Bidadari Surga

1082 Words
Setelah puas berkeliling Mall dan belanja menghabiskan uang Yuza, ketiganya pulang kerumah lewat Magrib. Di rumah, Zea-sang ibu sudah menyiapkan makan malam untuk ketiga anaknya. "Kami pulang," ucap Harumi memberi salam ketika mereka masuk ke dalam rumah. "Astaga kalian ini jam segini baru sampai rumah," sahut Zea. "Mama sih tadi di ajakin gak mau," kelit Harumi yang langsung mencium punggung tangan Zea dan mencium pipi mamanya. Bukan hanya Harumi, hal itu pun di lakukan oleh Haruki dan Yuza pastinya. "Ngabisin uang Mas-mu yah?" selidik Zea. Yuza langsung merangkul pundak mamanya. "Salah satu kerjaan mereka selain ngerepotin mama ya menguras isi dompet aku," ucap Yuza. Zea harus mendongak saat melihat wajah Yuza yang kini tingginya melebihi dirinya bahkan Elvan-papanya Yuza pun kalah tinggi darinya. "Iya dong, kapan lagi kita bisa menikmati hasil kerja keras Mas Yuza. Kalau sudah menikah nanti pasti semua uangnya di kuasai istrinya," celetuk Haruki, gadis itu melenggang sambil memeletkan lidahnya meledek kakak laki-lakinya itu. Zea menggeleng melihat kelakuan kedua putri kembarnya. Walaupun beda ibu satu ayah, hubungan Yuza dan kedua adik kembarnya sangat kompak satu sama lain. Saling menyayangi. *** Setelah mandi dan berganti pakaian rumah yang lebih santai, Yuza dan kedua adik kembarnya berkumpul di ruang makan karena mamanya sudah menyiapkan makan malam. Hanya setiap Sabtu dan Minggu saja Yuza dapat menikmati makanan sang mama, tidak seperti dulu. Setelah menjadi dosen Yuza lebih memilih tinggal di apartement yang jaraknya tidak jauh dari tempatnya mengajar. Pria itu tidak mau tua di jalan karena harus pulang pergi rumah kampus rumah dengan kondisi jalan macet. "Jangan terlalu boros untuk mereka, Za." Nasehat Zea pada putra sambungnya di tengah semua orang sedang menikmati makan malam mereka. "Gak apa, Ma. Aku kerja untuk siapa lagi kalau bukan untuk mama dan si kembar," balas Yuza. "Kamu harus hemat, nabung untuk masa depan kamu. Sampai kapan kamu sendiri? Gak ada niat berumahtangga?" Yuza menggeleng, "Mama gak usah mikirin itu, tabungan aku sudah lebih dari cukup. Tinggal tunggu bidadari surga-nya turun." "Mungkin bidadari surgamu sudah turun, Za. Kamu-nya yang gak lihat." Yuza terdiam. Benar juga ucapan mamanya, apa benar bidadari impiannya sudah ada didekatnya? *** Bersamaan dengan itu di sebuah apartement Gisel sedang menonton Dorama kesukaannya sambil menikmati makan malamnya. Buku yang dia beli masih tergeletak di atas meja belajarnya, terbungkus plastik tipis. Belum sempat dia buka. Beberapa jam kemudian dorama itu baru tamat. Setiap hari Sabtu dan Minggu Gisel memang selalu menghabiskan waktunya dengan menonton film drama Jepang kesukaannya. Gadis itu lebih suka drama Jepang dari pada drama Korea walaupun suka juga tapi kalau di suruh memilih Gisel lebih memilih dorama dari pada drakor. Melihat pemeran dalam dorama tersebut mengingatkan dia pada dosennya yang playboy- Yuza dan gadis kembar bersama sang dosen tadi. Kenapa wajah mereka sangat mirip orang Jepang pikir Gisel. Gadis itu belum mengetahui darah apa yang mengalir dalam tubuh Yuza. Setelah filmnya habis, Gisel menyiapkan keperluan kuliahnya untuk besok. Matanya sudah sangat sepat dan mengantuk tapi buku pilihan Yuza seakan memanggilnya untuk segera dia buka dan baca. Akhirnya Gisel tidak tahan untuk tidak membuka buku itu. Dia merobek plastik yang membungkus buku itu, buku yang sangat tebal. Melihatnya saja susah malas, tapi tidak dengan Gisel. Semakin tebal buku itu semakin dia semangat membacanya. Awalnya dia membaca daftar isi dan kata pengantar dari penulisnya, barulah dia membaca halaman pertama. Rasa kantuknya mengalahkan rasa ingin tahunya akan isi buku tersebut. Gisel tertidur dengan buku itu di pelukannya. *** Rasanya baru sebentar matanya terpejam tapi Gisel harus terbangun karena alarm ponselnya sudah berbunyi. Gadis itu langsung bangun dan bersiap untuk berangkat ke kampusnya. Baru hendak keluar unit apartemennya ponsel Gisel berbunyi. Papa memanggil ... Senyum Gisel mengembang saat nama itu yang muncul di layar ponselnya. "Goedemorgen, Pap," salam Gisel. "Ook goedemorgen, Lieverd," balas sang papa. Perbedaan waktu 5 jam lebih lambat tidak menghambat pria itu untuk memberi ucapan selamat pagi untuk putri yang di sayangi. Jika di Jakarta sudah jam 07 pagi, di Belanda masih jam 02 dini hari. "Semangat belajar ya, Sayang," "Makasih, Pa. Ini aku mau berangkat ke kampus," "Okay, hati-hati di jalan," "Bye, Pa," "Bye, Sayang," Panggilan berakhir. Selama Gisel pindah ke Indonesia untuk kuliah, dia selalu dan hampir tiap hari berkomunikasi dengan papanya walaupun hanya melalui panggilan telpon atau video. Sang papa tidak mau di ajak kembali ke Indonesia karena terlalu banyak kenangan baginya. Gisel sendiri sudah mencoba menceritakan semua kebaikan, kelebihan yang dia ketahui tentang Indonesia tapi tetap saja papanya tidak mau kembali menginjakkan kakinya di tanah kelahirannya sendiri. Gisel-pun harus bersikeras untuk mendapatkan restu dari papanya ketika dia mau mengambil kuliah di Indonesia. Rasa sayang papanya sangat besar sampai pria itu tidak tega melihat putrinya ngambek dan melakukan aksi mogok bicara padanya. Iya Gisel sampai mogok makan dan mogok ngomong sama papanya. Sampai akhirnya dia menang dan dapat restu dan ijin sang papa untuk kuliah di Indonesia. Apartemen di beli secara online oleh sang papa, dan mobil yang saat ini sedang Gisel kendarai dia dapat sehari sejak menginjakkan kakinya di Indonesia. *** Sementara itu di rumah keluarga Ryuzaki, Yuza terburu-buru. Pria berdarah Jepang itu bangun kesiangan karena kondisi ponsel yang kemarin dia pasang dengan nada hanya getar saat di toko buku, dia lupa mengaktifkan lagi bunyinya hingga alarm yang di setel tidak mengeluarkan suaranya. "Pagi semuanya," salam Yuza saat dia masuk ke ruang makan dan mencium pipi mamanya dan kedua adik kembarnya. "Pagi, Mas," balas si kembar bersamaan. "Pagi, Sayang. Sarapan dulu, Za," ucap Zea. Yuza menggeleng sembari menyeruput kopi susunya, "Maaf, Ma. Tapi aku sudah terlambat," sahutnya. Dia mengambil satu potong sandwich buatan Zea dan memakannya sambil jalan menuju mobilnya. "Aku pulang ke apartement ya, sampai ketemu hari Jumat," teriak Yuza sebelum dia menghilang di balik pintu. Zea menghela napas panjang. Dua hari rasanya terlalu singkat bagi Zea, Yuza yang mengikuti jejak papanya menjadi dosen membuat dia harus mengajar di sebuah Universitas yang ada di tengah Ibu Kota. Jarak kampus dan rumahnya tidak memungkinkan untuknya pulang pergi setiap hari. Maka dari itu Yuza kembali sebuah apartement di dekat kampusnya. Di depan pintu utama rumah bernuansa Jepang itu mobilnya sudah siap, Nandar-penjaga rumah itu yang selalu setia menjaga rumah Elvan dan Zea sejak awal mereka pindah rumah dan mengenal Yuza sejak kecil hingga pria itu sudah menganggap keluarga Ryuzaki seperti keluarga sendiri. "Makasih banyak, Pak Nandar. The best banget pokoknya," puji Yuza sambil menepuk pundak Nandar. Pria itu memang layak di puji karena mobil Yuza sudah kinclong di cuci olehnya. "Hati-hati di jalan, Mas," balasnya. "Siap, makasih ya," balas Yuza lalu dia melajukan mobilnya keluar dari gerbang besar rumahnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD