jingga 3

1144 Words
Pagi hari Angkasa sudah bersiap untuk pergi ke kantor seperti biasanya. Pria itu berdiri di depan cermin sembari mematut tampilannya yang terlihat sempurna seperti biasa. Diraihnya dasi berwarna navi dengan corak garis-garis favoritenya lalu memakainya dengan rapi. Dirinya sudah terbiasa melakukan persiapannya sendiri. Ditelitinya kembali tampilannya hari ini sebelum kemudian pria itu meraih jasnya dan melangkah pergi, turun ke bawah untuk berpamitan dengan kedua orangtuanya. Derap langkah Angkasa terdengar dengan penuh wibawa seiring pria itu menuruni anak tangga satu per satu. Beberapa pelayan yang berpapasan dengannya langsung menundukkan kepalanya untuk menyapa salah satu majikan mereka itu. Dan Angkasa hanya berlalu tanpa menoleh ke arah pelayan-pelayan itu, tidak memedulikan mereka. Ya begitulah Angkasa. Pria dingin dengan sejuta pesonanya. Angkasa tumbuh besar dengan segala kemewahan yang dimilikinya sedari kecil. Kehadiran seorang pelayan adalah hal biasa baginya. Mereka hanyalah seorang pekerja yang bekerja di rumah besarnya ini. Mereka hanyalah orang asing bagi Angkasa. Langkah tegap pria itu menuju ke arah meja makan di mana di sana sudah tersaji banyak makanan lezat yang sudah siap untuk disantap. Di atas kursi sudah duduk Jadra, ayahnya yang tengah asik membaca koran pagi ini dengan santai, sedangkan Hanum, ibu Angkasa tengah berdiri sembari sedikit membenarkan kembali tata letak piring-piring berisi makanan itu. Hanum melempar senyum ke arah anak semata wayangnya itu dengan lembut ketika menyadari kehadirannya. Begitu juga dengan Angkasa yang lalu membalas senyuman lembut dari Hanum. “Pagi, ibuku sayang!” sapa pria itu sembari mencium sebelah pipi yang mulai menua dari Hanum dengan gemas. Hanum terkikik geli dengan perlakuan anak lelakinya itu. “Pagi, sayang.” Balas Hanum kemudian sembari menyentuh punggung tegap Angkasa dengan lembut. “Pagi, papa!” Angkasa menoleh ke arah Jadra. “Hem pagi.” Jawab Jadra yang hanya melirik ke arah pria itu sejenak sebelum kemudian kebali fokus pada bacaannya. “Kau sudah bersiap sepagi ini?” lanjutnya. “Ya, pa. Kasa ada rapat sebentar lagi dengan PT. MJ Group.” Angkasa mengambil tempat duduk di sebelah ibunya. Pria itu meraih selembar roti dan mulai mengolesnya dengan selai kacang. Hanum menuangkan segelas s**u untuk pria itu. “Kasa, ingat baik-baik pesan ibu semalam ya. Ibu ingin kamu secepatnya mencari pendamping hidup, kalau tidak, biar ibu yang akan bantu mencari pendampingmu sendiri. Kamu mengerti kan, Kasa?!” pesan Hanum dengan wajah yang dipasang serius di depan Kasa. “Iya, iya. Kasa mengerti ibu. Biar Kasa sendiri yang mencarinya. Ibu dan papa tenang-tenang aja di rumah sambil nunggu Kasa mendapatkan gadis itu, oke?!” jawab pria itu sembari melahap rotinya dan menyelesaikan sarapannya pagi ini. Diteguknya hingga habis s**u yang telah disiapkan oleh Hanum untuknya sebelum kemudian pria itu beranjak dari tempatnya. “Ya sudah, kalau begitu Kasa langsung pergi sekarang bu. Kasa pergi pa. Assalamualaikum.” Pamit pria itu sembari kembali mencium sebelah pipi hanum dan mencium punggung tangannya lalu menghampiri Jadra untuk mencium tangan beliau juga. Kasa langsung mendekati mobil mahalnya dan membawanya pergi menuju kantornya. Sementara itu di panti asuhan, Jingga tengah bersiap berangkat kerja pagi ini dengan setelah baju sederhananya namun tetap sopan. Gadis itu diantar ke depan pintu oleh ibu asuhnya yang bernama Virda, diiringi Didi dan Endah di belakangnya. Suatu kebiasaan yang dilakukan anak anak itu ketka Jingga akan berangkat kerja. Mereka sengaja melakukannya karena ibu asuh mereka juga melakukan hal yang sama. Sungguh manis sekali di mata Jingga. “Hati-hati ya kak Jingga.” Ucap Didi dengan riangnya. Sedangkan Endah melambaikan tangan dengan senyuman manisnya. Gadis itu memang tidak bisa berbicara dengan benar, namun semua orang tahu bahwa wajah manisnya itu tetap saja selalu berhasil memikat hati banyak orang yang melihatnya. “Iya. Kalian juga jangan nakal dan belajar yang rajin selama kakak kerja ya. Jangan banyak ngerepotin ibu Virda, mengerti kan?” pesan Jingga. “Tentu saja, kak. Kami anak-anak yang baik kok.” Balas Didi dengan bangganya. Jingga melempar senyum kecil ke arah mereka berdua. Lalu pandangan matanya beralih ke arah ibu asuhnya, Virda. “Bu, Jingga pamit dulu ya. Assalamualaikum.” Gadis itu meraih tangan Virda dan mencium punggung tangannya dengan lembut. “Iya, nak. Hati-hati ya, Waalaikumsalam.” Jawab Virda semari melempar senyum lembut ke arah gadis itu. Jingga melangkah pergi, membuka kaitan kunci pagar dan keluar dari pekarangan panti asuhan dengan satu tongkat yang selalu setia menemani hari-harinya selama ini. Jingga bekerja sebagai guru TK di salah satu sekolah yang cukup dekat dari jarak panti asuhannya. Gadis itu berhasil diterima di sana dengan semua keterbatasannya atas bantuan rekomendasi teman baiknya juga yang bernama Mira. Mira berusia setahun lebih muda darinya dan sudah menganggap Jingga sebagai kakak kandungnya sendiri. Gadis itu merupakan gadis yang selalu ceria dan penuh dengan harapan positif sehingga membuat Jingga yang pemalu menjadi lebih terbuka ketika bersamanya. Ketika Mira mendengar bahwa tempat kerjanya mau menerima Jingga untuk bekerja di sana, gadis itu terlihat begitu senang sekali. Bahkan Mira sampai mengajak Jingga pergi ke kedai es krim dan mentraktirnya makan di sana. Padahal bagi Jingga sendiri sebnarnya hal itu sangat tidak perlu. Namun memang pada dasarnya itu hanya akal-akalan Mira saja agar Jingga mau menemaninya mencoba es krim dengan rasa baru yang sudah diincarnya sejak beberapa hari yang lalu. Gadis itu sudah memesan ojek untuk mengantarnya berangkat ke sekolah khusus di pagi hari karena dirinya tidak ingin datang terlambat hanya karena langkah kaki kecilnya yang lambat itu. Butuh beberapa menit untuknya sampai di depan pagar sekolah. Setelah membayar ongkos ojeknya, Jingga dengan semangat melangkahkan kaki memasuki pagar sekolah. Pak Budi selaku penjaga gerbang di sana langsung menyapa Jingga dengan ramah ketika melihatnya, yang juga langsung dibalas Jingga dengan tidak kalah ramahnya. Jingga sangat bersyukur bisa bertemu dengan teman dekatnya Mira yang telah mengajaknya bekerja di tempat ini. Anak-anak yang manis dan lucu di sini benar-benar adalah tempat yang cocok untuk Jingga yang notebanenya penyuka anak kecil itu, tinggal. Bahkan tidak membutuhkan waktu yang lama bagi gadis itu untuk beradaptasi dengan murid-murid kecilnya yang terlihat menggemKasan itu. Mereka sangat polos dan murni. Mereka juga tidak akan segan-segan menanyakan kepada Jingga mengenai penyebab kakinya yang terlihat berbeda dari kaki normal kebanyakan dengn wajah penuh dengan rasa penasarannya. Pertanyaan yang membuat Jingga semakin terbiasa untuk menanggapinya karena tidak jarang orang juga menanyakan hal yang serupa kepadanya. Untuk sekarang, dengan tersenyum gadis itu bisa menjawab pertanyaan itu di depan anak kecil seperti mereka dan menjelKasan layaknya seorang guru kepada muridnya. “Ibu pernah mengalami kecelakaan sewaktu kecil, sehingga membuat kaki ibu menjadi seperti sekarang ini. Karena itu, kalian semua juga harus menjaga diri baik-baik agar tidak mendapat kecelakaan seperti ibu. Kalian harus selalu berhati-hati dalam melangkah atau menyeberang di jalanan agar tetap selamat. Kalian mengerti kan?” tutur Jingga saat anak-anak itu mempertanyakan hal yang serupa kepadanya. Dan dengan patuh mereka semua menganggukkan kepala dengan patuh, menjawab ucapan Jingga. Hari-hari berjalan normal seperti biasanya. Jingga mengajar anak-anak TK dengan senyuman seperti biasanya dan Angkasa juga menghadiri rapat kantor dengan lancar sesuai dengan kemampuan yang selalu dibanggakannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD