jingga 2

1523 Words
Sore di sudut Kota, gerimis semakin lebat menurunkan bulir air membuat sebagian orang berlarian kesana kemari untuk berteduh. Cuaca yang sedari pagi terlihat cerah membuat sebagian orang meninggalkan payung dan alat pelindung hujan. Hingga banyak yang menjadikan emperan toko menjadi tempat berteduh. Sama halnya dengan seorang gadis dengan baju setengah basah berdiri di depan sebuah toko. Dengan beberapa orang yang juga berteduh di sana, dengan sebelah tongkat menyangga di bagian lengannya dia berdiri di paling belakang, tak ingin kehadirannya menjadi bahan tatapan orang-orang di hadapannya. Dia merasa risih dan malu dengan keadaan dirinya. Kaki kanan pincang dan jari kelingking di tangan kanannya yang tidak ada membuat dia merasa malu. Jingga namanya, dengan rambut panjang terurai, baju kusut, wajah pucat dengan kantung mata menghitam membuat dia menunduk semakin dalam. Tangannya memeluk sekantung plastik berisi makanan yang dia beli untuk beberapa adiknya, melindungi bungkusan makanan agar tidak basah. Dia mengangkat kepalanya, memperhatikan awan hitam yang sepertinya baru saja datang dengan membawa miliyaran kubik air yang siap di tumpahkan. Jingga menatap dengan cemas, dia tidak ingin terlambat pulang, dan membiarkan adik-adiknya menunggu. Harap cemas dia berdoa meminta agar hujan berhenti barang sebentar saja agar dirinya bisa berjalan pulang, hanya beberapa blok dan sebuah gang kecil maka dia akan sampai di rumahnya. Namun, kondisi fisiknya tentu saja membuat dia tidak mungkin untuk menerobos genangan air di jalanan. Bisa saja lubang kecil yang ada di jalanan membuat dirinya tersandung. Keseimbangan yang dimilikinya tentu saja tidak akan bisa menyelamatkan dirinya dari kata tersungkur jatuh. Membuat makanan yang di belinya dengan perjuangan terbuang sia-sia. Jingga menghela napas pelan tatkala hujan semakin mengguyur dengan lebatnya, membuat beberapa orang bergerak mundur untuk menghindari percikan air yang bisa membuat pakaian mereka basah. Melihat itu tentu saja Jingga merasa gelisah, dia terpojok di sudut tembok, dengan kondisinya tentu saja membuatnya kesulitan, Jingga hanya bisa berharap dengan cemas sekarang. Dia tidak ingin mempermalukan dirinya di depan banyak orang seperti beberapa hari yang lalu. Jatuh hanya karena sebuah dorongan kecil yang jelas tidak di sengaja dari sang pelaku. Tatapan iba dan merendahkan dari sebagian orang membuat hatinya terasa teriris. Jika saja dulu dia tidak mengalami kecelakaan yang membuatnya harus cacat seperti sekarang ini mungkin Jingga tidak akan berada di posisi ini sekarang. Bisa saja dia menjadi gadis paling beruntung yang bisa bermain dengan bebas dan tertawa lepas seperti kebanyakan orang. Jingga menunduk semakin dalam, tubuhnya bersandar pada tembok yang ada di belakangnya, membuat posisi sedikit merosot. Sebelah Kakinya terasa kebas dan di bagian ketiaknya pun sama halnya, bahkan lebih terasa nyeri. Jingga tidak pernah berdiri selama ini, baginya sekarang ini adalah rekor terlama dia berdiri. Ingin rasanya dia duduk di lantai dengan keramik putih yang seolah melambai kearahnya jika saja rasa malu yang dia miliki tidak melarangnya. Beralasan dengan malu, Jingga memilih mempertahankan posisinya, bibirnya masih mengeluarkan sebuah bisikan dia, berharap agar hujan segera reda. "Gila ya, tau gini gue bawa payung tadi. Sial banget kejebak hujan gini, mana perut gue laper lagi." "Yaudahlah, mau gimana lagi, mau lo ngeromet seberapa banyak juga nggak akan reda ini hujan. Emang apes aja kita nggak bawa payung tadi!" "Iya, nyesel gue tadi nggak denger omongan ibu, coba aja gue denger petuah beliau, mungkin nggak akan gue kejebak di tengah orang bau gini!" Bisikan kedua gadis yang berdiri tepat di depannya membuat Jingga merasa bersalah, dia mengabaikan perkataan ibunya yang dengan jelas menyuruhnya membawa payung, tapi Jingga dengan entengnya mengatakan jika hari ini cerah dan tidak akan hujan, dan sekarang. Dia merasa bersalah karena itu. Dia mengabaikan perhatian orang dan membuatnya terjebak dalam masalah. Jingga mendengus, dia kembali mengangkat wajahnya, menatap gumpalan hitam yang perlahan pergi tertiup angin. Kata syukur segera dia ucapkan, sekarang tinggal menunggu beberapa orang di hadapannya cepat beranjak pergi dan tidak menyadari keberadaanya. °°° jingga untuk angkasa... "Kakak udah pulang!" Lengkingan suara bocah berusia 7 tahun itu menggema saat Jingga menapakkan kakinya di pekarangan rumah, senyumnya melebar dengan sempurna melihat bagaimana bocah kecil itu berlari dengan riang kearahnya. "Kakak basah? Kakak hujan-hujanan ya?" Celoteh Didi, gadis kecil berusia 7 tahun berkulit putih mata sipit dan senyum lebar, terlihat begitu cantik sore itu, "kakak kenapa hujan-hujanan? Nanti sakit loh!" Celotehnya lagi, kiri mungil itu segera meraih tangan Jingga, menarik dan mengajak Jingga untuk segera masuk. "Kakak haru segera mandi, biar nggak masuk angin terus di kerokin kayak Didi kemaren," Senyum Jingga semakin merekah, dia mengikuti langkah Didi dengan kepayahan, langkahnya yang harus di bantu dengan sebuah tongkat membuatnya agak kesulitan untuk berjalan cepat, beruntung Didi menyadari itu, bocah kecil dengan hanya memiliki satu lengan itu menoleh dan tersenyum pada Jingga, senyum yang bisa di artikan sebagai permintaan maaf karena sudah menarik paksa sang kakak. "Kakak capek ya?" Tanya Didi dengan riang yang hanya di balas dengan anggukan kecil dari Jingga, dia suka melihat adik-adiknya yang cerewet saat memperhatikan keadaanya. "Nanti Didi pijitin ya!" Senyum Jingga kian merekah, dia mengangguk lalu merasa terkejut saat kakinya di tubruk seroang bocah berusia 5 tahun dengan tawa menggema. "Kakak tolong Ica. Endah ngejar Ica kakak!" Teriak bocah itu dengan semangat, terlebih saat Endah yang di maksud Ica tadi sudah mendekat kearahnya, menggunakan topeng Monster dia berperan menjadi seorang raksasa yang siap menerkam mangsanya. "Monster kakak, Ica takut!" Gelak tawa kembali terdengar, hanya saja Didi malah terlihat cemberut saat melihat tingkah adik-adiknya. "Kalian jangan ganggu kakak dong. Kakak baru pulang. Kakak capek. Biarin kakak mandi dulu!" Ucap Didi dengan tegas, Jingga diam memperhatikan mereka, Didi ini termasuk anak yang paling mandiri di antara adik-adik Jingga. "Kasian kakaknya, capek. Nanti kalian bantu Didi pijitin kakak. Jangan malah bikin kakak makin capek!" Setengah mati Jingga menahan tawanya dengan mengigit bibir bagian bawahnya, ekspresi Didi saat memarahi anak-anak lain begitu menggemaskan. Terlebih kedua anak yang ribut tadi kini terlihat terdiam dengan wajah tertunduk. "Maaf Didi, Ica cuma mau main sama kakak." Ucapan lirih itu membuat Didi sedikit melunak. Dia mengangkat wajahnya menatap Jingga seolah menuntut jawab dari Jingga. Gelengan pelan membuat Didi mencebik pelan, dia tahu jingga akan dengan mudahnya luluh dengan anak-anak lain, tidak peduli selelah apa jingga bekerja seharian ini, melihat bagaimana aksi riang anak-anak membuat rasa lelahnya menguap entah kemana. Hanya tersisa sebuah senyum yang mengambang dengan setia. "Mainnya nanti lagi ya, kita makan dulu!" Ucap Jingga mengangkat bungkusan pelastik yang ada di tangannya. "Kakak beli makanan loh buat kalian!" "Yeee! Kakak bawa makanan!" Pekik Ica setelahnya, dia berlari masuk kedalam meninggalkan Endah, Didi dan juga Jingga yang hanya menggeleng pelan melihat kelakuan, di ikuti kekehan pelan dari ketiganya. "Yaudah yuk masuk. Kita makan bareng-bareng!" "Yuk! Aku udah laper!" Jawab Didi yang kemudian menggandeng tangan Jingga masuk kedalam. Di ikuti Endah yang sedari hanya diam. Jingga menatap beberapa anak yang sudah berteriak riang dan duduk berkumpul di meja makan. Ada 15 anak di dalam rumah itu. Masing-masing masih di bawah usia 7 tahun. Dan hanya Endah Didi dan juga Anggun yang berusia 7 tahun, mereka bertiga bertugas untuk menjaga para adik. Mengasuh dan mengawasi adik-adiknya bermain. Jingga menarik kedua sudut bibirnya, melihat bagaimana mereka tertawa bahagia tentu saja menjadi kebahagiaan tersendiri bagi Jingga. "Kamu udah pulang, ngga?" Jingga menoleh. Menemukan ibu Virda pengasuh yang ada di rumah yang di tinggali Jingga sejak dirinya berusia 9 tahun. Jingga mengangguk. Berjalan mendekat lalu menyalami tak lupa mengecup punggung tangan ibu Virda. "Baru aja pulang, Bu!" Jawab Jingga. "Ini tadi Jingga beli sedikit makanan untuk anak-anak. Alhamdulillah ada rejeki lebih, Bu". Ibu Virda menggeleng pelan, dia sudah beberapa kali melarang Jingga untuk tidak selalu memanjakan anak-anaknya, hanya saja sifat keras kepala jingga sulit untuk di hilangkan, dan jingga akan selalu membelikan banyak makanan di tiap akhir bulan dengan alasan ada rezeki lebih. "Udah ibu bilang beberapa kali, uang kamu simpan aja ngga, jangan terlalu boros dan memanjakan adik-adik mu, nanti mereka kebiasaan!" Jingga terkekeh dia mengerti dengan kekhawatiran ibunya. Hanya saja dia cuma ingin melihat adik-adiknya bisa merasakan makan enak dari hasil usahanya sendiri. Jingga tak pernah mengeluh dan merasa kehabisan tiap kali dia membelikan makanan ataupun pakaian adik-adiknya, dia percaya akan ada rezeki lebih tiap kali dirinya berbagi dan memberi sebagian hasil yang dia dapatkan. "Nggak papa Bu, alhamdulilah Jingga ada lebihan bulan ini. Jadi ini nggak seberapa." Ucap Jingga pelan berusaha menenangkan ibunya. "lagian Jingga kerja juga buat adik-adik Jingga, jadi nggak papa lah bu, biar mereka senang dan bisa merasakan hasil keringan Jingga." Bu Virda mendengus pelan, dia selalu bangga dengan cara pikir Jingga, tidak peduli bagaimana kondisi fisiknya tapi tetap saja Jingga selalu memiliki semangat untuk terus maju. Walau Virda tahu Jingga masih merasa malu dan merendah dengan keadaan fisiknya, tapi di balik itu semua hatinya yang suci dan perilaku yang pekerti membuat ibu Virda semakin percaya jika Jingga akan memiliki masa depan yang cerah, walau dengan perjalanan penuh liku yang akan di hadapinya kelak tapi ibu Virda percaya jika anak nya ini kelak akan menjadi seorang berhati mulia. "yaudah kamu mandi dulu, kamu bahas banget nanti masuk angin! biar makanannya ibu yang siapin." jingga mengangguk pelan "tolong ya Bu." "iya, udah buru kamu mandi. nanti sakit kamu itu!" Jingga terkekeh sembari berlalu meninggalkan Bu Virda kedalam kamarnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD