Bab 2. Dibuang Saja?

1087 Words
Alvaro menghela napas lega setelah tiba di rumahnya. Lebih lega lagi saat dia disambut hangat sang istri tercinta, Sherly Rasyid. Dia merasa hidupnya sangat sempurna, menikah dengan perempuan yang jauh lebih muda dari usianya, sehingga dia bisa memanjakannya, dan merasa dirinya amat berarti. “Papaaa.” Ternyata ada sosok lain yang menyambutnya, seorang anak perempuan berusia lima tahunan. Dia Greta, buah hatinya dengan Sherly. Alvaro buru-buru memundurkan tubuhnya dari tubuh Sherly. Sherly tertawa renyah. Entah berapa kali Greta secara tiba-tiba muncul menyaksikan dia dan Alvaro berciuman mesra. Alvaro tampaknya tidak keberatan, karena merasa tindakannya masih wajar, dan Greta sepertinya senang melihat keduaorangtuanya bermesraan, asal jangan berlebihan, dan jangan sampai dia diabaikan. Alvaro lalu menggendong Greta, dan menggelitik perut gendutnya. “Papa dari mana?” tanya Greta sambil menyentuh hidung papanya. “Dari rumah Om Damian.” Greta langsung cemberut. “Kok aku nggak diajak? Aku kan mau main sama Mas Nevan.” “Mas Nevan lagi di Singapore, kalo Alaric ada.” “Ih, males sama Mas Alaric. Suka ganggu aku.” Alvaro tertawa kecil, Alaric memang usil jika bermain dengan Greta, dan Nevanlah yang selalu membela Greta. Bukan Greta saja yang Alaric usili, tapi juga adik kecilnya, Amanda namanya. Manda, panggilan akrab Amanda, kerap menangis diganggu Alaric. Alaric adalah Damian kecil, begitu Oma Mathilda menggelarnya. Omanya saja jarang mau bermain dengan Alaric, padahal anak itu ketika lahir sangatlah istimewa, disambut gegap gempita oleh keluarga lengkap di Pekalongan. Berbeda dengan Nevan yang lahir dalam keadaan sangat memprihatinkan. Tapi Nevan justru tumbuh sangat dewasa, baik sikap dan kata-katanya. “Tapi nanti pasti kangen juga main sama Alaric.” “Nggak mau. Aku kangen sama Mas Nevan.” Sherly ikut membantu menenangkan Greta, “Baru juga minggu kemarin main sama Mas Nevan, udah bilang kangen. Ya udah, nanti Mama tanya sama Tante Mala kapan Mas Nevan pulang dari Singapore.” Greta masih memandang wajah papanya dengan perasaan kesal, lalu beberapa saat kemudian dia mengangguk. “Anak pinterrrr,” puji Alvaro senang. Dia mencium pipi gembul Greta gemas. Greta lalu meminta turun dari gendongan papanya, dia tampaknya ingin bermain di ruang bermain bersama pengasuhnya. Lalu Alvaro mendekati Sherly dan kembali mencium bibirnya, lebih mesra. “Kangen?” “Ya. Selalu kangen Akang setiap hari.” Sherly terkekeh, tak menyangka suaminya semakin hari semakin ‘menjadi-jadi’, padahal sudah lebih dari lima tahun menikah, dan Alvaro selalu menunjukkan sikap mesra setiap hari. Banyak teman-teman Sherly yang menikah dan belum lima tahun sudah mengeluh bosan dan kerap bertengkar. Alvaro justru sebaliknya, dia malah ingin selalu dekat dengan Sherly, bahkan Sherly sering diajaknya ke kantor dan menghabiskan waktu di sana berdua sampai waktunya menjemput Greta yang bersekolah di internasional Preschool. Sherly sangat bersyukur dengan keadaan keluarganya yang adem ayem, dalam hati dia berkata, bahwa ini adalah berkah Alvaro yang kerap membantu orang-orang yang sedang mengalami masalah pelik, Mala dan Damian misalnya. Ciuman Alvaro semakin buas, dan tangannya mulai mengembara di bagian tubuh Sherly yang sensitif. Sherly merengek manja saat Alvaro berbisik kepadanya bahwa sore ini dia sangat menginginkannya. *** Alvaro duduk di depan laptopnya, dan masih dengan jubah mandi. Dia baru saja mandi setelah bercinta hebat dengan istrinya, yang sekarang masih berada di dalam kamar mandi. Alvaro menghela napas panjang dengan senyuman yang menghiasi wajah tampannya, lega karena pada akhirnya dia hidup bahagia, juga sahabatnya, Damian yang bahagia dengan keluarga kecilnya. Masih terbayang di benak Alvaro akan hidup sahabatnya itu yang dulunya dipenuhi dengan masalah-masalah berat, khususnya yang berkaitan dengan perempuan. Dan Alvarolah yang terpaksa harus turun tangan. Pagi tadi hingga siang, Alvaro berada di rumah Damian. Damian menyuruhnya untuk datang, karena ada tamu istimewa yang datang jauh dari Utah, Dave, kakak Damian. Dave datang bersama keluarganya dalam rangka liburan ke Bali. Sebelum ke Bali, mereka sekeluarga menyempatkan untuk singgah di Jakarta, menemui Damian dan keluarga. Sayangnya, Alvaro tidak bisa mengajak Sherly, karena Sherly harus datang menghadiri pertemuan orang tua di sekolah Greta. Suasana kekeluargaan pun sangat terasa di rumah Damian. Berkali-kali Dave mengungkapkan kebahagiaannya bertemu dengan adiknya yang sudah memiliki kehidupan yang bahagia bersama keluarga kecilnya. “Hm….” Alvaro bergumam saat melihat dokumen-dokumen yang ada di dalam laptopnya. Berpikir bahwa keluarga Damian baik-baik saja dalam hampir dasawarsa, membuatnya ingin membuang dokumen-dokumen yang berisi data-data perempuan yang pernah digauli Damian. Setelah Damian menggauli Nirmala lalu menikah, Damian memang tidak lagi memesan perempuan atau mengajak salah satu perempuan teman bisnisnya untuk menghabiskan waktu bercinta. Tidak ada lagi yang datang mengeluh kepadanya, seperti mengeluh bahwa Damian cukup kasar saat dilayani atau mengeluh ingin uang yang disepakati agar ditambah lagi lebih banyak. “Hm….” Jari telunjuk tangan kanan Alvaro sudah hendak menekan mouse, dan tanda panah di layar laptop sudah mengarah ke lambang tong sampah di bagian kanan bawah layar laptop. Hampir saja Alvaro menekan, tiba-tiba Sherly memeluk lehernya dari belakang. Cepat-cepat Alvaro menutup laptopnya. “Lagi ngerjain apa sih, Kang?” tanya Sherly. Meski sudah menikah, ada hal yang Alvaro sembunyikan dari Sherly, yakni seputar kehidupan kelam Damian. Dia tidak ingin Sherly tahu, karena istrinya itu sangat dekat dengan Nirmala. Entah kenapa Alvaro merasa dia belum boleh membuang data itu, karena kejadian barusan dan keraguan yang mendera pikirannya. “Biasalah.” Alvaro memeluk pinggang Sherly dan mendekatkannya ke wajahnya. Dia menyingkap jubah mandi yang menutup tubuh Sherly, meraba perutnya dan menciumnya. “Habis liat-liat dokumen keluarga Damian, aku kan baru dari sana dan ada yang ingin Dave ketahui. Jadi aku mengirimnya.” Sherly tampaknya tidak tertarik membahasnya, dia duduk di atas pangkuan Alvaro. “Ada apa sih, Neng? Tadi kurang?” tanya Alvaro iseng. Sherly tertawa renyah sekali, lalu menggeleng. “Dua kali kok kurang,” gumam Alvaro sambil mengelus perut Sherly. “Nggak, Kang. Aku seneng aja … hm … kalo kamu singgung Pak Damian, aku pasti ingat Mbak Mala.” “Dia udah jadi nyonya besar, Neng Sherly. Kamu tetap aja ngereog kalo ada masalah ke dia. Aku yang nggak nyaman.” “Yaelah, Kang. Orang Mbak Mala itu udah kayak gimana lagi sih sama aku. Aku lebih dulu kenal dia daripada Akang.” “Iya, tau. Tapi kamu, ck….” Sherly mengecup bibir Alvaro, tak mau Alvaro melarangnya untuk terlalu dekat dengan Nirmala. Maklum, Damian beberapa kali sering menyindirnya jika hubungannya dengan Sherly sedang bermasalah. Sherly beberapa kali mengeluh tentang hubungannya dengan Alvaro kepada Nirmala dan Nirmala yang melaporkannya ke Damian. Alvaro malu bukan main. Tapi bagaimana lagi? Sherly memang terkadang bertingkah seperti anak kecil, karena memang usianya belasan tahun jauh lebih muda dari usia Alvaro. "Nakal ah," decak Alvaro saat mangan Sherly mengusap-usap daun telinganya. Sherly tahu kesukaan suaminya. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD