3

1448 Words
Rianna menginjakkan kakinya di peron stasiun Pasarsenen Jakarta pukul delapan tiga puluh pagi. Sebelas jam perjalanan dengan duduk di kereta bukanlah hal yang nyaman. Tapi ia tidak mungkin menghamburkan uangnya dengan naik pesawat. Ia harus benar-benar meminimalisir setiap jenis pengeluaran selama itu memungkinkan. Rianna berjalan ke kamar mandi stasiun. Mumpung keadaan sepi, ia memilih menumpang mandi cepat sebelum berangkat menuju rumah sakit. Setidaknya ia harus terlihat segar dan tidak bau keringat saat bertemu dengan kepala perawat rumah sakit barunya nanti. Ia keluar dari stasiun dan bersiap memesan ojek online. Tepat pukul sembilan lima belas menit, ia sudah berada di depan gedung berlantai tujuh bertuliskan Pelita Medika. Rumah sakit yang digadang-gadang memiliki fasilitas lengkap dan memberikan pelayanan terbaik di Jakarta. Rianna kembali memperhatikan penampilannya sebelum ia berjalan masuk menuju bagian resepsionis. "Ruangan kepala perawat, Sus? Saya dikirim dari cabang Surabaya." Rianna memperkenalkan diri. Bagian resepsionis menunjukkan letak ruang kepala perawat pada Rianna. Menarik napas panjang, Rianna berdoa sepanjang lorong menuju kesana. Rianna mengetuk pintu bertuliskan 'R. Kepala Perawat'. Seseorang menyuruhnya masuk dari dalam. Hal pertama yang dilihatnya adalah ruangan luas dan bersih. Beberapa lemari berisi file dan hiasan dan seorang wanita seusia Suster Kinan dengan tubuh sedikit berisi, kerudung lebar dan juga kacamata persegi. Wanita itu mendongak dari layar persegi di hadapannya dan menatap Rianna. "Assalamualaikum." Sapa Rianna, jelas tahu bahwa wanita di hadapannya beragama sama dengannya. "Waalaikumsalam. Siapa, ya?" tanya wanita itu dengan bingung. "Saya Rianna, Bu. Saya Perawat baru yang dipindah kesini." "Rianna?" kepala perawat itu mengulang nama Rianna dengan nada tanya. "Silahkan masuk, dan duduk." Wanita itu mempersilahkan dengan ramah. Rianna duduk di hadapannya dengan kikuk. "Kamu dipindah darimana? Maaf, saya sedikit lupa soalnya yang Senin ini pindah ada dua belas perawat dan tiga dokter." Jawab kepala perawat itu lagi. "Dari Surabaya, Bu." Jawab Rianna. Dan wanita berkacamata itu mengangguk. "Suster Kinan, ya?" tanya wanita itu lagi seraya tersenyum. Rianna mengangguk. Jemari wanita itu mengetikkan sesuatu di keyboard. "Rianna Syifa, ya?" tanyanya lagi. Rianna kembali mengangguk. "Kamu sudah tahu tentang kontrak kerja kamu disini? Bu Kinan sudah memberitahu kamu?" Rianna menggeleng. "Sebentar, ya. Oh, iya. Hampir lupa. Nama saya sama seperti nama belakang kamu. Cuma pake A aja." Ucap suster kepala itu. Rianna bingung mendengarnya. "Nama Saya Asyifa." Ucap wanita itu dengan senyum hangatnya. "Panggil saya Bu Asyifa." Wanita itu mengulurkan tangannya dan Rianna menerimanya. Keduanya berjabat tangan sejenak sebelum Bu Asyifa berjalan ke arah lemari yang ada di belakang Rianna. Mengeluarkan sebuah map berwarna merah dan menyerahkannya pada Rianna. "Ini kontrak kerja kamu selama dua tahun." Rianna membuka map di tangannya. Disana tertera namanya. Pasal-pasal mengenai pekerjaannya dan juga gaji serta tunjangan yang akan diperolehnya selama dua tahun nanti. "Ini semua saya terima, Bu?" tanya Rianna kaget. Disana jelas tertera nominal yang jumlahnya dua kali lipat dari yang selama ini didapatnya. Belum lagi asrama dan uang makan serta bonus lain jika Rianna menambah jam kerja serta bonus jika dia bekerja di tanggal-tanggal merah. "Ya. Semuanya itu akan menjadi milik kamu. Nilainya memang terhitung besar jika dibandingkan dengan nominal cabang. Namun semuanya sesuai dengan biaya hidup disini. Nanti juga kamu akan tahu." Jawab Bu Asyifa lagi. "Dan disini, saya lihat kamu punya anak?" Bu Asyifa kembali bertanya dan Rianna menjawab dengan anggukkan. "Apa kamu mau menempati asrama karyawan? Bukan asrama sebenarnya, tapi lebih seperti kos-kosan. Hanya satu kamar dengan kamar mandi di dalam dan dapur umum. Tidak akan nyaman memang untuk yang sudah berkeluarga." Jawab Bu Asyifa lagi. "Jadi sebagai gantinya, biaya asrama bisa dicairkan dan kamu bisa mencari rumah sewa di tempat lain." Rianna lagi-lagi mengangguk. Ia benar-benar tidak menyangka akan mendapatkan semuanya. Ini lebih daripada apa yang di prediksinya selama ini. Dan ia benar-benar bahagia karenanya. Setidaknya ia memiliki uang lain yang bisa ia gunakan untuk biaya kakaknya. Dia benar-benar bersyukur dan tak bisa mengungkapkan kebahagiaannya dengan kata-kata. Dengan segera Rianna meraih bolpoin dan menandatangani kontrak kerja tersebut. Ia ingin segera memberitahukan hal ini kepada Bu Kinan. Dia akan segera mempersiapkan kepindahan Raia dan juga Raihanna ke Jakarta. Dan Ajeng, ia yakin setahun nanti ia bisa membawa Ajeng bersamanya. "Apa kamu sudah mendapatkan tempat tinggal?" Tanya Bu Asyifa lagi. Rianna terdiam, memandang wanita itu dengan mimik terkejut. "Suster Kinan memberitahu saya kalau kamu tidak punya sanak saudara?" Rianna mengangguk. "Saya punya kenalan, kebetulan beliau menyewakan rumah. Kalau kamu berkenan, saya beri kamu alamat. Nanti kamu datang kesana dan beritahukan kalau kamu dapat informasi ini dari saya." Ucap wanita itu lagi. Rianna lagi-lagi dibuat terkejut mendapatkan tawaran yang begitu berharga seperti ini. Kemudahan yang didapatkannya benar-benar sesuatu yang tak pernah ia duga sebelumnya. "Iya, Bu. Saya mau." Jawabnya senang. Bu Asyifa menuliskan sesuatu di secarik kertas dan memberikannya pada Rianna. "Itu alamat rumahnya. Dan dibawahnya nomer ponselnya. Kamu coba hubungi dia dulu untuk cari tahu apa dia ada disana atau tidak. Dan dibawahnya lagi itu nomor ponsel saya." Rianna memandang kertas itu dengan binar haru. Ia kembali menggumamkan terima kasih pada wanita di hadapannya. "Sesama muslim harus saling membantu." Hanya itu jawaban Bu Asyifa. Rianna bersorak bahagia sekeluarnya dari ruangan Bu Asyifa. Gayanya ketika bersorak tanpa suara membuat perhatian beberapa orang staff yang melewatinya terkekeh geli. Rianna berhenti seketika meminta maaf dengan membungkukkan sebagian tubuhnya. Setelahnya ia berjalan cepat dengan menutup wajahnya yang memerah karena malu dan bahagia dengan map berisi salinan kontrak kerjanya. Mengikuti instruksi Bu Asyifa. Rianna menghubungi nomor ponsel yang ada di kertas tersebut. Pemilik rumah mengatakan kalau dia akan ada di tempat dan akan menunggu Rianna. Rianna kembali memesan ojek online dan tak lama kemudian ia sudah sampai di sebuah rumah berlantai dua. Seorang wanita paruh baya tampak menunggunya di depan teras. "Rianna?" Tanyanya ramah. Rianna menganggukkan kepala. "Saya bu Hanum. Saya kira Rianna ini sudah usia berapa. Tapi kelihatannya masih muda. Berapa usianya?" "Dua puluh lima, Bu." Jawab Rianna jujur. "Waduh, ternyata jauh lebih muda dari anak saya." Jawab wanita itu. Rianna hanya tersenyum simpul. "Ayo ikut Ibu." Wanita itu menggiring Rianna ke jalan di samping rumah. Ternyata di bagian belakang rumah itu terdapat sebuah rumah mungil. Bu Hanum membukakan pintu rumah itu. Terdapat satu kamar, satu ruang tamu kecil dan dapur yang menyatu dengan kamar mandi. Jika Rianna perhatikan, ukuran rumah itu mungkin sekitar enam kali tujuh meter. Belum termasuk dengan teras kecil di bagian depannya. Dan mengejutkannya, rumah itu juga sudah berisi perabotan lengkap. Bahkan sudah ada televisi layar datar di ruang tamunya, yang akan membuat Raihanna betah menonton film kartun kesukaannya. "Rumah ini milik putri saya. Dulu dia bangun ini dengan alasan mau punya privasi sendiri. Tapi setelah menikah dan tinggal di luar kota, rumah ini jadi gak keurus." Tutur Bu Hanum dengan nada sendu penuh kerinduan. "Gimana, kamu suka?" Tanyanya. Rianna kini menggigit bibir karena bingung. Bu Hanum menyebutkan nominal biaya sewa, dan itu membuat Rianna terkejut. "Ibu beneran rumah ini disewakan dengan harga segitu?" Rianna bukannya keberatan. Namun dengan semua fasilitas perabot yang bisa digunakannya-televisi 32 inch, peralatan elektronik seperti mesin cuci dan lemari es. Belum lagi tempat tidur, lemari pakaian, peralatan dapur, dan bahkan sofa-ia merasa nilai yang diberikan Bu Hanum, si pemilik rumah terasa begitu murah. "Ibu tentunya gak akan ngasih segitu kalau sama orang lain, Na. Tapi karena ibu percaya sama Asyifa. Makanya ibu juga percaya sama kamu." Jawab Bu Hanum lagi. Rianna merasa teramat sangat bersyukur. Ini Jakarta, kota dimana segala sesuatunya Rianna harus dapatkan dengan uang. Ia sendiri merasa tidak yakin dengan masih adanya ketulusan di kota metropolitan seperti ini. Tapi Bu Hanum menjadi salah satu bukti bahwa kebaikan itu masih ada dalam diri manusia. Lingkungan yang akan ditinggalinya itu juga tampak asri. Yang membuat Rianna suka adalah lokasinya yang tidak terlalu dekat dengan jalan raya, sehingga ia tidak khawatir kalau-kalau Raihanna bermain di luar. Dan tampaknya, kehidupan bertetangga di daerah tersebut juga bisa dikatakan cukup ramah. Rianna memandang ibu Hanum. "Bagaimana? Ibu dengar kamu juga punya anak perempuan, jadi ibu rasa lingkungan ini akan baik buat putri kamu. Berapa usianya?" "Tiga tahun, Bu." "Nah, lagi masa-masanya aktif tuh. Kebetulan cucu ibu juga jauh, kalau nanti semisal kamu kerja dinas malam, kamu bisa bawa dia nginap sama ibu. hitung-hitung nemenin ibu saat ibu sepi." Satu tawaran lagi yang menggiurkan bagi Rianna yang tak bisa ia tolak. Tapi kemudian Rianna terkekeh. "Ibu belum tahu aja gimana Hanna. Kalo ibu tahu, saya gak yakin ibu gak angkat tangan." "Ya gak apa, kalo dia nakal nanti ibu anterin dia ke RS, suruh dia nginep sama yang sakit aja disana." Guyon Bu Hanum. Rianna ikut tertawa. Ia sudah setuju dengan nominal yang diberikan Bu Hanum dan akan membayar sewa satu tahun di muka saat ia kembali bersama Hanna nantinya. Bu Hanum setuju saja. Setelah selesai melihat-lihat. Rianna memesan ojek online lagi dan kembali ke stasiun. Mengejar kereta tercepat dan termurah yang bisa dia dapat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD