2. Tidak Banyak Pilihan

1145 Words
Yasmin masih bingung apa yang terjadi, ia mendengar perkelahian di dalam sana, para gelandangan malah pergi meninggalkan tempat itu karena takut, sementara dia diam di tempat tak berani bergerak. Yasmin menunduk, melihat bayi di gendongan, tertidur pulas dengan empengnya, sangat gemuk dan menggemaskan. Membuat bibirnya tanpa sadar terangkat. Sudah lama ia tidak melihat bayi. Angka kelahiran di Korea sangat rendah, bisa berjumpa dengan bayi adalah sesuatu yang langka. "Qais...." Pria itu kembali dengan luka lebam di wajah dan bibir pecah, matanya berkunang-kunang, darah terus menetes dari lengannya. "Hey kamu kenapa?" tanya Yasmin sembari berdiri menghampirinya. Pandangan pria itu terus berkunang, jalannya sempoyongan, lalu jatuh dan kehilangan kesadaran sepenuhnya. "Tolong!" Teriak Yasmin. Tak ada orang, stasiun bawah tanah itu kosong dan hanya tinggal mereka. Dia segera menelepon ambulan. Membawanya ke rumah sakit meski tak saling kenal. Pria ini satu bahasa dengannya, pasti dia warga Indonesia. Yasmin tidak bisa mengabaikan sesama warga negaranya sendiri. "Apakah anda walinya?" tanya petugas ambulan ketika pria itu baru masuk UGD. Yasmin menggeleng, kakinya mundur. Dia takut indentitasnya terbongkar sebagai turis kehabisan izin tinggal. Dia kesal karena orang tuanya hanya tahu dia tinggal di Korea tanpa peduli dengan visa, seolah itu urusannya sendiri. Padahal dia bingung setengah mati karena izin tinggalnya habis, mengajukan visa sebagai mahasiswi sangat sulit kerena faktanya dia kuliah atas nama Yeri. Mengajukan izin tinggal sebagai pekerja migran juga tidak bisa. "Saya nggak sengaja ketemu dia di jalan," jawab Yasmin jujur. Petugas ambulan itu mengangguk, dia mencari tahu sendiri identitas pria itu dengan menggeledah dompetnya. Yasmin melirik, ikut penasaran. Dari pendengarannya, pria itu adalah mahasiswa kedokteran. Tinggal di Seoul dan tidak ada wali. "Terus ibumu siapa, Nak?" tanya Yasmin pada bayi yang dia gendong, matanya terbuka, melihat Yasmin dengan tenang. Yasmin menebak, mungkin ibu bayi ini adalah warga negara Korea, hubungan menghasilkan bayi yang tidak direstui oleh orang tua si wanita, lalu si pria membawa kabur si bayi yang terancam oleh orang tua si wanita. Itu mirip drama Korea yang pernah dia tonton. Ntah kenapa setiap melihat bayi, Yasmin merasa ingin menjaganya, mungkin karena tumbuh tanpa orang tua, dia jadi ingin merawat anak sebaik mungkin. "Aku akan menjagamu sampai ayahmu bangun," kata Yasmin. Sekarang Yasmin tidak ada tempat tujuan, mungkin besok ia akan kembali ke apartemen kakaknya untuk numpang, semoga saja dia bisa segera menghubungi kakaknya. Dua tahun lalu Yasmin ditipu, katanya Yeri sudah meninggal dan dia bisa kembali bersama orang tuanya. Saat itu dia tidak curiga sama sekali, sembilan tahun berpisah membuatnya sangat rindu dan ingin segera berkumpul dengan kedua orang tuanya. Tapi nyatanya, sesampainya di Korea dia malah disuruh menggantikan Yeri kuliah. Tanpa memikirkan di masa ini seharusnya Yasmin kuliah untuk masa depannya sendiri. "Selama ini kamu sudah sekolah dan Yeri tidak. Sekarang giliranmu membantu Yeri sekolah." "Tapi, Ma. Aku juga pingin kuliah untuk diriku sendiri." "Yeri hanya meminjam kesehatanmu selama 4 tahun, dan kamu tidak mau?" "Bukan gitu tapi--" Semua ucapan Yasmin tidak didengarkan, semakin dia membantah malah akan dicap sebagai anak durhaka. Mama menangis di depannya. Memohon pada Yasmin untuk memenuhi keinginan Yeri. "Padahal dari lahir kamu selalu sehat, kenapa kamu tidak berbalas kasih pada Yeri sedikitpun?" tanya Papa marah. Orang tuanya menanamkan rasa bersalah lagi padanya, seolah kesalahan besar jika Yeri sakit dan dia sehat. Yasmin tidak punya banyak pilihan, sudah datang jauh-jauh dari Indonesia, tidak mungkin pulang lagi dengan tangan kosong. Kasihan nenek kakeknya yang membelikan tiket. Mulai saat itu dia berpenampilan seperti Yeri, menutup kepala dan memakai rambut palsu, dia tidak bisa berhijab di depan umum. Selalu memakai pakaian tertutup dan syal atau selendang. Dia berusaha menutup aurat. Bayi dalam gendongan Yasmin menangis, membuat petugas di UGD melihat ke arahnya. Yasmin buru-buru menidurikan bayi itu di ranjang kosong sebelah ayahnya, melihat popok. Ternyata popoknya miring dan membuat bayi itu tidak nyaman, ia segera mengambil tas yang berada di samping ayah si bayi, menggantikan popok dengan cepat. "Sabar sayang, cup cup jangan nangis." Yasmin menggantikan popok dengan cepat, ia pernah mengurus bayi saat masih di Indonesia, milik tetangganya yang pergi bekerja. Kebetulan waktu itu dia sedang libur sekolah. Setelah ganti popok pun bayi itu tetap menangis, Yasmin kembali menggendong, mengambil susunya, ada ASI dingin di sana. Dia ragu untuk mengambil. Tidak tahu cara memanaskan ASI. Pada akhirnya Yasmin mengambil sufor, lalu meminta air hangat pada petugas. Dia mengurus bayi itu semalaman. Membiarkan ayah si bayi tidur lelap. Pukul setengah empat alarm berbunyi karena sudah waktu shalat subuh, ia mengecek pesan dari Kakaknya, masih tak ada balasan. Membuatnya mendesah berat. Tak tahu harus pergi ke mana. Dia benar-benar jadi gelandangan. Uang di kartu ATM memang ada, tapi ia tidak bisa menginap di hotel karena visanya belum diurus. Pergi ke rumah teman pun tidak mungkin, pasalnya dia berteman memakai nama Yeri bukan Yasmin. Identitasnya bisa terbongkar. Dia hanya bisa mendesah berat. Mata pria di depannya perlahan terbuka, mengerjap melihat lampu di atas, sedikit demi sedikit kesadarannya pulih. "Qais!" Teriak pria itu langsung duduk. Napasnya terengah-engah. Panik. "Apa itu nama putramu?" tanya Yasmin di sampingnya. Pria itu langsung menoleh, mendapati Qais yang tertidur lelap di gendongan Yasmin. Ia langsung bernapas lega melihat kondisi Qais yang baik-baik saja. "Syukurlah," ucapnya. "Anakmu udah aku gantikan popok, dia juga udah minum s**u dua kali, sekarang dia tidur." Yasmin melepaskan gendongan, harus segera cari tempat shalat subuh, islamic center lumayan jauh dari sini, ia takut tidak keburu. "Tanganku masih sakit, aku nggak bisa gendong." Pria itu enggan menerima si bayi. "Panggil aja temenmu, aku harus cari tempat buat shalat subuh." Pria itu diam sejenak, berpikir sembari melihat Qais dan Yasmin bergantian. "Aku tidak punya teman untuk dimintai bantuan," kata pria itu. Masih mengatur napas dan melihat keadaan sekitar. Dia pasti tahu ini di rumah sakit. "Terus gimana dong, aku juga harus pergi." "Namaku Daren, bayi itu Qais, aku mahasiswa kedokteran Pascasarjana dan kau?" Yasmin diam sejenak, ia bukan pelajar atau pekerja, tidak bisa juga bilang orang tuanya berada di sini karena mereka tidak mengakuinya. "Aku Yasmin, turis biasa." "Apa kau kehabisan uang sampai tidur di stasiun?" Yasmin menggeleng. "Izin tinggal ku habis." "Makanya itu kau jadi gelandangan?" Pertanyaan pria itu sangat menyebalkan, sudah ditolong tidak berterima kasih pula. Yasmin diam saja, tidak mau menjawab. "Maaf, aku hanya ingin menawarkan pekerjaan merawat Qais sampai aku sembuh, kau juga bisa tinggal di apartemen ku." Pria ini punya apartemen, sepertinya dia mahasiswa kaya. Kalau ada orang yang bisa memberikan tempat tinggal dan makan untuk sementara waktu, sepertinya ia mau bekerja sebagai pengasuh sampai bisa menghubungi kakaknya. Skandal kakaknya kali ini lumayan parah, ia tidak yakin bisa langsung menghubungi kakaknya hari ini. "Aku takut tinggal sama pria asing," jawab Yasmin. "Aku tidak akan menyentuhmu atau berbuat macam-macam, urus saja bayi itu sampai aku sembuh dan menemukan pengasuh bayi. Dan kau tidak perlu khawatir, aku juga akan segera punya ART perempuan. Kita akan tinggal berempat. "Keadaan ku sekarang sangat sulit, sebagai sesama warga negara Indonesia yang baik, bukankan kita harus saling membantu di negeri orang?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD