Ibu Kota

1298 Words
Selama perjalanan, Kinanti dan Asih hanya mengandalkan kaki mereka. Supaya tenaga mereka tidak habis, sesekali mereka beristirahat di bawah pohon yang rindang maupun di pinggir sungai. Makanan yang mereka santap pun seadanya. Mereka mengandalkan pengetahuan Kinanti tentang kesehatan supaya tahu tanaman dan binatang apa saja yang bisa dikonsumsi. Namun, bukan berarti Asih yang baru berusia 9 tahun itu tidak melakukan apapun. Karena ternyata anak itu sangat jago berburu dan memasak. “Sih, lihat! Bukankah itu gerbang kota?” seru Kinanti sambil menunjuk ke arah yang dimaksud. “Betul, Mbak! Akhirnya kita sampai juga di kota.” Asih tidak kalah senang. Dia benar-benar tidak sabar untuk tidur di bawah atap. Ini adalah hari ke-5 mereka melakukan perjalanan. Tidak heran jika mereka sangat mendambakan papan dan pangan yang layak. Sudah terbayang di benak mereka akan tidur di penginapan yang mungkin walaupun kecil, tetap memiliki dipan maupun jerami yang empuk. Sungguh, badan mereka benar-benar pegal dan gatal karena tidur di luar terus. “Oh, iya. Tanda pengenal kita jangan sampai lupa ya, Sih. Mereka pasti akan menanyakan itu.” Asih mengangguk sekali, kemudian merogoh buntelan tempatnya menaruh papan identitas mereka yang berukirkan lambang rakyat dari Kerajaan Andakara. Seperti halnya KTP di dunia modern, di dunia ini juga diberlakukan tanda pengenal. Pada tanda pengenal tersebut tertera nama dan nomor penduduk yang ditulis dalam Bahasa Andakara. Asih sebelumnya pernah mengatakan bahwa penjaga gerbang kota akan mengecek keaslian data yang tertera di sana. Kalau terbukti asli, maka orang tersebut baru boleh memasuki kota. “Kalian dari mana?!” tanya seorang penjaga dengan tegas. Seumur-umur, saat di dunia sebelumnya Kinanti belum pernah disentak seperti itu. Terlebih orang itu begitu besar. Kinanti merasa bahwa badannya tidak ada setengah dari pria botak yang ada di hadapannya. “Kami dari Kota Ancal, ingin mengadu nasib di Kota... Ibu Kota.” Tertulis nama Kota Andakara di atas gerbang setinggi tiga meter di hadapan Kinanti. Jadi, bisa ditebak bahwa mereka akan memasuki Ibu Kota. “Sinikan tanda pengenal kalian! Awas kalau ternyata kalian orang asing atau tidak punya. Kalian harus bayar!” sentak pria penjaga yang lain yang memiliki rambut gondrong dengan ukuran badan yang sama kekarnya dengan si botak. Dengan sigap Asih memberikan dua tanda pengenal milik mereka berdua pada para penjaga itu. Dua papan kayu itupun diambil tanpa basa-basi oleh si kepala botak. Setelah itu, si botak masuk ke dalam pos penjagaan sementara si gondrong masih di tempat yang sama. “Sih, orang sini emang selalu galak begini, ya?” tanya Kinanti, berbisik di telinga Asih. “Ttiiidak taahhuuu, Mbaak... hiks...” Asih balas berbisik sambil terisak. Kinanti baru sadar bahwa Asih juga tidak kalah takut darinya. Anak itu bahkan sampai gemetaran dan menangis. Beberapa saat kemudian, si botak kembali dari pos penjagaan dan mengembalikan tanda pengenal mereka. “Ini jangan sampai hilang. Silakan masuk.” ucap si botak dengan nada bicara yang melembut. Dengan ini, Kinanti dan Asih pun dapat bernapas lega. Sebelum memasuki wilayah Ibu Kota, terlebih dahulu mereka berterima kasih pada dua penjaga itu. “Terima kasih, Bapak-bapak sekalian.” ucap mereka hampir bersamaan. Meskipun tidak memberikan senyuman, dua penjaga tadi juga membalas salam mereka dengan anggukan. Kemudian, kini tibalah mereka di Ibu Kota. Kinanti sudah merencanakan apa saja yang akan mereka lakukan di sana. Dia ingin membuka apotek. Tetapi, sebelum itu dia perlu melakukan survey terlebih dahulu. Tidak mungkin dia asal saja membuka usaha di tempat yang sangat asing baginya ini. “Mbak Kinanti mau ke mana?” tanya Asih sambil mengekor di belakang Kinanti. Meskipun bocah itu tidak paham dengan sikap majikannya, dia terus mengikutinya. “Aku mau mencari guild... asosiasi... apa sih, Bahasa sederhananya... mm... pokoknya semacam perkumpulan pembuat obat begitulah!” jawab Kinanti. Asih pun ikut berpikir. Lalu, beberapa saat kemudian dia menerka, “Maksud Mbak Kinanti persatuan para tabib?” Tabib adalah istilah bagi dokter di zaman dahulu. Tentu berbeda artinya dengan pembuat obat atau apoteker. “Yaa... pokoknya yang tukang bikin obat gitulah!” Kinanti berpikir bahwa tabib di zaman ini juga melakukan pekerjaan apoteker. Karena itu, dia menjawab begitu. “Ooo...” Asih manggut-manggut. Keduanya pun meneruskan perjalanan sambil melihat-lihat ke sekeliling mereka. Mungkin saja mereka bisa menemukan papan nama perkumpulan itu. Namun, Kinanti yang terus melihat ke samping lengah dan tiba-tiba menabrak sesuatu. “Aww!” pekiknya. Di hadapannya kini seorang pria bertubuh tak kalah besar dari penjaga tadi berdiri dengan dahi yang berkerut-kerut. Agaknya dia telah menyulut kemarahannya, karena telah menabraknya. “Berani-beraninya kau melukaiku! Sekarang kau harus bertanggung jawab. Keluarkan harta bendamu!” Sekarang Kinanti tahu bahwa hal seperti ini memang wajar di zaman kerajaan kuno. Semua adegan drama kolosal yang dia tonton hampir semuanya sesuai fakta sejarah. Jika setelah ini dia akan bertemu dengan pria tampan baik hati yang akan menyelamatkannya dan jatuh cinta, Kinanti baru bisa menentukan seberuntung apa dia direinkarnasikan di dunia ini. “Maaf, Tuan. Kami berdua adalah pengembara yang baru akan mencari nafkah di Ibu Kota. Bekal kami sudah habis di perjalanan.” Kinanti berdusta. Sebetulnya dia masih memiliki uang di buntelannya. Tapi, mana mungkin dia jujur dan membiarkan preman ini mengambil uang mereka. Bagaimana mereka bertahan hidup nantinya? “Oooh... baiklah. Aku tidak akan mengambil harta kalian.” kata si preman itu. Hampir saja Kinanti merasa lega, tapi kemudian preman itu berkata, “Sebagai gantinya, bagaimana kalau kalian menemaniku sampai malam. Kalian gadis-gadis yang cantik. Aku dan teman-temanku pasti akan merasa puas.” Bulu kuduk Kinanti seketika merinding. Dia yakin pria di hadapannya itu berusia jauh lebih tua darinya yang masih berusia 14 tahun. Sekeji apa preman di dunia ini, sampai mau melahap kesucian para gadis di bawah umur? Sungguh Kinanti tidak habis pikir. Sementara itu, Asih lagi-lagi sesenggukan. Dia begitu ketakutan mendengar ancaman preman itu. Untuk sedikit menenangkannya, Kinanti segera menggenggam tangan Asih. “Hehehe... kalian tidak bisa lari dariku...” preman itu pun berusaha mendekap Kinanti dan Asih secara bersamaan. Namun untungnya, mereka berdua dapat menghindar. “Tolooong! Tolong kami!!” Kinanti berteriak. Sayangnya, seakan tidak ada yang mendengar, orang-orang di sana tidak ada satupun yang mau membantu. Padahal tempat mereka berdiri sekarang cukup ramai. Tetapi, mereka hanya melirik sebentar, lalu kembali melakukan kesibukan mereka. Merasa percuma, Kinanti pun menarik Asih untuk berlari. Mereka menerobos keramaian hingga menimbulkan kehebohan. Terlebih si preman juga mengejar dengan kecepatan kakinya yang lebih panjang dari kaki dua gadis kecil itu. “Tunggu kalian!” seru si preman dengan suara yang menggelegar. Keduanya tidak menengok ke belakang dan terus berlari. Preman itupun tidak juga menyerah. ‘DUAGHH!!’ Tiba-tiba terdengar suara seperti benda jatuh dari arah belakang mereka. Bersamaan dengan itu, teriakan si preman pun memekik telinga setiap orang yang mendengarnya. “AAAAAAAAAA!! TANGANKUUU!!” Saat tatapan kerumunan tertuju ke sumber suara, barulah Kinanti dan Asih berhenti dan berani menengok. Betapa terkejutnya mereka saat melihat bercak merah yang berceceran di sekitar preman bertubuh besar itu. Nampak pula sepenggal anggota badan si preman yang tergeletak di bawah. Dari bekas potongan itu, cairan merah juga masih mengalir dengan begitu deras. “Aaaarrrhh! Sakit! Sialan! Mana orang yang sudah melakukan ini!!? Aaaarrhh!” preman itu meraung-raung. Kemudian, nampak dua orang prajurit penjaga gerbang yang Kinanti dan Asih temui saat akan masuk ke wilayah kota. Di belakang mereka berdua ada pula seorang pria berseragam serupa namun badannya sedikit lebih kecil. Ketiganya lalu berhenti di hadapan Kinanti dan Asih. “Kinanti! Ternyata benar kau.” ujar prajurit ketiga. Kinanti perhatikan pedang yang ada di tangan itu. Begitu banyaknya eritrosit yang menempel di sana membuat Kinanti merasa ngeri sendiri. Untuk mengurangi rasa takutnya, tatapan Kinanti pindah ke wajah pria itu. “Lho, kamu kan...” Terlintas sebuah nama yang cocok dengan wajah di hadapannya dalam memori Kinanti. Pria itu adalah sepupu Kinanti yang dulu sering main ke rumahnya. “Kang Mas Seno!” Pria bernama Seno itu tersenyum, lalu berkata, “Syukurlah kau ingat padaku, Dik Kinan.”

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD