Hai, gue anak SMA biasa, gak melehoy, gak nge-hits, gak nerd juga, gak bertingkah deh pokoknya, apalagi neko-neko, cuma suka memuji diri sendiri di depan cermin aja.
Hidup gue lebih banyak kepakai buat rebahan santuy. Goyang-goyangin kaki sambil scroll-scroll, nontonin orang-orang yang menyiksa diri karena pengin viral, terus bacain bacotan netizen di kolom komentar. Suatu kebahagiaan tersendiri bagi gue buat meningkatkan dopamin, yang kadang hilang tak berbekas kalau ketemu si Anakan Katak.
Siang ini, gue buru-buru keluar kelas duluan. Menghindari anak rese yang pasti mau minta tebengan lagi.
"Kinan!"
Tuh, kan, baru juga diomongin.
Sumpah, gue kesel banget deh sama orang itu. Nama gue bukan Kinan. Tolong jangan percaya sama dia.
Gue jitak kepala cowok ngejengkelin yang sekarang berjalan sejajar di samping.
"Nama gue itu Nandira Kirana! Ini udah yang keseribu kali gue ngasih tau lo, ishh!"
Dia meringis sakit, tapi tertawa menunjukkan cengiran jeleknya.
"Yang penting, kan, ada huruf Ki sama Nan-nya. Gak salah, lah, gue. Suka-suka gue dong, mau panggil apa. Kan, mulut gue," balasnya.
Sekali lagi, pengin banget rasanya gue jitak kepala keras cowok ini. Namun, gue gak mau menyakiti tangan yang mulus ini. Langsung saja gue tinggalin dia di situ.
"Eh, Kinan!!" seru cowok itu lagi sambil berlari.
Kali ini gue terpaksa berhenti dan berteriak, "Nama gue NANDIRAAAAA!!"
Gue rasa teriakan panjang itu membuat telinga seluruh anak sekolah peka. Apalagi barusan gue teriak di tengah lapangan futsal.
Glen menutup telinganya serapat mungkin. Kalau saja ada toak di sini, sudah gue pastiin bakal pecah gendang telinga cowok nyebelin ini.
"Yaudah, deh, Kikin aja," kata Glen dengan raut memelas, membuat tangan ini jadi semakin ingin menonjok. Sekali lagi, gue tinggalin dia di situ.
"Eh, Nan, Nan. Iya, deh Nandira. Nandira ...."
Apalagi sekarang, anak itu memeluk kaki gue sambil menahannya agar tidak berjalan menjauh.
"Maafin gue, maaf, jangan benci gue, huhuhu ...."
Astatralalanaga! Sumpah, gue enek banget dengerin suara akting sok lucunya itu. Lucuan juga orang yang pertama kali mencetuskan kata yang barusan gue sebut.
"Glen! Apa-apaan, sih! Diliatin orang-orang, tau gak. Bangun!"
"Gue bangun, tapi anterin gue pulang," ucapnya dengan tampang yang sangat gue tahu. Tampang jitunya yang buat siapa saja merasa kasihan padanya.
"Iya-iya, gue anterin."
Dia langsung bangun sambil menunjukkan cengirannya.
"Hehehe."
Awalnya memang seperti itu, gue kesal banget sama dia. Sahabat satu-satunya ini selalu saja menjengkelkan. Semuanya terjadi ketika kami baru masuk SMA.
Sejak SMP bahkan dari kelas satu SD, gue dengan Glen sudah kenal dekat. Kami menghabiskan masa kecil bersama, meski kadang dia nakal dan membuat kami bertengkar, dan puncaknya ketika kami kelas lima SD. Glen nakalin gue, membuat emak gue dan emak dia adu bacot gara-gara keusilannya.
Waktu itu, seperti tidak ada dosa, Glen melempar permen karet ke rambut cantik gue. Jelas, lah, kalau emak gue marah-marah. Terus, dia bilang ke emaknya kalau gue sendiri yang sengaja meletakkan permen karet itu ke rambut.
Sudah gila dia! Mana mungkin gue nyakitin diri sendiri.
Namun, pada akhirnya kami malah jadi dekat dan suka bercanda, meski bercandanya itu kadang garing.
Hari itu mungkin jadi hari terakhir adanya rasa persahabatan di hati gue. Entah kenapa, saat pulang sekolah hari itu, gue jatuh cinta dengan makhluk nyebelin yang minta anterin pulang ini.
Waktu itu, gue ngebonceng Glen naik motor scoopy punya gue. Sebenarnya males banget jadi supir anak ini, tapi mengingat kejadian tempo hari saat Glen nabrak warung tetangga, membuat gue jadi takut menyerahkan motor kesayangan padanya. Lebih baik gue jadi supir daripada jadi korban tabrakan.
"Kinan! Lambat banget, sih, nyupirnya!" teriaknya bersamaan dengan semilir angin sore itu.
"Yee! Udah diboceng, komen aja!" protes gue.
"Lo bawa motornya kayak orang lagi belajar nyupir, tau!" Glen teriak di telinga gue. Untungnya gue pakai helm, jadi gak bakal b***k.
"Bodo amat!"
Gue akui waktu itu memang nyupirnya pelan banget, membuat langit yang memang sudah mendung jadi semakin gelap. Hujan turun dengan derasnya, mengguyur siapa saja yang berada di jalanan. Kami berhenti dan berteduh di depan ruko yang tutup. Gue agak nyesel karena nyupir terlalu lambat. Kalau saja tadi menambahkan sedikit kecepatan, pasti kami sudah sampai rumah.
Sekarang kami malah harus berdiri dan menunggu hujan, kedinginan, kesepian, kegelapan. Langit sore itu benar-benar gelap dan berangin. Tidak ada orang lain yang berteduh selain kami, tempat itu sepi, dan hanya ada tiga orang om-om di gubuk kayu yang terlihat seperti warung kosong di samping ruko.
Wilayah ini memang sering kali terlihat sepi, mungkin karena jalannya jelek dan rumah yang masih jarang-jarang, belum lagi didominasi pesawahan. Seharusnya kami tahu tentang itu dan tidak lewat jalan ini. Namun, saat itu Glen tidak memakai helm dan untuk menghindari gabungan polisi, makanya kami lewat sini.
"Kinan ... dingin," kata Glen saat angin berembus kencang. Anak ini memang senang sekali berucap manja.
"Ish, berisik! Gue juga sama kedinginan," kesal gue.
"Nan, tunggu sini, ya. Gue mau cari sesuatu yang bisa menghangatkan badan."
"Eh, Glen!"
Anak itu berlari sambil menutupi kepala dengan tas, lalu belok ke g**g kecil. Dia bilang, di sana ada warung.
Gue sempat jengkel waktu itu, dia ninggalin gue sendirian. Ditambah lagi dengan perasaan yang gak nyaman karena orang di warung kayu itu. Lalu benar saja, tiga orang itu nyamperin gue dan nawarin untuk berteduh di sana.
Seketika bulu kuduk berdiri semua, mereka meminta kunci motor gue. Awalnya baik-baik, tapi lama-lama memaksa. Pastinya gue gak akan diam saja waktu mereka mengambil paksa kunci itu. Jadi, gue tendang dia dengan jurus karate yang gue punya, meski hanya sampai sabuk kuning.
Hal itu membuat mereka tambah menggujar dan merebut bagaimana pun caranya agar kunci motor jatuh ke tangan mereka. Sumpah, demi hujan yang turun waktu itu, gue gak rela mereka narik-narik dan ngambil motor kesayangan gue. Rasanya hampir mati waktu itu karena salah satu dari mereka menyekap leher gue dari belakang.
Kalau saja Glen belum kembali, mungkin gue cuma tinggal nama. Terjadi perkelahian yang cukup menegangkan antara tiga orang om-om dengan Glen. Gue cuma bisa berdiri sambil memeluk tubuh melihat perkelahian itu. Untung saja mereka tidak membawa benda tajam sehingga Glen mampu menghalau mereka meski mendapat beberapa pukulan di wajah dan punggungnya.
Sia-sia saja waktu itu Glen membeli teh hangat. Teh itu langsung kandas saat Glen melihat apa yang terjadi. Gue ngerasain hangat tubuhnya yang memeluk erat sekali. Juga detak jantungnya yang sangat kencang. Saat itu gue ngerasa, Glen sangat takut kehilangan gue.
"Lo gak kenapa-napa, kan, Nan? Kinan!"
Dan lagi, gue juga ngerasain tangan hangatnya yang menangkup kedua pipi. Mungkin muka gue pucat pasi waktu itu, tapi jantung bergetar sangat hebat. Gue bisa ngelihat jelas wajahnya yang lebam dan luka di sudut bibirnya. Ah, sungguh gak tega ngelihatnya.
Besoknya, Glen ngejemput pakai mobil. Gue tahu itu mobil kakaknya, dan harusnya dia juga tahu kalau gue mabuk setiap kali naik mobil.
"Lo ngejek gue, ya!" Gue protes saat dia membuka kaca mobilnya.
Glen tertawa. "Yaah, sekalian latihan, Nan. Biar lo terbiasa pake mobil. Ntar kalo bawa motor kayak kemaren lagi," katanya.
Gue bukannya gak pernah naik mobil, cuma gak tahu kenapa kalau naik mobil pasti mabuk, walaupun itu dekat. Ada yang salah pada impuls yang diterima otak gue saat duduk di mobil. Berbagai cara sudah dicoba biar gak mual muntah, tapi tetap saja begitu. Emak bapak gue pun pusing kalau bawa gue jalan-jalan. Mereka harus nyediain plastik atau obat yang bisa buat gue tidur dalam mobil.
Pernah sekali gue jalan naik bus jauh banget, waktu study tour kelas 9 SMP. Suster UKS gak akan bisa jauh-jauh dari gue. Dia baik banget, jagain, ngasih obat, bahkan nyediain cairan infus dan alatnya karena gue muntah berkali-kali setiap makan.
Gue juga gak tahu kenapa gue se-katrok itu.
_________________
Oke, jadi ini season pertama dari story Perfect Couple. Ikutin kisahnya, ya.