Lamaran

1117 Words
Ada luka yang tak perlu kau tau bahwa ia ada. *** Satu jam Oca berdiri dengan kedua tangan disilangkan sambil memegangi kedua telinga dan satu kaki yang terangkat. Sembari mendengarkan omelan papanya. Papanya terus mengomel tiada henti, merasa bosan setiap hari ditelepon oleh kepala sekolah karena tingkah putri semata wayangnya. Tapi sepertinya percuma buat Oca, omelan papanya masuk telinga kanan keluar telinga kiri berembus begitu saja seperti uap. Bahkan ia terlalu bebal, bukannya merenungi kesalahan, justru menirukan ucapan papanya dengan wajah menyebalkan. Membuat adik kecilnya tertawa. "Pa, sudah kasian Oca. Dia belom makan juga," ucap sang mana dari belakang. "Tuh Pah, Mama tiri aja baik kaya bidadari, lah Papa yang Papa kandung galaknya ngalahin kak Ros---" "Diam Oca!!" bentak papanya memotong ucapannya. Oca pun diam tapi bukan Oca jika tak mencibir atau menjulurkan lidah meledek papanya. Membuat Dilan adik kecilnya tak henti-hentinya tertawa. "Masuk! Jangan lupa nanti malam ada acara makan malam keluarga." Titah sang papa, Oca menghela napasnya setelah terbebas dari hukuman sang jendral. Ya, papanya mantan jendral itu sebabnya dis selalu di hukum layaknya anak cowok. "Dasar Papa tiri!" Oca melengos, membuat mama tirinya geleng-geleng kepala. "Udah ayo makan dulu." Sambung mama tirinya menuntun dia ke meja makan. ----- Siang berganti malam, sepertinya Oca melupakan ucapan papanya tadi siang. Gadis itu baru terbangun masih mengenakan celana hotpans dan tanktop crop, ia berjalan menuruni tangga sambil menyanggul rambutnya yang tak begitu panjang. Ia terus menguap, sampai tak memperhatikan sekelilingnya saat semua mata tengah tertuju padanya.  "Oca!" Suara bariton itu membuat Oca berbalik, dengan pandangan yang samar-samar ia menatap ke arah ruang keluarga dan papanya tidak sendirian. Oca mengucek-ngucek matanya menajamkan penglihatan, betapa terkejutnya dia mendapati ada tamu di sana, dan sudah dipastikan kalo papanya akan murka. "Oca kamu!" Papanya sudah menggeram dan Oca malah cengengesan tanpa dosa. "Biar aku yang urus Pa, saya tinggal dulu Jeng, maklum Oca memang sedikit manja." Bela mamanya yang langsung pergi membawa Oca menuju kamar. Setelah menyelesaikan ritual mandi, Oca langsung duduk di depan cermin menuruti kemauan mamanya. "Kamu kapan berubahnya si, Ca? Papa kamu bisa darah tinggi ngadepin kamu," ujar sang mama yang masih sibuk merias wajahnya. Hacchiii "Harus banget pake itu ma, hacchiiihhh ...." Oca tak tahan saat serpihan bedak itu masuk kehidung membuatnya berkali-kali bersin. Mamanya hanya geleng-geleng kepala. "Kamu ini cewek apa cowok si, Ca? Dilan aja gak bersin-bersin kalo dibedakin." mamanya terkekeh geli melihat tingkah Oca. Sedangkan gadis itu hanya memutar bola mata, malas menanggapi jika ujung-ujungnya dibandingkan dengan Dilan. "Ada acara apaan si, Ma? kok Oca musti dandan. Terus apa-apaan ini pake rok segala." Oca menatap sebal pada dress yang dipakainya. "Lamaran, makanya kamu musti tampil cantik. Jaga attitude atau Papa bakalan murka kalo kamu bikin ulah." "Lamaran?" beo Oca, menatap mamanya. Mencari kebohongan tapi sepertinya ini bukan prank, mereka serius soal perjodohan yang dibicarakan tempo hari. ----- Semua orang tengah makan malam bersama, papanya terus asik bercengkrama dengan calon besan, begitupun mamanya yang sudah ngerumpi ala emak-emak zaman now. Sedangkan Oca, hanya bisa melampiaskan kekesalannya pada makanan yang tengah ia santap. Entahlah, rasanya ia ingin makan banyak agar lupa dengan masalahnya yang pelik. Sesekali dia mencuri pandang pada pria dihadapannya. Pria dingin, sedingin bola es. Wajahnya tampan tapi tak punya senyum seperti vampire. Oca tak suka, sama sekali tidak suka. Apalagi umur mereka yang terpaut lima tahun. Oca baru lulus, umurnya baru 18 tahun, ia masih ingin kuliah tapi harus pupus karena perjodohan sialan ini. Pernikahan bisnis. Ya, pernikahan bisnis. Seolah-olah Oca di jual demi kelangsungan bisnis papanya yang tengah surut, demi kakaknya yang sedang study diluar negeri. Dia harus mengalah, merelakan semua cita-citanya. Ia merutuki nasibnya yang harus terlahir sebagai perempuan, bukan laki-laki. "Buat apa sekolah tinggi-tinggi kalo ujung-ujungnya di dapur, yang penting kamu menikah dengan orang kaya mapan yang bisa menjamin kelangsungan hidupmu." Pranggg Oca kesal mengingat ucapan papanya, sampai ia tidak sadar semua orang kini menatapnya, karena gadis itu baru saja membanting sendoknya. "Kenapa, Ca?" tanya mamanya, Oca tersenyum canggung memperlihatkan deretan giginya. "Gak apa-apa Ma." Ia kembali menyantap makanan, menyuapkan sesendok nasi penuh kemulutnya. Mengunyahnya dengan kesal. Tanpa ia sadari mata tajam didepannya tengah memperhatikan. ---- Oca kembali merutuki kesialannya, setelah acara makan selesai dia justru di suruh mengobrol santai bersama calon suaminya. Dan disinilah Oca berada di depan kolam renang, menikmati angin malam yang memainkan helaian rambutnya. Mengobrol santai? Oca tersenyum miring, melirik cowok disampingnya. Sikapnya saja sedingin gunung es, yang ada pengen ngajak gelud tiap lihat wajah sombongnya. "Nama kamu Aeera ocean wiguna?" Pria itu mulai membuka pembicaraan, Oca hanya mengangguk tak begitu antusias menanggapi obrolan itu. "Angin dilautan." Sontak Oca menoleh menatap pria itu, yang tengah menatap lurus ke depan. " Benerkan?" Pria itu menoleh kearahnya dengan wajah datar. "Ems ...." Oca kembali memalingkan wajah saat kedua matanya saling beradu dengan tatapan tajam yang seolah mengintimidasinya. Entahlah aura pria itu dingin, mencekam membuat Oca tak leluasa. "Jangan terlalu berharap dengan pernikahan ini, karena saya tidak menginginkannya." What the hell! Oca menganga menatap pria itu. Dia pikir Oca mau apa? Menikah dengan pria super dingin seperti dia? Bahkan dia lebih pantas disebut om-om. "Sebelum kamu kecewa, saya harap jangan pernah memakai hati dalam pernikahan ini." Pria itu bangkit, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Lalu berbalik pergi meninggalkan Oca dalam keterdiaman. "Gila gue kira dia bisu, sekalinya ngomong nyakitin kaya boncabe," gumam Oca. Setelah pulih dari rasa terkejutnya. Dia menoleh kebelakang menatap punggung tegap yang mulai menjauh. "Dia pikir dia siapa? Kita lihat saja gue gak bakal jatuh cinta sama om-om itu! bukan tipe gue banget," gerutu Oca. Dia Yang langsung menceburkan diri ke kolam renang, karena merasa gerah setiap kali amarahnya menyeruak. Byuuuurrrr Pria itu berhenti, berbalik dan netranya membulat sempurna saat melihat Oca sudah menceburkan diri dan tak muncul-muncul kepermukaan. Dia langsung berlari melempar jaznya dan langsung menceburkan diri. Gadis bodoh! Dia pikir dengan dia bunuh diri gue bakal jatuh cinta, terus kasian sama dia? Dasar wanita itu menyusahkan! Pria itu berenang ke dasar kolam yang dalamnya mencapai tiga meter tapi ia tidak menemukan bangkai gadis itu. Hingga sayup-sayup terdengar panggilan mamanya. " Calvin!" "Calvin kamu ngapain?" Calvin pun naik kepermukaan, pandangannya langsung tertuju pada gadis yang tengah duduk di tepi kolam dengan keadaan basah tengah menertawakan kekonyolannya. Calvin lo bego! Ngapain juga lo nyebur, harusnya lo gak perlu peduli. Lihat saja gadis batu, siapa yang bakal menyesal karena sudah memulai peperangan ini. Calvin william sandress. Ini baru permulaan om. Oca menyeringai, menatap geli dengan kekonyolan Calvin yang sudah basah kuyup. Bahkan baju kemejanya sudah menjiplak pada tubuh berotot. Tapi Oca sama sekali tidak tergoda baginya Calvin adalah musuh layaknya Tom & Jerry. Entahlah, akan seperti apa pernikahan mereka tapi yang ada dipikirannya saat ini, ia akan membuat Calvin menyesal dan menarik ucapannya sendiri. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD