah jawab apa-apa, hanya mengangguk, saat ia memasukkan bekal makanan untuk Satya di ranselku. Mungkin Ibu menyangka semua baik-baik saja antara aku dan dia. Padahal, jatah Satya biasanya aku berikan saja pada penjaga sekolah, ia selalu senang menerimanya. Perjalanan ke sekolah terasa sepi, meskipun ini sudah berjalan dua bulan, aku masih selalu menunggunya di perempatan jalan itu. Kebetulan rumahnya satu jalur dengan tempatku menunggu metromini untuk pergi ke sekolah. Kami memang jarang secara sengaja janjian pergi dan pulang bersama setiap hari, tapi anehnya hampir setiap hari kami selalu berpapasan. Entah Satya memang men-set alarm di ponselnya, waktu di mana aku biasa mencegat kendaraan umum, atau memang suara hati kami yang saling memanggil. Sebuah metromini jurusan Senen-Setiabudi berhenti tepat di depanku, terdengar suara kernet begitu nyaring memanggil penumpang. Padahal tanpa dipanggil sekeras itu pun mereka pasti akan cepat-cepat naik karena takut tertinggal. *** -SATYA- Aku bisa melihat Ayu naik metromini dari kejauhan, mungkin jarakku dengannya hanya sekitar 50 meter dan terhalang penjual asongan, tapi rasanya seperti bermil-mil. Kini aku merasa tenang, karena dia sudah aman di dalam sana. Paling tidak, sepengetahuanku saat mengamatinya tadi, dia tidak diikuti copet atau sejenisnya. Aku nyalakan motor, dan kembali melanjutkan perjalanan menuju sekolah. Aku tak boleh terlambat, karena hari ini adalah hari pertama pekan UN. Rasanya sepi tidak ada Ayu yang biasanya mengoceh, di jok belakang motorku. Sedikit ada yang berbeda, dan kadang itu membuatku sedih. Selain itu, perbedaan lainnya kali ini aku bisa melajukan motor dengan kecepatan sesuka hatiku, karena yang perlu aku pikirkan keselamatannya hanya diriku saja, sedangkan sebelum, 2 bulan lalu, aku pun turut memikirkan keselamatan penumpangku. Jadi aku jarang menjalankan motor terlalu cepat apa lagi sampai kebut-kebutan. Entah ia melihat atau tidak, tadi aku sempat menyalip metromini yang dinaikinya. Aku bisa melihat wajahnya yang bening duduk di sebelah kaca, bangku ketiga di belakang supir. Ia sedang menggunakan headset, mungkin sedang mendengarkan lagu, naik metromini itu kadang membosankan. -AYU- Aku sedang mendengarkan lagu favoritku dan Satya, yang di putar di telepon genggamku, saat tiba-tiba kernet menepuk pundakku, meminta ongkos. Mungkin sudah beberapa kali ia memanggilku, tapi aku sama sekali tidak mendengar. “Ongkos, Neng!” katanya. “Ini, Bang,” aku menyerahkan uang dua puluh ribu rupiah. Kemudian ia mengembalikan uangnya dengan pecahan dua ribuan 5 lembar. Perjalanan dari rumah ke sekolah memang tidak begitu jauh, namun jika ditempuh dengan kendaraan umum rasanya bisa berjam-jam. Belum lagi terjebak macet dan melewati beberapa stopan. Kalau saat begini, rasanya rindu sekali motornya Satya, tentu saja rindu orangnya juga. Satya paling bisa menemukan celah-celah jalan dengan motornya, agar kami dapat sampai di sekolah tepat waktu. Meskipun tidak jarang aku mengomel jika dia sudah menyerobot rute bus TransJakarta. Hanya karena ingin cepat. “Bang, berhenti depan ya!” teriakku pada supir. Tak lama supir merapatkan busnya ke tepi sebelah kiri, dan berhenti tepat di trotoar. Aku turun, dan bus kembali melaju, membawa penumpangnya ke tempat tujuan. Mini bus adalah moda transportasi yang kerap menemaniku dua bulan terakhir. Karena hampir tiga tahun ini aku sangat jarang menumpak bus berukuran sedang berwarna dominan oranye itu. Aku berangkat bareng Satya. Meskipun ini terasa begitu tidak nyaman bagiku, mau bagaimana lagi, kami sudah memutuskan untuk menjalani ini masing-masing. Meskipun seharusnya ini terasa biasa saja, karena sebelum tiga tahun terindah ini kami toh juga jalan sendiri-sendiri, bahkan kenal saja tidak. Tapi ternyata benar kata pepatah: sesuatu yang tak biasa, lama kelamaan akan biasa jua. Yang lebih menyesakkan d**a, jika sebelum-sebelumnya sangat nyaman menjalaninya, namun harus berakhir begitu saja. Waktu selama 3 tahun bersama Satya pun terasa begitu sebentar. Ah, sudahlah untuk apa meratap, semua sudah terlanjur. Meskipun ada dan atau tanpa dia hari tetap berganti, meski tak pernah sama. Aku berjalan gontai menyusuri trotoar menuju sekolahku. Sekolahku terletak di pusat kota yang ramai dan cukup padat. Beberapa anak lain juga terlihat sedang berjalan di belakangku. Dan yang paling menyebalkan dia pasti sedang berjalan dengan pacarnya. Atau hanya perasaanku saja. Ketika masuk gerbang sekolah, perhatianku pertama-tama selalu tertuju pada parkiran motor yang berada tepat di samping pos satpam. Seperti biasa, di sana sudah ada motornya Satya. Ia selalu datang lebih pagi daripada diriku. “Hai, Ayu!” seorang teman menyapa, saat aku berjalan menyusuri lorong kelas. Sengaja aku tidak mengambil jalan menerobos lapangan, karena di seberang lapangan adalah kelasnya Satya, aku selalu sesak jika melihatnya, meski pun belum tentu juga Satya sedang berada di kelas, bisa saja ia di kantin atau perpustakaan. -SATYA- Aku melihatnya. Kadang aku ingin tertawa, kenapa dia harus memutar jalan ke lorong jika menerobos lapangan bisa lebih cepat sampai di kelasnya. Ayu memang belum berubah dari dulu, moto hidupnya “kenapa harus cari yang gampang, kalau ada yang ribet". “Sat, lu jadi daftar Akmil?” tanya Deri. Mengagetkan. “Huuh, doain ya!” “Pantesan rambut lu udah di potong cepak, biasanya pake gaya ala-ala Korea,” kata Deri nyeleneh. “Bukan gitu, emang lagi gerah aja pake poni-ponian kayak gitu,” “Lah iya, bagusan kayak gini, lebih rapi,” “Ah, lu bisa aja!” Bel masuk berbunyi, anak-anak berlarian masuk kelas. Ujian tulis hari pertama memang yang paling bikin deg-degan, apalagi pengawasnya dari sekolah lain. Aku harus sungguh-sungguh, karena ini ujian terakhir di SMA. Sebetulnya, aku cukup terbebani dengan ujian akhir ini, karena di hari-hari sebelumnya, jika siswa lain betul-betul fokus hanya pada ujian akhir. Aku sebagai calon Taruna sudah mulai menjalani rangkaian pendaftaran administrasi, bahkan enam bulan sebelumnya sudah mulai mempersiapkan latihan fisik dan check up kesehatan, agar saat menjalani test sudah terbiasa. Aktivitas fisik yang biasa aku lakukan sehari-hari hanya latihan simpel seperti pull up, sit up, push up, dan subuh-subuh sehabis shalat aku langsung bersiap dengan pakaian olah ragaku, berlari sekitar rumah. Lalu, seminggu sekali di akhir pekan, rute kencanku berubah, dari arah rumah Ayu menuju arah gelanggang olah raga, latihan berenang. Melelahkan memang. Pasti akan terbayar jika aku lolos. Kalaupun tidak lolos, ya tidak apa-apa juga, toh tubuh yang sehat dan atletis bukan semata-mata milik TNI. Mungkin jika tidak lolos seleksi Taruna AAL, aku akan mendaftar jadi model saja, dengan bermodal perut six pack.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD