3. Orang Elite

1113 Words
Tatapan Daren tak mampu Yasmin baca, seperti putus asa dibalut dengan kesombongan. Membuatnya terlihat sebagai orang kuat padahal tidak. Udara di sekitar semakin dingin, musim semi di awal april, sakura baru saja mekar di sepanjang jalan. Terlihat cantik dengan nuansa warna pink. Dua orang dewasa itu sama-sama tidak peduli apakah sakura indah atau tidak, hidup mereka terlalu sulit untuk berpikir ke sana. Lebih dari sekedar tidak punya tempat tinggal, ntah kenapa Yasmin memang ingin membantu pria yang tengah kesulitan itu. Yasmin menunduk, melihat bayi yang tertidur pulas. "Baiklah, aku menerimanya tapi hanya untuk sementara." Orang tuanya tidak akan peduli ia bekerja di rumah pria asing atau tidak. Selama libur semester dia tidak akan diberi uang jajan. Biasanya minta kakaknya, tapi sekarang kakak sedang dalam masalah, tidak mungkin menambah masalah lagi, kasihan. "Aku akan mengurus administrasi sebelum pulang," kata Daren. Dia memanggil suster, minta infusnya dilepaskan. Setelah berdiri Daren tampak seperti orang sehat, tubuhnya kokoh. Yasmin tak tahu apa masalah Daren, punggungnya seperti menopang beban berat. Semua orang punya masalah, ia tidak ingin bertanya. Daren memanggil supir jemputan, minta mengambilkan mobilnya di bandara. Lalu mengantarkan mereka ke apartemen. Sepanjang perjalanan Yasmin melihat ke luar. Baru pukul empat pagi. Jalanan lengang dan santai. "Apa ini mobilmu sendiri?" tanya Yasmin sembari menoleh. Ia tak bisa menyembunyikan rasa penasaran, pasalnya sangat jarang mahasiswa asing memiliki mobil. "Iya, kenapa?" "Geunyang, ingin tahu saja." "Apartemen juga milikku sendiri." Daren pamer, berusaha membuat Yasmin kagum. Hanya saja gadis itu mampu menyembunyikan ekspresinya. "Ohh." Mobil memasuki daerah Itaewon, tempat yang terkenal sangat elite dan hanya untuk orang kaya di Seoul. Sekali lagi Yasmin menoleh ke Daren, ia sangat penasaran sekaya apa Daren. Belum pernah Yasmin mendapati mahasiswa asing memiliki apartemen dan mobil pribadi. Apalagi di daerah seelite ini. "Tempat ini ternyata bagus banget," gumam Yasmin tanpa sadar. Kawasan elit yang belum pernah dia masuki, liburan semester kemarin, Papa dan Mamanya mengajak Yeri ke mari untuk jalan-jalan. Yasmin pikir jalan berempat sepertinya akan menyenangkan. "Ma, aku belum pernah ke Itaewon. Katanya di sana bagus, boleh nggak aku ikut?" tanya Yasmin. "Yeri tidak akan mau jalan bareng kamu," jawab Mama, masih sibuk melipat baju Yeri. Nanti malam Yeri akan pulang. "Kan belum tanya Yeri, siapa tahu dia mau." "Ngeyel banget ya kamu dibilangin, Yeri bakal malu jalan sama kamu, lihat kelakuanmu yang norak. Kamu nggak pantas jalan-jalan ke Itaewon!" Mama berdiri sembari membawa pakaian Yeri, dimasukkan ke dalam lemari. d**a Yasmin memang sakit, tapi sekali saja, dia ingin jalan-jalan bersama keluarganya. "Aku bisa jalan di belakang, janji nggak deket-deket kalian. Boleh ya, Ma?" Satu hal yang dulu dia sesali ketika dikirim ke Indonesia, ia tidak punya foto keluarga ataupun kenangan manis bersama orang tuanya. Kalau jalan-jalan hampir selalu ditinggal. Katanya mereka tidak bisa fokus pada Yeri kalau Yasmin ikut. Saat itu Yasmin mengalah, tidak apa, jalan-jalan bisa membuat Yeri senang dan akan segera sembuh. Kalau Yeri sehat maka semuanya akan membaik. Dan mereka bisa berkumpul seperti keluarga normal. "Ck menyebalkan. Kalau Mama bilang nggak boleh ya jangan bantah, kami nggak mau jalan bareng kamu. Ngerti?!" Yasmin terdiam. Tak bisa berkata apapun lagi. Dia tidak mungkin memohon meski sangat ingin. Keputusan Mama sudah bulat. "Cepat bereskan bajumu dan pergi, Yeri akan segera pulang." "Iya, Ma. Aku mau buat bekal dulu, di apartemen Oppa jarang ada makanan." Yasmin keluar dari kamar Yeri, pergi ke dapur. Membuat makanannya sendiri. Dia tidak boleh menyentuh makanan yang sudah Mama siapkan untuk Yeri. Dibanding dulu, sekarang ia lebih banyak protes. Dari mulai minta perhatian Mama, menghabiskan waktu bersama Papa dan bercanda bersama kakaknya. Sebenarnya dia juga ingin dekat dengan Yeri, tapi kembarannya itu sangat membencinya. Setelah liburan musim panas tahun lalu, foto-foto Yeri bersama kedua orang tuanya dipajang. Membuat Yasmin iri. Dia juga ingin seperti itu. "Aku harap bisa tukar posisi dengan Yeri," gumamnya. Andai dia sakit dan Yeri sehat, tentu yang akan disayang orang tuanya adalah dia. Bisa berjalan-jalan dengan Mama dan papa. Juga dicintai mereka. Itu pasti menyenangkan. "Kenapa ngelamun?" tanya Daren membuyarkan ingatan Yasmin. "Nggak papa, cuma kagum karena tempat ini bagus." "Ini cuma jalan biasanya, kalau mau belanja ada di sebelah sana. Kamu turis tapi kenapa nggak mampir ke sini?" "Geunyang, belum sempat." "Sudah berapa lama kau di sini sampai jadi gelandangan?" Bahasa gelandangan itu masih saja dipakai, Yasmin kesal tapi hanya bisa tersenyum. "Dua tahun." "Wah, apa kau turis yang jadi pekerja migran kaburan?" Yasmin bingung menjelaskan keadaannya. Terlalu sulit dan rumit. Dirinya lebih parah dari pekerja migran kaburan, kalau mereka jelas untuk bekerja. Sementara ia kuliah untuk saudara kembarnya, punya keluarga tapi tidak diakui, sulit kembali ke Indonesia karena masalah visa. Lengkap sudah. "Anggap aja begitu," jawab Yasmin sekedarnya. "Kalau begitu kau bisa bekerja padaku, aku akan memberikan tempat tinggal, makan dan gaji. Ibu bayi itu berhijab, kalau beliau tahu bayinya diasuh oleh orang yang mirip dengannya, pasti beliau akan senang." Dari perkataannya seolah ini bukan bayi Daren. "Aku akan bekerja untuk sementara." "Kenapa? Apa karena aku kurang tamp-- maksudku gajinya kurang? Aku bisa naikkan gaji." Daren tampan, hidung mancung dan blasteran Indonesia-bule. Tapi itu tidak penting bagi Yasmin, kakaknya lebih tampan, teman-teman kakaknya jauh lebih tampan. Mereka tergabung dalam grup BST. Sedang naik daun dan memiliki fans dari seluruh dunia. "Aku akan segera bertemu kakakku," jawab Yasmin jujur. "Ah, kau punya kakak di sini? Apa dia pekerja migran juga?" Yasmin tidak menjawab, dia tidak ingin menjelaskan apapun. Mobil memasuki area parkir bawah tanah, mereka turun satu persatu, Daren mengeluarkan uang dan membayar supir pengganti. "Lewat sini," kata Daren menunjukkan jalan pada Yasmin yang masih menggendong Qais. Langkah Yasmin ragu mengikuti, apakah benar keputusannya untuk bekerja pada Daren, ia takut pria ini jahat dan melakukan hal buruk padanya. Sepanjang naik lift, mereka diam dan larut dalam pikirannya masing-masing. Sementara Qais masih tertidur pulas. Ketika lift terbuka, mereka segera menuju pintu kamar apartemen. Daren memencet tombol pin, hingga terdengar bunyi sebelum pintu terbuka. "Ayo masuk," ajak Daren. Tiba-tiba seorang pria mengejutkan mereka. "Daren kamu...." Kata pria itu. Dari lorong sebelah kanan. Daren terpaku melihat pria yang tingginya sejajar dengannya. "Ini nggak seperti yang kamu pikirkan," kata Daren mengelak. Yasmin terlihat bingung, melihat berdua pria itu bergantian. "Kamu masuk dulu, aku ada urusan." Daren mendorong Yasmin dan Qais masuk ke apartemen, sepertinya ia harus menjelaskan sesuatu pada pria tadi. Yasmin terdiam di dalam apartemen, mencerna apa yang terjadi. Kepalanya menunduk. Melihat mata Qais yang menggeliat. Mata bayi itu perlahan terbuka. "Ayahmu gay?" tanya Yasmin pada bayi yang tidak bisa bicara. Qais mengedipkan mata beberapa kali, tubuhnya terus menggeliat, terasa tidak nyaman. Yasmin menguping di pintu. Mendengar perdebatan Daren dengan pria tadi. "Ternyata kamu pulang kampung karena punya anak istri? Aku nggak nyangka kamu--" "Ahin! Sudah kubilang ini nggak seperti yang kamu pikirkan!" Daren terus berkilah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD