3. amnesia

1118 Words
Seperti yang dibayangkan perempuan itu, Aya hanya bisa nelangsa sambil menikmati kudapan yang untung saja rasanya enak sepanjang sisa acara. Sekarang mayoritas tamu undangan sedang berdansa ria bersama pasangan mereka. Kenapa ya, dunia sangat tidak ramah dengan kaum jomblo? Padahal kan kalau dikalkulasi populasi kaum jomblo angkanya tidak jauh dengan kaum yang memiliki pasangan. Sudah seharusnya lingkungan ramah jomblo dibuat. “Nah, selepas dansa terakhir ini, bakal ada satu momen yang ditunggu-tunggu. Ada yang bisa tebak apa?” tanya pembawa acara yang berdiri di atas panggung kecil dengan penuh semangat. “Lempar bunga!” teriak mayoritas tamu dengan semangat membara. “YA BENAR! Bagi tamu undangan khususnya yang belum nikah atau bahkan belum punya pasangan, dipersilakan merapat ke area sekitar pelaminan karena habis satu lagu ini, kita akan langsung lempar bunganya.” Aya menatap datar beberapa orang yang berdiri di sekitarnya kini sudah beranjak mendekati area sekitar pelaminan seperti yang diinstruksikan sang pembawa acara, sedangkan dirinya tetap berdiri menatap puluhan pasangan yang sedang berdansa dengan pandangan iri. Kapan coba dia bisa berdansa ria seperti itu? Lantunan piano yang beriringan dengan gesekan cello yang terdengar begitu halus menyambut menghampiri indera pendengaran perempuan yang sedang kebakaran jenggot itu, membuat otot-ototnya yang tadi meregang kembali rileks. Dari intronya saja, sudah bisa ditebak lagu apa yang akan dinyanyikan. Can’t Help Falling in Love. Lagu yang selalu membuat pipi Aya memerah setiap kali mendengarnya. Dia bahkan sampai bersumpah akan mewajibkan suaminya nanti menyanyikan lagu ini saat acara pernikahan. “Wise men say Only fools rush in But I can’t help falling in love with you.” Diam-diam Aya ikut menyanyikan lagu sambil menatap kosong salah satu pasangan yang sedang berdansa. Sepasang kekasih itu sangat menarik perhatiannya secara tiba-tiba. Dari puluhan pasangan, merekalah yang paling bersinar. Aya mengulum senyumnya. Entah siapa diantara mereka yang paling beruntung. Si perempuan terlihat sangat anggun dengan rambut lurus yang beterbangan mengikuti arah mereka melangkah. Sedangkan si pria tampak sangat karismatik dengan tubuh tegap. “Shall I stay Would it be a sin If I can’t help falling in love with you?” Tatapan mata penuh cinta. Aya sudah lama tidak merasakannya. Bagaimana si pria menatap kekasihnya begitu dalam dengan senyum penuh puja, membuat Aya kembali saat 3 tahun lalu dimana ada seorang pria—satu-satunya pria—yang menatapnya persis bagaimana Si Pria menatap Si Perempuan. “Like a river flows Surely to the sea Darling so it goes Something are meant to be.” Lucu. Bagaimana seolah-olah lagunya diciptakan khusus untuk sepasang kekasih itu. Mereka seakan-akan pemeran utama film romantis, sedangkan Aya adalah penonton yang sedang terpana. “So take my hand Take my whole life too For I can’t help falling in love with you.” Sepasang kekasih itu berputar, hingga kini berganti Si Pria yang memunggungi Aya, sedangkan Si Perempuan terarah lurus ke hadapannya dengan tangan yang melingkar di leher Si Pria. “No, I can't help falling in love with you.” Seketika, Aya membeku, Hampir saja dia menjatuhkan gelas yang digenggamnya saat mata Aya bertatapan dengan Si Perempuan. Ternyata, rasa familiar yang dirasakannya tadi bukan karena Aya sering sekali memutarkan lagu itu. Napasnya tercekat saat tiba-tiba saja Si Perempuan berlari kecil mendekatinya dengan senyuman penuh semangat. “Aya! Kamu Aya, kan?” meski dengan napas terengah-engah, perempuan itu masih terlihat sangat anggun. Dengan kaku, Aya mengangguk. “Hm,” jawabnya singkat. “Ya ampun Aya! Udah lama banget kita nggak ketemu.” Perempuan itu langsung memeluk Aya dengan penuh haru, seakan-akan mereka adalah sahabat lama yang sudah tidak pernah berjumpa padahal sebenarnya angka pertemuan mereka saja tidak sampai menyentuh angka 5. Setelah memberanikan dirinya, Aya akhirnya membalas pelukan perempuan itu. “Iya Lana, udah lama kita nggak ketemu.” Lana melepaskan pelukan. “Terakhir kali kita ketemu kapan sih? Pas acara wisuda Jo bukan?" tanya Lana sambil menyisingkan helaian rambutnya ke belakang telinga. “Iya bener,” jawab Aya sambil tersenyum canggung. Kalau Si Perempuan itu adalah Lana, sudah pasti Si Pria yang dari tadi diperhatikan Aya adalah Jo. Rasanya Aya mau kabur sekarang juga. 3 tahun tanpa bertemu saja Aya masih belum sepenuhnya menghapus perasaannya pada Jo, apalagi sekarang saat mereka tiba-tiba saja bertemu. Bisa-bisa semua usaha yang telah dilakukannya demi move on sia-sia. “Kamu sekarang kerja di mana, Ya? Kayaknya sibuk banget ya, sampai-sampai DM aku dari 3 tahun lalu nggak dibaca.” Seketika, Aya mau melebur sekarang juga. Perempuan itu memang sengaja tidak membuka pesan dari Lana untuk menetralisir rasa sakit hatinya. Aduh … mau ditaruh dimana muka perempuan itu sekarang? “Maaf ya, aku memang semenjak lulus sibuk banget. Aduh, sorry banget bukan bermaksud sok ngartis. Nanti kalau kamu chat lagi aku pastiin bakal balas secepat mungkin deh,” ucap Aya dengan nada tak enak hati. “Hahaha.” Lana tertawa sambil memegang pundak Aya. “Santai aja kali, aku cuma bercanda. Lagian aku bisa maklum kok, Jo juga semenjak kerja juga susah dihubungi.” Aya tersenyum. Mengetahui posisi Jo yang menjadi jantung perusahaan membuat perempuan itu langsung membayangkan sesibuk apa Jo sekarang. “Oh, kamu udah lama nggak ketemu Jo juga, kan? Sebentar ya aku panggilin.” Mendengar itu, Aya langsung gelagapan panik. “Ng—” “JO!” belum sempat Aya berbicara, Lana sudah terlebih dahulu berteriak. Perempuan itu menundukkan wajahnya, tak ingin melihat langkah pria itu semakin mendekati mereka. “Plis jangan datang, plis jangan datang,” ucapnya dalam hati namun nihil. “Kenapa, Na?” Aya masih mengingat dengan jelas pemilik suara yang sudah tidak pernah didengarnya lagi selama 3 tahun ini. “Kamu masih ingat Aya, nggak?” tanya Lana dengan penuh semangat. Jo mengernyitkan keningnya. “Aya? Siapa Aya?” Seketika, hati Aya rasanya diremuk-remuk sampai hancur tak bersisa saat mendengar nada suara penuh kebingungan saat Jo menyebutkan namanya. 3 tahun berlalu, dan kini Jo benar-benar sudah menghapusnya dari ingatan hingga tak bersisa. Lana berdecak sambil memukul Jo pelan. “Aya kawan kuliah kamu itu loh, masa nggak ingat. Itu tu, orangnya.” Dengan terpaksa, Aya mengangkat kepalanya, berusaha mengukir senyuman walaupun hasilnya hanya terbentuk senyuman super tipis. “Udah lama nggak ketemu, wajar kok lupa,” ucapku yang berpura-pura maklum. Meski Jo sudah melihat wajah Aya, pria itu masih terlihat kebingungan. “Maaf ya, aku udah tua soalnya, hehehe.” Semakin berpura-pura, semakin sakit saja rasanya. Aya menggenggam gelasnya sekuat mungkin, memfokuskan amarahnya hanya pada satu titik. Lana lagi-lagi memukul Jo pelan, “Kamu ini baru 27 tahun aja udah pikun. Padahal kamu dulu ngaku ke aku pernah suka sama Aya, loh.” Jo menggaruk tengkuknya salah tingkah, menatap sepenuhnya pada Lana. “Kamu kenapa, sih? Sejak kapan aku pernah bilang gitu. Kan udah aku jelasin dari aku kecil sampai sekarang juga aku cuma pernah suka sama kamu, Na.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD